Kolaborasi Seni Difabel dan Desainer Hasilkan Karya Fashion

Rizki Ramadityo Wicaksono menunjukkan produk brand KULLE, sekaligus hasil motif yang sudah jadi fashion.

Surabaya, Bhirawa
Art therapy menjadi tren baru dalam dunia seni. Selain untuk menuangkan emosi perasaan dalam bentuk seni, art therapy juga berpotensi menjadi sociopreneur. Seperti yang dilakukan Rizki Ramadityo Wicaksono. Lulusan Desain Komunikasi Visual (DKV) UK Petra menghasilkan brand pakaian yang ia namakan KULLE. Awalnya karya KULLE sendiri, lahir dari Tugas Akhir (TA) yang merupakan bentuk dari inovasi yang diminta oleh pebimbingnya.
“Bagi saya, generasi milineal harus membuat inovasi baru. Membuat sebuah karya yang bisa berdampak positif bagi semua orang. Sekaligus mempunyai historisnya sendiri,” ungkap dia.
Oleh karenanya, ia menggandeng anaka-anak difabel dari Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Surabaya dalam menyumbangkan karya imajinasinya dalam bentuk lukisan. Dari hasil lukisan ini nantinya, laki-laki yang akrab disapa Dio ini akan mengembangkan menjadi sebuah pattern untuk digunakan sebagai bagian dari motif brand KULLE.
“Saya ingin mengembangkan kreatifitas teman-teman difabel agar memiliki kegiatan yang berdampak positif untuk meningkatkan motorik mereka. juga bisa meningkatkan value teman-teman difabel,” ungkap dia.
Misalnya, sambung dia, untuk anak-anak difabel dengan motorik kasar pihaknya akan fokus pada pelatihan tangan agar lebih banyak bergerak dan luwes dengan karya lukisan yang ia namakan “torehan”. Sementara bagi anak-anak difabel dengan motorik kasar, pihaknya melatih untuk berimajinasi dan berpikir dalam penentuan warna.
“Jadi mulanya, saya arahkan mereka di titik mana mereka akan menggoreskan cat-catnya. Setelah itu terserah mereka mau menggambar apa, atau menggoreskan warna apa saja. bebas sesuai imajinasi mereka,” tutur dia.
Menurut dia, produk KULLE yang ia buat bukan semerta-merta hanya selembar kain yang diubahnya menjadi pakaian stylish. Lebih dari itu, setiap motif diakuinya memiliki cerita dan keunikan yang berbeda-beda, karena dibuat langsung oleh anak-anak difabel.
“Setiap motif ada namanya sendiri-sendiri. dan itu punya makna yang berbeda-beda,” tutur dia.
Karena produknya bernilai jual, Dio kini mengembangkan karya originalnya secara komersial hingga ke Korea. “Ada teman saya satu agensi modeling yang mewakili Indonesia untuk fashion show ke Korea. Jadi bisa lebih mudah menitipkan produk kami untuk sekalian dipakai selama karantina di Korea. Secara tidak langsung juga memasarkan,” ceritanya.
Dari produk tersebut, Dio mematok harga termurah untuk T-Shirt sablon seharga Rp 175.000 dan yang paling mahal adalah jas seharga Rp 2,5 juta. Di mana hasil keuntungan penjualan 35 persen dia donasikan untuk anak-anak YPAC Semolowaru, Sukolilo. Dana tersebut berbentuk pengadaan kelas art therapy bersama para ahli di bidangnya.
Sementara itu, Pengurus Pra-vokasi YPAC, Aurelia Agatha mengatakan melalui kelas yang dibentuk Dio tersebut, kedepan bisa menjadi salah satu kegiatan dalam pra-vokasi. Yaitu kegiatan anak-anak YPAC untuk menambah keterampilan diluar pendidikan normal. [ina]

Tags: