Kita Tidak Takut

Hasnan BachtiarOleh:
Hasnan Bachtiar
Peneliti Filsafat dan Teologi Sosial di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang

Baru-baru ini, aksis teror mengemuka di Indonesia. Beberapa bom meledak dan teroris menembakkan pelurunya. Para korban yang meninggal memang terhitung jari. Namun, kengerian yang dihasilkan telah menjangkiti siapa saja. Perasaan was-was bertebaran ke seluruh pejuru negeri ini.
Ketakutan massal sebagai buah dari terorisme, memanglah hal yang lazim. Yang terparah, akan menjadi trauma hebat, yang sukar disembuhkan. Pada akhirnya, kekejian teror ini menjelma hantu-hantu yang bergentayangan, yang menghilangkan akal sehat kita semua.
Di Jakarta, seorang ibu yang menyaksikan teror secara langsung, masih terus mengingat peristiwa kelam itu. Atas dorongan media-media massa dan elektronik, semua ibu di negeri ini juga merasakan kengerian yang terjadi. Terlebih lagi, melalui media sosial yang bertebaran, penyebaran ketakutan tiada terbendung lagi.
Seorang psikoanalis sosial terkemuka, Erich Fromm menandaskan bahwa, teror sekecil apapun akan meledakkan ketidakwarasan sosial yang dahsyat. Gagasan keji teror dan kehilangan akal sehat akibat teror yang ada, merupakan psiko-patologi yang setimbang. Cheos kolektif yang massif sejak di alam bawah sadar, adalah konsekuensi nyata dari adanya teror.
Secara lebih jauh, filsuf postmodern dari Perancis, Jacques Derrida menyatakan bahwa, psiko-patologi akibat teror, bisa menciptakan teror yang serupa. Misalnya, atas nama ketakutan yang tidak disadari, aparatur negara boleh bertindak anarkis seburuk yang dilakukan oleh para teroris terhadap siapa saja terduga teroris.
Dalam konteks itu, tidak jarang penangkapan yang dilakukan pasukan anti teror, justru mengabaikan asas praduga tak bersalah, hak asasi manusia dan keadilan sosial. Perintah tembak di tempat seolah mutlak adanya, tanpa melihat banyak pertimbangan kemanusiaan. Anehnya, publik malah mengacungkan jempol atas kekeliruan yang dilakukan tersebut.
Secara filosofis, inilah yang dimaksud dengan oto-imunisasi. Dengan itu semua, kita telah mengimunisasi imun kita sendiri. Padahal sebenarnya, kita sudah memiliki imun untuk melawan teror. Hanya saja, ada penyakit jiwa yang lantas menganulir kekebalan psikologis setiap insan.
Sebenarnya, imun yang terpenting adalah menyadari segala ketakutan dan kekejian yang terjadi. Karena kita tidak sepakat dengan segala bentuk kejahatan, maka kita tidak perlu takut akan hal itu. Dengan demikian, keberanian yang ada, lahir dari keberanian, bukan lahir dari ketakutan.
Konsekuensinya, pemberantasan teror harus berlandaskan pada asas-asas kemanusiaan, keadilan dan hak asasi manusia. Hal ini tentu berbeda dengan anti teror yang berlandaskan rasa dendam semata. Hitam legam kejahatan teror yang begitu gelap, mustahil dilawan dengan kegelapan yang serupa. Karena itu, harus disinari dengan terangnya keberanian dan kebajikan.
Atas teror yang terjadi di Jakarta, kita terlupa bahwa, ada benih-benih keberanian yang muncul ke permukaan. Misalnya, ada sebagian masyarakat yang menyaksikan peristiwa itu, justru tampak tenang dan jauh dari rasa ketakutan. Pada saat Polisi berduel dengan teroris secara sengit, justru banyak orang malah menonton dengan santainya.
Pada peristiwa lainnya, hanya berjarak 100 meter dari lokasi kejadian, seorang tukang sate masih asyik mengipas satenya. Banyak juga orang yang memesan sate, sebagai selingan menonton aksi terorisme. Sekitar 20-30 meter dari pentas duel, para pengasong tumpah ruah menjual minuman dan jajanan lainnya. Salah seorang dari mereka berkomentar, “Teror ya teror. Jualan ya tetap harus jalan.”
Hal ini hanya terjadi di Indonesia. Karena itu, perlu kita tanamkan sejak dalam benak batin kita bahwa, ketakutan bukanlah bagian dari kamus keindonesiaan kita. Kita tidak takut teror atau kejahatan keji lainnya. Yang perlu kita takutkan adalah, hilangnya kesadaran, kesehatan jiwa dan rasa kemanusiaan.
Sekali waktu, keberanian masyarakat Indonesia ini harus diekspos di dunia internasional. Warga Eropa, Amerika dan benua lainnya perlu tahu bahwa, kita manusia yang berbudaya dan pemberani. Nilai kearifan kita dalam melawan terorisme, bisa menjadi teladan yang berharga bagi siapa saja. Kita menyadari bahwa, seluruh insan di dunia ini memang mengecam terorisme. Namun sekali lagi, kita perlu melawan terorisme dengan cara yang penuh keberanian, bukan ketakutan, ketidakwarasan dan sakit jiwa. Keberanian dan kebajikan di dalam dada kita, tak terbeli oleh segala bentuk ketakutan dan kekejian.
Kita, manusia Indonesia, tidak takut teror!

                                                                                                                ——— *** ———-

Rate this article!
Kita Tidak Takut,5 / 5 ( 1votes )
Tags: