Komisi E Prihatin Masih Ada Pungli di SMA/SMK

Mathur Husyairi

DPRD Jatim, Bhirawa
Komisi E DPRD Jatim masih menemukan pungutan liar (pungli) di sejumlah SMA dan SMK di Jatim dengan alasan yang beragam. Karena itu, para wakil rakyat berharap Pemprov Jatim bisa mencarikan solusi terbaik.
“Saya dapat pengaduan dari masyarakat di salah satu SMA di Jatim ada pungutan yang dilakukan oleh pihak sekolah. Ini sangat memprihatinkan karena sudah menjadi komitmen Pemprov Jatim kalau di tingkat SMA dan SMK gratis semua,” ujar Mathur Husyairi anggota Komisi E DPRD Jatim, Rabu (15/1) kemarin.
Lebih jauh politisi asal Madura ini menjelaskan bahwa pungli di sejumlah SMA/SMK di Jatim kebanyakan dikemas dalam bentuk sumbangan didukung oleh komite sekolah. Alasannya, dana BOS dan BOPP (Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan) yang mereka terima tidak mencukupi.
“Dana Bos reguler dan dana BOPP yang dikucurkan pemerintah jika digabungkan hanya mencapai kisaran Rp 2 juta per siswa pertahun. Padahal kebutuhan ideal menurut kepala sekolah SMA/SMK se Mojokerto mencapai Rp 4 juta,” ungkap politisi asal PBB ini.
Ditambahkan Mathur, anggaran bantuan operasional sekolah yang diberikan pemerintah pusat maupun Pemprov Jatim memang cukup kalau sekedar untuk operasional pendidikan namun hanya jalan di tempat, sehingga untuk mencapai pendidikan berkualitas jelas tidak memungkinkan.
Ia berharap untuk menutupi kekurangan anggaran operasional sekolah, Mathur mendesak RAPBS (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) untuk satu tahun kedepan perlu dibahas bersama antara pihak sekolah dan perwakilan orang tua siswa agar tidak menimbulkan saling curiga.
“Kalau RAPBS digelar bersama-sama dan terbuka, maka akan diketahui sumber pendapatan dan pengeluaran sekolah. Jika ada defisit maka perlu dibahas bersama langkah apa yang perlu dilakukan untuk menutupi kekurangan biaya pendidikan di sekolah tersebut,” jelasnya.
Di sisi lain, Mathur juga menyarankan pihak sekolah dan pemerintah mendorong kepada perusahaan dan dunia perbankan mau mengucurkan sebagian dana CSR(Corporate Social Responsibility) untuk dunia pendidikan selain beasiswa.
Harapannya, sumbangan di sejumlah SMA/SMK di Jatim bisa diminimalisir bahkan ditiadakan sehingga jargon gratis bukan lagi isapan jempol.
“Saya berharap pemerintah mengkaji bersama memutuskan besaran untuk pelaksanaan pendidikan di setiap sekolah di Jatim. Kalaupun ada kekurangan juga jelas nilainya berapa sehingga pemerintah bisa meminta CSR perusahaan untuk membantu menutup biaya pendidikan tersebut,” pungkas Mathur. (geh)

Tags: