Komisi A Wacanakan Pilgub Dipilih di Legislatif

DPRD Jatim, bhirawa
Meski sebelumnya ditolak Komisi II DPR RI terkait pemilihan gubernur lewat legislative, namun tidak menyurutkan Ketua Komisi A DPRD Jatim, Freddy Poernomo untuk tetap mewacanakan hal tersebut.
Alasannya, dengan sistim demokrasi langsung yang dilakukan di Indonesia ternyata membawa efek samping yang cukup signifikan. Dimana banyak kepala daerah yang terkena kasus korupsi hingga satu keluarga tidak akur.
“Coba lihat berapa kepala daerah yang tersandung kasus korupsi pasca pelaksanaan pilkada langsung. Tak heran mereka melakukan tindakan negative karena harus mengembalikan uangnya saat nyalon yang jumlahnya hingga ratusan miliar rupiah untuk bupati/walikota. Dan untuk gubernur mencapai triliunan,”tegas politisi asal partai golkar, Selasa (20/3).
Karena itu, pihaknya setuju untuk Pilgub dilakukan ditingkat legislative. Sedang untuk bupati/walikota tetap digunakan pemilihan langsung. Alasannya gubernur merupakan perwakilan pemerintah pusat yang ada di daerah tentunya cukup dilakukan penunjukan oleh presiden atau dipilih lewat lembaga legislative. Apalagi diketahui gubernur dalam kerjanya tidak memiliki wilayah tidak seperti bupati/walikota.
“Saya setuju untuk menekan adanya kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah sekaligus menekan angka pilkada gubernur khususnya sebaiknya dikembalikan seperti awal. Dengan begitu anggaran negara yang untuk Pilgub Jatim mencapai Rp107 trliun dapat digunakan untuk kepentingan rakyat,’lanjutnya.
Sementara itu, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo meminta agar wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD benar-benar dikaji secara serius di Komisi II DPR. Menanggapi hal tersebut, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan mengakui bahwa selama ini biaya calon kepala daerah dalam pemilihan membutuhkan biaya yang besar dan rawan korupsi.
“Dari dulu itu sebetulnya kan kita udah sepakat, karena gara-gara Perppu saja kan Pak SBY ngeluarin Perppu, enggak jadi. Sekarang berapa banyak yang kena OTT? Kita enggak punya jalan keluar. Pilkada itu biayanya besar,” kata Zulkifli yang juga Ketua Umum PAN ini.
Wacana tersebut, ungkapnya merupakan jalur untuk menghindari para calon dari politik uang. Ia mengungkapkan bahwa biaya kampanye dan saksi bagi calon kepala daerah cukup mahal. ”Contoh aja Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah. Itu kan TPS-nya bisa 80.000 kali Rp 200.000 saja udah Rp 160 miliar. Biayanya dari mana? Gaji gubernur Rp 100 juta, kan dia nyari sumbangan, sumbangan kan kadang sumbernya bisa enggak jelas,” kata Zulkifli.
Kendati demikian, Zulkifli juga menawarkan mekanisme alternatif, seperti Eropa di mana para calon ditanggung oleh negara. Di sisi lain, kata Zulkifli, Indonesia juga bisa meniru mekanisme di Amerika Serikat yang mengizinkan kandidat mencari uang dengan aturan yang ketat. “Sekarang kan enggak boleh, tapi biayanya besar ya mau gimana?. Saksi kan perlu makan, perlu datang, darimana duitnya?,” kata Zulkifli.
Ketua Umum PAN itu juga menegaskan bahwa perlu adanya sistem alternatif terkait pembiayaan pilkada agar parpol dan para calon bisa memperoleh biaya politik yang sesuai dengan ketentuan hukum. “Nah baru kalau masih maling juga, dihantam habis-habisan. Ini kan enggak dikasih jalan,” ujarnya. [cty]

Tags: