Komisi B Minta Permen LHK 39 Dicabut

Hutan pinus yang segera dikembangkan sebagai lokasi wisata.

Bisa Hilangkan Fungsi Hutan
DPRD Jatim, Bhirawa
Komisi B berencana akan mendatangi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Jakarta dan mendesak agar penerbitan Permen LHK P.39 tahun 2017 dicabut. Pasalnya, hal ini bisa menghilangkan fungsi hutan sebagai hutan lindung. Selain sebagai pelindung dari ekosistem yang ada dan mencegah adanya bahaya banjir.
Anggota Komisi B DPRD Jatim, Agus Maimun menegaskan munculnya Permen LHK no.39 dimana intinya disana bagi-bagi lahan hutan tanpa kontrol, tentunya sangat bertentangan dengan UU Kehutanan dan PP yang ada diatasnya.
“Apalagi disana tidak ada baik dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) maupun pertunjuk tekhnis (juknis). Tentunya hal ini sangat berbahaya sekali. Dimana ekosistem yang ada dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan rusak. Ini karena fungsi hutan telah berubah drastis menjadi fungsi produksi,”tegas politikus asal PAN, Rabu (8/11).
Sebaliknya, disini akan timbul konflik baru karena tidak mengatur siapa yang berhak mendapat jatah dan pengelolaannya. Berbeda dengan dulu yang menggunakan sistim kemitraan, dimana masyarakat masih dipinjami lahan untuk pertanian, akan tetapi Perhutani masih bisa mengatur lahan yang digunakan untuk pertanian termasuk dikembalikannya fungsi tegakan.
“Memang saya akui kantong kemiskinan ada sekitar hutan. Tapi semuanya harus diatur secara rigit. Ini penting, karena yang diatur saja masih terjadi pelanggaran, apalagi yang tidak.  Tapi bagaimana kita memberdayakan masyarakat hutan, tentunya dengan tidak mengurangi fungsi hutan,”tambahnya.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Komisi B DPRD Jatim, Firdaus Febrian. Menurutnya konsep hutan sosial yang akan diterapkan khususnya untuk Jatim harus transparan. Dimana dengan memberikan 30 persen fungsi hutan ke masyarakat sangat berbahaya. Ini karena fungsi hutan sebagai pelindung akan hilang dan diganti dengan lahan pertanian. Akibatnya tegakan yang dapat melindungi guyuran air saat musim hujan dapat ditahan lewat adanya tegakan. Berikut saat musim kemarau, dapat menyimpan air agar tidak terjadi kekeringan.
“Karenanya saya setuju Perhutanan sosial harus ditinjau kembali untuk kemaslahatan umat. Jangan sampai dengan kebijakan tersebut akan menghancurkan ekosistem yang ada,”papar politikus asal Gerindra.
Seperti diketahui, sejumlah elemen masyarakat seperti LSM Lodaya, Jawa Barat dan Perkumpulan Pensiunan Pegawai Kehutanan mengajukan permohonan hak uji materiil (judicial review) terhadap Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.39 Tahun 2017 di Gedung Mahkamah Agung.
“Permen LHK No.39 itu intinya bagi-bagi lahan hutan tanpa kontrol dan karenanya bertentangan dengan UU Kehutanan dan Peraturan Pemerintah yang ada di atasnya,” kata Agung Mattauch, kuasa hukum para pemohon
Bayangkan, dengan Permen LHK No.P 39 maka di masa mendatang para pemegang Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) berkesempatan membabat kayu dalam hutan lindung. Tidak itu saja, pemegang IPHPS juga diberikan kesempatan untuk mengelola hutan.
Kalau pengelolaan hutan diberikan kepada ribuan pemegang IPHPS yang tidak cakap maka dapat dibayangkan kondisi hutan Indonesia yang akan datang. Tinggal tunggu bencana alamnya saja.
Di samping merusak lingkungan alam, bagi-bagi lahan hutan tanpa kontrol kepada pemegang IPHPS rawan konflik horisontal, karena di tempat-tempat tertentu di areal Perum Perhutani sudah ada ijin pemanfaatan hutan kepada masyarakat.
Untuk mencagah efek bagi-bagi hutan tanpa kontrol tersebut, para pemohon minta Mahkamah Agung segera mencabut Permen LHK No.39. Hutan bukan untuk dibagi-bagikan tapi dimanfaatkan untuk kepentingan publik yang lebih luas. [cty]

Rate this article!
Tags: