Komisi II DPR RI Gali Masukan tentang Perppu Ormas ke Daerah

DPRD Jatim, Bhirawa
Rombongan Komisi II DPR RI menggali masukan terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017. Kali ini para wakil rakyat itu menggali masukkan ke Pemprov Jatim.
Masukan ini sedianya digunakan oleh para wakil rakyat sebelum Perppu tersebut menjadi undang-undang. Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fandi Utomo mengatakan kedatangan rombongan Komisi II kali ini, karena memang ada beberapa ormas yang hanya tercatat di pemerintahan daerah.
“Setidaknya  ada sekitar 349 ribu ormas yang ada di Indonesia. Juga ada 3 ribu lebih yang hanya terdaftar di Pemprov Jatim dan 7 ribu ormas yang hanya terdaftar di kabupaten/kota. Selain itu ada 6 ormas yang tidak terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM,” ungkap Fandi saat dengar pendapat di Pemprov Jatim, Minggu (8/10).
Kata Fandi, rapat yang digelar di Pemprov Jatim ini dalam rangka mendengar masukan dari Komisi II. Sementara penjelasan dari pihak pemprov, Perpu No 2 Tahun 2017 ini, dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Jatim.  Hal ini disampaikan langsung Sekretaris Daerah (Sekdaprov) Jatim Achmad Sukardi.
Sementara dalam dinamika pembahasan Perppu tersebut di DPR, mulai dapat dilihat dari permintaan penjelasan tambahan kepada pemerintah atas penjelasan yang  sudah diberikan oleh pemerintah kepada DPR beberapa waktu lalu.  Permintaan penjelasan tambahan itu dijelaskan oleh Fandi terkait sejumlah hal.
Setidaknya beberapa poin penting dalam Perppu No 2 Tahun 2017 yang patut jadi perhatian khusus ini. Karena, beberapa masukan dari masyarakat yang diterima oleh DPR. Pertama terkait proses hukum yang berlakukan kepada ormas yang melanggar. Di UU No 17 Tahun 2013, bagi ormas yang melanggar, pemerintah yang membawa ke pengadilan. Kemudian, pembubarannya setelah ada putusan dari pengadilan. Sementara, di Perppu No 2 Tahun 2017, ketika ada ormas yang melanggar, pemerintah bisa langsung membubarkan dan baru diberikan kesempatan untuk menempuh jalur pengadilan.
“Pendekatan yang digunakan dua perangkat hukum ini berbeda. Pada UU No 17 Tahun 2013, pendekatan yang digunakan lebih kepada pembinaan dan implementasi Pasal 28 UUD 1945. Sedangkan, pada Perppu No 2 Tahun 2013, pendekatannya lebih pada kedulatan negara,” jelas Fandi.
Masih kata anggota DPR RI Dapil 1 (Surabaya-Sidoarjo), ormas yang seharusnya menjadi wadah atau sarana pembinaan kolektif Civil Society, dalam Perppu ini ormas dapat dipandang pula sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara, Pancasila dan Binneka Tunggal Ika.
Kemudian terkait sanksi pidana, dalam Perppu No 2 Tahun 2017, sanksi pidana ini melekat kepada seluruh anggota ormas yang melanggar. Artinya itu tidak terbatas pada pimpinan ormas saja. Misalnya, kata Fandi, ada ormas yang memiliki anggota seribu orang, maka ketika ormas tersebut dinyatakan melanggar dan dilarang maka sanksi pidana ini berlaku kepada seribu orang anggota tersebut.  [cty]

Tags: