Komitmen Lingkungan Pesantren Zero Kekerasan

Oleh :
Zaenal Abidin
Dosen Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
Humas Pondok Pesantren Modern Daarul Fikri Mulyoagung Kab. Malang

Tahun 2022 diharapkan menjadi angin segar dan harapan baru bagi semua institusi pesantren, orang tua santri, santri, dan alumni pesantren serta semua pegiat Anak di Indonesia. Itu semua, karena adanya komitmen dari stake holder pesantren untuk berupaya memperbaiki citra lembaga pesantren di Indonesia yang dalam waktu terakhir ini mengalami “tsunami” institusi. Bagaimana tidak, “tsunami” itu kemudian mencoreng lembaga pesantren yang selama ini sakral mencerminkan institusi agama Islam yang luhur, militan, berwawasan global.
Pesantren perlu waspada dan menjadikan pembelajaran penting dengan beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pondok pesantren sepanjang tahun 2022, antara lain pertama, kyai FZ di Pondok Pesantren Lembah Arafah di di Desa Curah Petung, Kedung Jajang, Lumajang, Jawa Timur diduga telah tega mencabuli 3 santriwatinya pada Mei 2022. Kedua, 3 (tiga) orang ustad dan 1 (satu) kakak kelas dengan sengaja melakukan pencabulan dan pemerkosaan kepada 11 santriwati di bawah umur di Pondok Pesantren Istana Yatim Ridayul Jannah yang berlokasi di Beji Timur, Depok, pada Juni 2022. Kemudian, ketiga, pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang pimpinan Pondok Pesantren di Subang berinisial DAN (45) kepada santriwatinya yang masih berusia 15 tahun, dan lakukan sejak Desember 2020 hingga Desember 2021, dan dilaporkan pada bulan mei 2022. Keempat, kasus viral yang menbuat miris dan marah masyarakat Indonesia adalah HW (37) pengurus dan pendiri Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, telah memperkosa belasan santriwatinya yang dilakukan di berbagai tempat, salah satunya Pesantren Tahfidz Madani, di mana tempat korban belajar dan menghapal Al-Qur’an. Atas perbuatannya setidaknya empat santriwatinya hamil dan melahirkan, inilah yang menyayat hati orang tua santriwati dan masyarakat Indonesia secara umum. Kelima, Mochamad Subchi Azal Tsani (42) atau disapa mas Bechi, anak Kyai ternama di Jombang, sebelumnya masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) setelah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pencabulan dan pemerkosaan terhadap santriwati di Pesantren Majma´al Bahrain Shiddiqiyah, bahkan proses penangkapannya pun secara live menyita perhatian publik.
Disamping kekerasan seksual, ternyata secara terselubung dan mungkin menjadi “kesepakatan intern” adalah kekerasan fisik kepada santri atas kesalahannya karena tidak sesuai dengan intruksi senior atau kakak kelas di pesantren. Kekerasan yang dilakukan oleh 12 santri terhadap seorang santri lainnya hingga meninggal dunia, kasus tersebut terjadi di Pondok Pesantren Darul Qur’an Lantaburo, Cipondoh Tangerang terjadi pada Agustus 2022. Kasus ini setidaknya memunculkan spekulasi atas kelalaian pengasuh atau pengelola pesantren, sehingga hal ini lepas dari pengawasan pimpinan pondok pesantren. Kemudian, meninggalnya seorang Santri Ponpes Gontor Ponorogo berinisial AM (17) meninggal dunia, hal ini diakibatkan oleh penganiayaan seniornya. Belakangan ini, meninggalnya VN (15), santri di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Nusaherang, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat meninggal dunia pada hari Minggu, 20 November 2022, hal ini diduga meninggal karena dianiaya dua seniornya, belum tuntas kasus di kabupaten Kuningan, terjadi lagi kasus kekerasan sampai meninggal dunia terhadap santri DWW (14) yang diduga dianiaya oleh seniornya, berupa pukulan dan tendangan karena melanggar aturan kebersihan di pondok pesantren.
Kondisi di atas semakin membuka mata publik atas kondisi di dalam lingkungan pesantren yang identik dengan “top secret institution” tampak baik di luar namun tak sesuai dengan ekspektasi aktifitas sesungguhnya. Penulis dalam hal ini tidak bermaksud menjustifikasi dan melakukan generalisir atas fakta kondisi pesantren yang tersampaikan di atas “buruk”. Namun jauh daripada itu, fenomena ini menjadi catatan kritis dan upaya produktif untuk masa depan pesantren. Catatan data KPAI bulan Januari-Juli 2022 (Juli, 2022) mencatat selama tahun 2022 ada 41% kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan pesantren, yang notabene sebagai lembaga penguatan nilai-nilai fundamental agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin, artinya sekitar 12 kasus dan relatif viral. Pondok Pesantren menjadi tempat terbanyak diduga lokasi kekerasan seksual terhadap anak, dengan berbagai modus mulai mengisi tenaga dalam, memberikan ilmu sakti, fikih aqil baligh, ritual-ritual untuk paham agama, dan lain-lain. Ancaman pun juga tak kalah dilakukan oleh pelaku yang menjadikan korban semakin tersudut.
Artinya belajar dari beberapa kasus kekerasan seksual terhadap santriwati di atas, menjadi muhasabah bagi kementerian agama, pendiri, pengasuh dan pengelola pesantren untuk berbenah dalam memberikan layanan paripurna bagi santri dan harapan optimis bagi orang tua. Kita semua ingin bahwa acap kali mendengar kata pesantren, umat Islam di Indonesia pasti tak asing dengan strata institusi pemahaman agama Islam yang tinggi. Hal ini pun kemudian memposisikan pesantren dalam kelas-kelas sosial yang sangat eksklusif. Bahkan tak jarang “metamorfosis” pesantren saat ini menjadi model-model Islamic Boarding School.

Implementasi Pesantren Ramah Anak Perlu disegerakan
Mencuatnya kasus-kasus kekerasan kepada santri dalam kurun waktu 1 tahun terakhir ini, kemudian mendesak Kementerian Agama RI untuk merumuskan desain pesantren ramah anak. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 4836 tahun 2022 tentang Pendidikan Pesantren Ramah Anak. Ini merupakan terobosan konkrit setelah hampir 2 (dua) tahunan, pembahasan pesantren ramah anak ini mengemuka dan menjadi perbincangan pegiat anak baik di pemerintah maupun non pemerintah.
Kebijakan Dirjen Pendidikan Islam di atas telah merangkumi beberapa aspek fundamental antara lain penguatan visi kepesantrenan holistik, komprehensif untuk tumbuh kembang santri yang sasarannya adalah pendiri, pimpinan pengurus Pesantrean pengasuh/musrif atau musrifah, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Selain itu, di dalam kebijakan tersebut juga mendorong adanya peningkatan saranan dan prasarana pesantren, manajemen layanan bagi santri. Bahkan, disinggung juga dalam kebijakan tersebut terkait proporsionalitas antara jumlah pengasuh/musrif atau musrifah dengan santri (mungkin yang ideal adalah 1 musrif/musrifah : 15-20 santri), sehingga kedepan didorong pada pemenuhan layanan yang ideal bagi santri.
Berkaca dari kondisi eksisting di atas maka, tidak dapat ditunda lagi bahwa pesantren ramah anak, merupakan kebutuhan mendesak bagi Indonesia. Sehingga, harapan santri dan orang tua terhadap institusi pesantren sebagai lembaga yang mampu memenuhi harapan santri dan orang tua dalam aspek keagamaan yang paripurna niscaya segara dilakukan. Semoga catatan akhir 2022 menjadi pijakan reflektif untuk menuju Pesantren Indonesia Lebih Baik.

——— *** ———

Tags: