KLHK Gelar Rapat Soal Polemik Pembangunan Tugu di Bromo

Soal polemik tugu di Bromo KLHK gelar rapat dengan tokoh Tengger.(Wap)

Kab.Probolinggo, Bhirawa
Polemik pembangunan tugu di padang savana dan lautan Pasir Bromo jadi perhatian. Selasa (17/10), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengundang pihak yang pro dan kontra terkait pembangunan tugu itu. Meski begitu, KLHK belum memutuskan apakah tugu itu bakal dibongkar atau dibiarkan. KLHK masih akan menggelar rapat koordinasi dengan semua pihak di Bromo.
Pihak-pihak yang diundang dalam rapat di kantor KLHK di Jakarta pada Selasa itu diantaranya Sigit Pramono, Ketua Dewan Pembina Masyarakat Fotografi Indonesia (MFI); Kepala Balai Besar TNBTS, John Kennedie; Ketua PHRI Probolinggo, Digdoyo Djamaluddin; Kades Jetak, Kermat; dan Kades Ngadas, Kastaman.
Dalam pertemuan itu, Wiratno, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK mengatakan, polemik terkait tugu akan diputuskan dalam rapat di Bromo. Dalam rapat tersebut, pihaknya akan mengundang pihak-pihak secara lengkap.
“Nanti keputusannya akan dibicarakan lagi pada saat rapat di Bromo. Kami akan mengundang beberapa pihak lainnya agar lebih lengkap lagi untuk menyikapi terkait polemik ini,” jelasnya. Hanya saja, Wiratno belum memutuskan kapan rapat itu akan digelar.
Sementara, tugu itu akan dibiarkan seperti sedia kala. Alasannya, karena pembangunan yang dilakukan melalui APBN, maka harus ada perhitungan matang jika akan dilakukan pembongkaran. “Semua rencana-rencana soal Bromo akan dikonsultasikan ke para tokoh. Untuk pembongkaran sepertinya tidak perlu, mungkin desainnya saja yang perlu diperbaiki. Atau lokasinya bisa lebih ke pinggir,” tuturnya.
Pertemuan itu digagas untuk menyikapi polemik mengenai keberadaan dua tugu yang diprotes Sigit Pramono. Ia menulis surat terbuka pada Hiramsyah Sambudhy Thaib, tenaga ahli Menteri Pariwisata Arief Yahya, yang juga menjabat Ketua Pokja Tim Percepatan Pembangunan 10 Destinasi Pariwisata Prioritas Kementerian Pariwisata (Kemenpar).
Dalam pembahasan, Sigit mengatakan, karena Gunung Bromo masuk kawasan taman nasional, maka prinsip pengelolaan harus mengutamakan konservasi. “Saya mengusulkan agar pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, melakukan 5 hal di Bromo,” katanya.
Di antaranya, membenahi area titik pandang (view point) di Penanjakan. Kemudian membangun gerbang masuk terpadu secara komputerisasi di pintu masuk menuju Bromo. Mulai Cemorolawang di Probolinggo, Dingklik di Pasuruan, dan Jemplang di Malang.
Selain itu, perlu juga membatasi dan mengatur jumlah pengunjung pada jam-jam tertentu di Penanjakan dengan mengalihkan ke kawasan lainnya. Juga membangun jalur kendaraan bermotor di lautan pasir dan savana yang diarahkan ke sisi tebing. Dengan begitu, setiap pengunjung tidak membuat jalur baru.
“Saya tegaskan juga bahwa prinsip dalam membangun kawasan wisata Bromo ada dua. Yakni prinsip konservasi alam untuk melindungi taman nasional, dan prinsip menghormati kesakralan kawasan Bromo, sebagai tempat yang disucikan suku Tengger,” ungkapnya.
Jika dua prinsip itu dipegang menurut Sigit, maka seharusnya tidak ada bangunan permanen termasuk tugu nama di kawasan lautan pasir dan savana. Bangunan permanen yang boleh ada di lautan pasir, hanya pura tempat sesajen, tambahnya.(Wap)

Tags: