Klaim Identitas versus Status Klepon

Oleh :
Ahmad Fatoni
Pengajar PBA-FAI Universitas Muhammadiyah Malang

KUE klepon menghebohkan jagad maya gara-gara ada unggahan dari seorang warganet yang menyebutkan jajanan tradisional nusantara itu tidak Islami dan mengajak masyarakat beralih ke kurma. Akibatnya, kue klepon mendadak jadi trending topik di Twitter dan ramai dibincangkan di media sosial lainnya.

“Kue klepon tidak Islami. Yuk tinggalkan jajanan yang tidak Islami dengan cara membeli jajanan Islami,” begitu caption dalam foto yang menyebut jajanan tersebut tidak Islami. Padahal jika dilihat dari bahan bakunya, klepon terbuat dari bahan-bahan halal seperti tepung ketan, daun suji, garam, parutan kelapa dan gula merah sebagai isiannya.

Hingga kini belum diketahui siapa orang yang pertama kali menyebarkan rumor itu, bahwa kue klepon tidak Islami dan dianjurkan untuk ditinggalkan. Pasca-viralnya gambar itu, warganet menanggapi beragam. Ada yang mengedit foto kue klepon dibungkus sorban ala Arab dan bahkan membalut dengan kerudung hitam. Berbagai komentar kocak dan kesal pun bermunculan.

Catatan ringan ini hanya sekedar turut meramaikan kehebohan caption di atas. Tidak ada maksud mengklarifikasi apalagi melakukan pembelaan pada klepon. Toh saya hanyalah satu di antara jutaan orang penggila klepon. Intinya saya tidak ambil pusing apakah status klepon yang Islami atau tidak.

Namun, Selasa (21/7/2020) kue klepon mendadak diperbincangkan hingga viral. Bahkan tagar #Klepon menjadi trending topic nomor satu di Twitter. Hingga kini terdapat 13 ribu lebih cuitan terkait jajanan tradisional itu. Viralnya klepon ini berawal dari cuitan akun twitter @memefess.

Akun tersebut menyebutkan jika jajanan tradisional bertabur kelapa itu bukanlah jajanan Islami. Di unggahan gambar itu, tampak tulisan “Kue klepon tidak Islami. Yuk, tinggalkan jajanan yang tidak islami dengan cara membeli jajanan islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami.”

Tak pelak, cuitan itu langsung membuat geger semesta warganet. Mereka seketika membanjiri kolom komentar dan twitt menganggap bahwa klepon tidak Islami adalah hal yang mengada-ngada. Bahkan ada yang merasa tersinggung karena jajanan favoritnya difitnah.

Mereka heboh mempertanyakan maksud dari caption tersebut. “Kenapa klepon doang? Kenapa nggak semua kue? Kue Tart? Brownies? Nogosari? Iwel-iwel? Mendut? Lemper? Apakah kau yakin mereka Islami? Bungkusnya doang daun pisang, ternyata dalemnya isi kue. Inikan penipuan, tidak Islami sekali,” komentar satire akun @HabibiFuad.

Di kalangan penggemar klepon tidak sedikit yang melontarkan pembelaan, “Padahal setiap parutan kelapa diiringi dengan basmalah, ketika mencairkan gula Jawanya diiringi dengan kalimat hamdalah. Ketika membuat kleponnya diiringi dengan kalimat Allahu akbar. Ketika membaca tulisan di gambar, si pedagang terguncang dan mengucapkan subhanallah.” ujar akun @muldirun. “Tolong yang tahu sumber asli gambar ini, kasih tahu. Saya penasaran kenapa kue klepon tidak Islami. Apakah karena kue kelepon tidak mengenakah hijab?” Semprot @ikramaki.

Tak ketinggalan ulama asal Madura, Jawa Timur, Maaruf Khozin rupanya ikut menyoroti keributan soal klepon. Ulama yang akrab disapa Gus Maaruf ini menanggapinya dengan sebuah candaan melalui laman Facebooknya. Alih-alih protes, ia malah menimpali dengan sebuah humor. “Masukkan biji kurma ke dalamnya. Langsung jadi klepon Islami,” tulis Gus Maaruf.

Bahkan Kepala Hubungan Masyarakat dan Protokol Masjid Istiqlal, Ustadz Abu Hurairah Abdul Salam ikut merespon viralnya kue klepon. “Memang klepon salah apa dibilang tidak Islami? Hehe lucu,” katanya saat dihubungi Okezone (21/7/2020).

Kue klepon mendadak viral karena diposting dengan caption yang kontroversial. Kalimat ajakan tersebut dinilai terlalu bombastis dan tidak bertanggung jawab. Caption yang menyertakan sudut pandang dari agama Islam, tetapi tidak disertai dengan keterangan yang jelas.

Sayangnya, netizen juga kewalahan lantaran pemilik caption postingan tidak bisa dilacak keberadaannya baik melalui akun media Instagram, Facebook maupun Twitter yang kerap digunakan para netizen di Indonesia. Kendati banyak yang menghujat, caption “Kue Klepon Tidak Islami” juga banyak mendapat balasan lucu campue kesal dari netizen. “Klepon tak diangkat. WA tak dibalas.” tulis penyanyi indie @fiersabesari.

Sisi Islami Klepon

Terutama bagi masyarakat Jawa, klepon mengandung makna yang sangat filosofis. Akar kata ‘Klepon’ berasal dari ungkapan “KLEmbak ing PONdasi.” Artinya, pondasi keimanan dan keilmuan kita harus berpadu untuk diamalkan dalam kehidupan sehingga setiap orang tertarik (kecanduan) untuk mengkaji makna hidup.

Klepon berbentuk bulat dan cenderung tidak tidak simetris karena dicetak secara manual menggunakan tangan. Taburan kelapa parut di atasnya terkadang tidak merata menjadikan tampilan luarnya tampak begitu sederhana.

Kesederhanaan wajah luar klepon tidak lantas penggemarnya berpaling ke lain kue. Justru kelezatannya akan terpancar dari gula Jawa di dalamnya selepas digigit luarnya. Penggila klepon tidak melihat rupanya yang bersahaja, melainkan isi dan rasanya yang membuat ketagihan. Itulah kenapa klepon lebih digemari daripada lainnya. Terlebih ia termasuk kue rendah lemak, sebab proses pembuatannya tidak digoreng.

Klaim Identitas

Islamisasi dan takfiri merupakan contoh klaim atau upaya membangun identitas yang semarak di zaman ini. Bukti-bukti klaim ini bisa dikonstruksi sedemikian rupa sebagai landasannya lewat berbagai cara dan beragam agenda tujuannya. Klaim identitas terhadap klepon yang beredar belakangan sangat boleh jadi memiliki tujuan tertentu, misalnya mengadu antara Islam dan tradisi lokal. Klepon dijadikan mediumnya.

Menurut Syamsurijal, dkk. dalam Kekuasaan, Agama, & Identitas (2019), bahwa klaim identitas merupakan politik perjuangan kelompok inferior dengan menggunakan identitas mereka sebagai sarana untuk meraih pengakuan serta keadilan di segenap aspek kehidupan, termasuk di bidang bisnis kuliner. Gerakan itu dilakukan oleh kelompok inferior demi meraih posisi tertentu dalam kehidupan sosial agar terjadi keseimbangan dan kesetaraan.

Gerakan klaim identitas melalui caption klepon di awal tulisan ini bisa menjadi cermin, bahwa tidak selamanya politik identitas itu sendiri berakhir dengan positif. Ia bisa berubah menjadi sarana untuk mendominasi kelompok lainnya yang tidak sejalan. Inilah model gerakan klaim identitas, sebagaimana yang diungkap Buya Syafii Maarif pada Memorial Lecture Nurcholish Madjid (2010), menyisakan lobang hitam yang mencemaskan.

Bagaimanapun, sejauh klaim identitas berbasis perjuangan suatu kelompok demi meraih pengakuan, kesetaraan, dan keadilan, maka senyatanya tidak ada yang perlu dicemaskan dari gerakan ini. Hanya, jika perjuangan dibalut dengan kepentingan pragmatis semata, terlebih hanya persaingan bisnis kuliner, klaim identitas terhadap status klepon yang dianggap tidak Islami, bisa bergeser menjadi gerakan adu domba atau sebagai ahlu al-fitnah wal jama’ah.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: