Komisi XI Anggap Program KIS Cacat Hukum

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

DPRD Jatim, Bhirawa
Program Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang digagas oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dianggap Komisi XI DPR RI cacat hukum. Karenanya, jika KIS tetap dipaksa diberlakukan pada 2014 ini, maka dipastikan akan melanggar hukum dan masuk dalam ranah pidana. Mengingat dalam APBN 2015, untuk pelaksanaan program kesehatan ada pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Anggota Komisi XI  DPR RI, Soepriyatno mengaku jika program yang digagas oleh Presiden Jokowi sangat baik untuk masyarakat. Tapi di balik itu semua, KIS tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Ini karena dalam APBN 2015 yang masuk hanya nomenklatur JKN bukan KIS. Karenanya, jika program KIS dipaksakan berlaku pada 2014 ini akan berdampak pada hukum pidana dan dianggap korupsi.
“Jujur sebenarnya program Pak Jokowi itu bagus, tapi lebih dari itu kita melihat bila KIS dipaksakan  berlaku pada 2014 ini jelas pelanggaran hukum dan masuk dalam kasus korupsi. Kalau Pak Jokowi tidak mau dijerat pada tuduhan tersebut, seharusnya program ini dibicarakan lebih dahulu dengan DPR RI. Dan program tersebut baru bisa dibahas pada Januari 2015,”papar pria yang juga Ketua DPD Partai Gerindra Jatim ini, Rabu (5/11).
Ditambahkannya, sebenarnya pemerintahan saat ini tidak perlu meluncurkan KIS, KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), yang notabene hanya berganti nama saja. Mengingat pemerintahan sebelumnya (SBY) sudah mengeluarkan program JKN  sekarang diganti KIS, Bantuan Siswa Miskin (BSM) diganti KIP dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kini menjadi KKS.
Sebaliknya, Presiden Jokowi melanjutkan program BPJS yang baru berjalan satu tahun itu dengan memperbaiki beberapa persoalan yang dianggap menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. ”Seharusnya Pak Jokowi tidak perlu meluncurkan tiga kartu tersebut. Toh, manfaatnya sama dengan program yang digagas Pak SBY dulu. Yang perlu dilakukan sebenarnya memperbaiki beberapa persoalan yang ada di BPJS.
Mengingat program pemerintah ini belum tersosialisasi di masyarakat dengan baik. Di sisi lain BPJS sudah masuk dalam nomenklatur di APBN 2015, sehingga tidak susah jika ingin menambah anggaran,”paparnya.
Seperti diketahui, sebelumnya Komisi E DPRD Jatim meminta kepada pemerintah pusat agar mengevaluasi kembali pembagian KIS kepada masyarakat miskin di Indonesia.      Anggota Komisi E DPRD Jatim Mohammad Eksan mengatakan pemerintah jangan terburu-buru dalam membagikan program KIS ini  karena akan berdampak adanya tumpang tindih dengan BPJS Kesehatan.    Seharusnya pemerintah, lanjut Eksan, mendorong BPJS Kesehatan menuntaskan segala permasalahannya, misalnya soal kepersertaan masyarakat miskin yang belum tercover keseluruhan karena kendala administrasi dan tingkat akurasi data kemiskinan. Bukan malah mengganti dengan program baru.

Pertanyakan Tender
Sementara itu Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengkritik peluncuran tiga kartu sakti oleh Presiden Jokowi. Pasalnya, peluncuran Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) belum dibicarakan dengan DPR.
“Kartu itu kan perlu ditender. Bayangkan kartu biasa bisa Rp 5.000 kalikan 15 juta penduduk, sudah berapa triliun itu. Di atas Rp 1 miliar saja harus ditender, apalagi yang triliunan,” ujar Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, (5/11).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu mengaku khawatir itikad baik yang ingin Presiden Jokowi lakukan justru nantinya disalahgunakan. Ia mencontohkan, penyelamatan Bank Century pada awal 2009. Saat itu pemerintah mengatakan itu adalah itikad baik untuk selamatkan bangsa dari krisis ekonomi,tapi justru efeknya orang masuk bui. “Itikad baik itu bukan satu-satunya, tapi legal prosedural penting dan harus dipenuhi,” kata dia.
Pertanyaan senada disampaikan Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM. Direktur Advokasi Pukat, Hifdzil Alim, meminta agar  pemerintah transparan dan menjelaskan mengenai pengadaan tiga kartu yaitu KIS, KIP dan KKS. “Presiden Jokowi harus menjelaskan dari mana pos anggaran untuk ketiga kartu tersebut,” katanya.
Menurut Hifdzil yang harus dilakukan adalah  siapa yang bertanggung jawab terhadap ketiga kartu tersebut dan siapa pelaksananya. “Harus ada transparansi anggaran, berapa jumlah penerima, identitas harus jelas,” kata dia.
Selain itu jika memang ada alokasi anggaran di Kementerian itupun menurut Hifdzil harus dipastikan dari pos anggaran yang mana. “Presiden harus bisa menjelaskan pos anggaran mana yang diambil dari kementerian yang melaksanakan program tersebut. Jangan sampai ada kesalahan administrasi karena itu bisa masuk kategori korupsi. Jadi harus jelas mengambil pos yang mana,” kata dia.
Pengadaan KIS akan memakai dana BPJS sebesar Rp 20 triliun untuk realisasi pada  2014. Sedangkan untuk KIP menggunakan dana dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp 6,3 triliun. [cty,ira]

Tags: