Kita dan Kelumit Buta Aksara

Refleksi Hari Aksara Internasional, 8 September

Oleh :
Dewi Kristiana, S.Pd
Guru SMA Negeri 1 Lamongan

Manusia terlahir dengan dibekali kemampuan yang luar biasa. Meskipun kemampuan itu masih terpendam dan harus diasah. Ada salah satu yang seharusnya dijadikan kebutuhan untuk bisa menjalani hidup dengan cerah. Salah satunya adalah kemampuan membaca. Setiap masyarakat seharusnya melek aksara karena kemampuan membaca ini adalah hal dasar yang akan membawa seseorang itu untuk hidup yang lebih cerah.

Tetapi masih saja ada beberapa daerah di Indonesia yang tingkat melek aksaranya masih saja rendah. Secara mendasar, pengertian buta aksara itu sendiri adalah ketidakmampuan sesorang untuk membaca dan menulis kemudian hal itu akan memengaruhi kurang mampunya seseorang untuk bisa berkomunikasi dengan baik.

Capaian tahun 2020 berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemdikbud, penduduk Indonesia yang telah berhasil diberaksarakan mencapai 97,93 persen, atau masih ada sekitar 2,07 persen atau 3.387.035 jiwa (usia 15-59 tahun) yang belum melek aksara.

Hal ini menjadi permasalahan serius yang harus segera dituntaskan pemerintah. Hari Aksara Internasional (HAI) telah ditetapkan melalui Konferensi UNESCO pada tanggal 26 Oktober 1966, untuk diperingati setiap 8 September bisa menjadi milestone untuk bangkit bergerak. Sejak tahun 1966, peringatan HAI sebagai wujud memajukan agenda keaksaraan di tingkat global.

Mengembangkan dan membudayakan keterampilan berliterasi merupakan inspirasi tentang kesungguhan dan komitmen untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan layanan pendidikan keaksaraan sebagai fondasi gerakan pemberdayaan masyarakat. Esensinya jangan hanya dimaknai sekedar penuntasan buta aksara semata tetapi juga untuk menumbuhkembangkan keaksaraan dalam arti yang lebih luas.

Keberaksaraan atau literasi yang dirumuskan oleh World Economic Forum (2019), merupakan kecakapan orang dewasa abad 21. Terdapat enam literasi dasar yang harus dikuasai oleh setiap orang dewasa, yakni: baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial, serta budaya dan kewargaan.

Akar Masalah Lemahnya Literasi

Dewasa ini kebutuhan primer bukan hanya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Akan tetapi sekarang ini kebutuhan primer juga berupa kebutuhan akan pendidikan. Setiap keluarga pasti menginginkan anak-anaknya tumbuh dewasa dengan berbekal pengetahuan dan pendidikan yang tinggi agar dapat hidup dengan baik. Anak-anak pastinya disekolahkan mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, bahkan sampai pendidikan di perguruan tinggi sampai bisa mencari pekerjaan. Akan tetapi hal yang sangat disayangkan adalah tidak semua keluarga bisa merasakan mendapatkan pendidikan tersebut dengan mudah dan murah.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan dan mendasari kejadian tersebut. Salah satunya adalah faktor ekonomi di mana ada seseorang tidak bisa melanjutkan jenjang pendidikan dikarenakan keadaan ekonomi yang rendah dan mereka harus bekerja di usia mereka yang masih dini. Alasan kuatnya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal ini memang terihat biasa di masyarakat, akan tetapi kejadian seperti ini justru dapat menyebabkan tingkat rendahnya pendidikan di suatu daerah menjadi meningkat drastis.

Di sini peran pemerintah sangat penting. Seharusnya juga pemerintah membuat program-program pemerataan pendidikan di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah memberikan program khusus untuk usia-usia tertentu peyandang buta aksara. Dengan begitu jika benar-benar dilakukan dengan serius maka akan membuahkan hasil yang maksimal.

Rekomendasi Memajukan Literasi

Salah satu indikator untuk melihat seberapa besar dan tingginya tingkat pendidikan di suatu daerah adalah dengan melihat seberapa besar dan tingginya tingkat buta huruf di daerah tersebut. Hal tersebut dilakukan karena pendidikan itu sangat erat kaitannya dengan buta huruf atau melek huruf. Di mana seperti yang diketahui bahwa buta huruf itu adalah ketidakmampuan sesorang untuk membaca dan menulis yang sangat penting untuk modal berkomunikasi apalagi di zaman yang berjalan ke arah yang lebih modern ini.

Ada faktor yang sangat memengaruhi. Beberapa di antaranya adalah faktor tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, subsidi pemerintah, serta ada atau tidaknya fasilitas layak yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Faktor internal itu adalah faktor penyebab yang berasal dari dalam contohnya adalah keluarga. Kemudian faktor eksternal tentunya adalah faktor penyebab dari luar contohnya adalah lingkungan sekitar dan teknologi. Semakin baik penanganan fasilitas pendidikan, akan semakin menanggulangi, mencegah, dan menurunkan tingkat angka buta huruf di suatu daerah.

Apakah ada yang salah dari sistem pendidikan kita sehingga masih didapati tingginya tingkat buta aksara. Meskipun banyak faktor yang menyebabkan masalah itu akan tetapi pasti ada solusi untuk menyelesaikannya. Bagaimana meningkatkan hasrat belajar dan membaca yang tinggi untuk masyarakatnya, upaya untuk memudahkan proses belajar mengajar, itu harusah dipikirkan secara matang.

Di sinilah pemerintah harus memikirkan dan mengambil kebijakan untuk mempermudah masyarakat yang ingin belajar. Faktor biaya hendaknya bukan lagi halangan yang berat untuk dilewati. Pemerintah harus bisa memberikan bantuan kepada masyarakat kurang mampu dengan efektif dan efisien.

Terkait dengan perannya, masyarakat harus memiliki mental untuk bangkit dari keterpurukan literasi dalam arti yang luas. Sehingga pada gilirannya, pemerataan pendidikan juga tercapai dan buta aksara di Indonesia akan bisa dieliminir atau bahkan dihapuskan.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: