Kohesi Sosial Kebencanaan

Oleh :
Rachmad K Dwi Susilo, Ph.D
Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Lingkungan dan Sosiologi Kebencanaan, Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Alumni Public Policy and Social Governance di Hosei University, Tokyo.

Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh beberapa peristiwa bencana berikut. Gempa terjadi di tujuh dusun di Desa Simalegi, Kecamatan Siberut Barat. Senin, 29 Agustus 2022 telah menyebabkan 2.326 jiwa mengungsi.
Gempa ini melengkapi bencana yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya. 23 Februari 2022, Banjir melanda permukiman dan jalanan di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur dan 400 rumah atau kurang lebih 700 kepala keluarga terdampak banjir di Maros, Sulawesi Selatan. Sementara itu, 27 Februari 2022, banjir terjadi di Manggarai, NTT yang membuat 57 rumah tenggelam. Kemudian, 27 Februari 2022, ratusan warga Aceh Timur mengungsi juga karena banjir.
Tidak hanya di Indonesia, banjir juga dialami negara-negara lain seperti: India, Afghanistan dan di Pakistan. Banjir yang melanda di India, 21 Agustus, telah merenggut 15 nyawa. Di Afghanistan, 27 Agustus 2022, menelan korban 180 orang, sementara itu, banjir di Pakistan, 28 Agustus 2022, menelan korban sampai 1.033 orang.

Bencana di atas melengkapi rentetan bencana yang terjadi sebelumnya. 12 April 2022, 200 titik banjir di berbagai daerah tengah dan selatan Filipina menelantarkan 30.000 keluarga. Kemudian, 31 Juli 2022, banjir di Iran menelan korban 80 orang tewas dan 30 orang hilang.

Ibarat Arisan
Semua daerah pasti pernah mengalami bencana. Hanya jenis bencana tidak sama satu daerah dengan daerah lain. Ada bencana alam, bencana sosial atau gabungan antarkeduanya. Bencana alam juga bervariasi dari banjir, tanah longsor, erupsi, gempa dan tsunami. Ibarat arisan bencana alam menyapa siapapun yang “dipaksa” menjadi peserta.
Giliran kebencanaan semacam ini tidak bisa dihindari. Kasus di Indonesia saja, kita tinggal di tiga lempeng tektonik dunia dan cincin asia pasifik yang rentan. Selain itu, ancaman berbagai macam bencana buatan (human made disaster) kian sulit diprediksi. Kondisi anomali iklim, dan pemanasan global semakin memperparah kondisi tersebut.
Pelajaran penting di sini bahwa bencana alam seperti arisan. Kita menuggu waktu. Jika hari ini daerah kita belum ada bencana, hanyalah persoalan waktu. Tidak ada jaminan lolos di waktu-waktu ke depan. Lantas, perilaku sosial apa yang perlu dikembangkan? Hemat penulis, penguatan mitigasi dan dan kesiapsiagaan bencana baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat diperlukan.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kesiapsiagaan merupakan serangkaian kegiatan yang untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Selain itu berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044, ditargetkan tercapainya peningkatan investasi kesiapsiagaan dan pengelolaan risiko bencana sesuai dengan proyeksi peningkatan risiko bencana.
Untuk itu, pemerintah diminta memasukkan antisipasi dan penanggulangan bencana sebagai program-program unggulan. Misalnya, membuat program untuk mengurangi korban akibat banjir, tanah longsor dengan menggerakkan CSR Korporasi dan dan mengorganisir kelompok-kelompok sukarela untuk mengatasi bencana tertentu. Sementara itu, masyarakat dituntut bekerja mandiri mengatasi persoalan kebencanaan yang terjadi di lingkungan mereka. Selain itu, mereka memupuk kepedulian sosial manakala ada bencana di daerah yang lain.

Praktik Kohesi Sosial
Kita membutuhkan analisa sosiologis untuk membuat kebijakan kebencanaan berjalan dengan efektif. Mitigasi dan kondisi kesiapsiagaan tidak bisa efektif tanpa solidaritas sosial dari setiap pelaku. Setiap komunitas memiliki persamaan nilai-nilai, norma dan modal sosial, tetapi tidak ada jaminan kesemua itu akan terbentuk kohesi sosial kuat. Terbukti konflik sosial dan ketidakpercayaan (distrust) dari ekses dari politik setiap anak bangsa melahirkan saling melaporkan kasus ke penegak hukum dan masyarakat masih abai dengan penderitaan anak bangsa lain.
Kesamaan penderitaan akibat bencana menciptakan kohesi sosial karena bencana mendorong manusia bertemu pada momen dan aksi bersama. Maka, solidaritas “baru” ini bukan didasarkan primordial kewilayahan atau persamaan keyakinan dan agama-agama tertentu, tetapi sebagai perasaan bersama. Bencana alam pernah terjadi di Palu, Kabupaten Malang, Kota Batu, Kabupaten Lumajang, Tegal, Banjarnegara, Medan, Kota Tebing Tinggi, Sumatra Utara, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, dan banyak wilayah yang lain.
Sederhananya, tanpa instruksi dan tanpa mobilisasi, semua warga otomatis peduli pada penderitaan warga lain. Tanpa “komando “resmi mereka saling memberi bantuan material maupun immaterial pasca bencana.
Kohesi sosial yang dimaksud bisa digali dari para sosiolog. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kohesi sosial menunjuk kepada perasaan tentang kebersamaan, berkelompok, esprit de corps dan loyalitas kelompok (Alatas, 2012). Ia terbentuk dari ikatan satu individu dengan individu lain, perasaan kepemilikan, ikatan antarindividu dan ikatan dengan kelompok dimana kita menjadi bagian penting. Sementara itu, Robert K Merton (1968) meyatakan bahwa kohesi sosial memberi dukungan psikis kepada kelompok-kelompok yang menderita stres dan ketegangan.
Kemudian bagaimana mempraktikkan kohesi sosial itu? Solidaritas yang ditunjukkan Warga Kabupaten Malang ke Kota Batu pada saat terjadi banjir bandang, 4 November 2021 bisa menjadi pelajaran. Serombangan warga yang rata-rata tukang bangunan datang dan membantu pemulihan wilayah yang rusak diterjang banjir bandang. Tindakan ini didorong resiprositas sosial atau rasa kepedulian dari Erupsi Gunung Kelud yang terjadi tahun 2014 dimana Warga Ngantang ditolong warga Batu dengan menyediakan rumah-rumah untuk pengungsian.
Keteladanan yang kedua kita bisa belajar dari kepedulian warga Ngantang, Kabupaten Malang yang mengirim pakan ternak untuk korban Erupsi Gunung Semeru. Mereka mendatangi Lumajang karena peduli kepada korban. Penderitaan sebagai akibat bencana itu beragam, namun penderitaan karena tidak bisa memberi makan ternak tidak banyak diperhatikan publik, maka Warga Ngantang mengisi kekosongan ini.
Mengobyektivasi kohesi sosial di tengah masyarakat konsumsi hari ini tidaklah mudah, perlu pelembagaan dan penguatan kebijakan. Pelembagaan menyaratkan kemunculan keswadayaan masyarakat, sedangkan implementasi kebijakan membutuhkan komitmen, kapasitas dan kapabilitas organ-organ negara.

——— *** ———-

Rate this article!
Kohesi Sosial Kebencanaan,5 / 5 ( 2votes )
Tags: