Komitmen Politik Sektor Pertanian

Gumoyo Mumpuni NingsihOleh :
Gumoyo Mumpuni Ningsih
Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang

Berbagai kebuntuan saat ini tengah menyumbat jantung sektor pertanian. Sumber masalah adalah kecilnya kepemilikan rata-rata lahan rumah tangga petani. Sebuah komitmen politik amat diperlukan guna menjebol kebuntuan yang selama ini hampir tak pernah hinggap dalam lanskap kebijakan negara.
Berangkat dari realitas itu, pemerintah akhirnya membuat kebijakan terkait reformasi tanah. Dengan otoritas yang dimiliki, negara berencana membuka lahan pertanian seluas 9 juta hektar dan membagikan kepada 4,5 juta petani marjinal. Tujuannya, menumbuhkan pusat ekonomi baru berbasis pertanian dan perkebunan. Tentu kebijakan tersebut diharapkan bukan hanya slogan. Bangsa ini sesungguhnya teramat kaya dengan kebijakan, tetapi miskin implementasi.
Reformasi lahan
Peran profetis negara di sektor pertanian ini punya nilai strategis di tengah upaya meningkatkan produktivitas sektor pertanian guna mewujudkan swasembada pangan. Persoalan reformasi tanah saat ini menjadi keniscayaan ketika berbicara tentang pembangunan sektor pertanian. Ada dua hal mendasar yang menggantung di sektor pertanian.
Pertama, kepemilikan lahan yang luar biasa kecil. Data kementerian pertanian menunjukkan rata-rata kepemilikan 0,3 hektar saja. Padahal, lahan ideal yang harus dimiliki petani adalah 2 hektar.
Kedua, kondisi-kondisi yang menyebabkan sektor pertanian menjadi pihak yang selalu kalah dan tersingkirkan, baik yang terkait soal alam, teknologi maupun kelembagaan pertanian. Dengan struktur kepemilikan lahan yang kecil, segala atribut semacam efisiensi dan produktivitas sungguh jauh panggang dari api. Banyak penyebab semakin mengecilnya rata-rata kepemilikan lahan pertanian. Mulai dari konversi lahan pertanian untuk pabrik, perumahan, perkantoran, dan lain-lain.
Persoalan sempitnya kepemilikan lahan adalah ironi memilukan. Beberapa studi mengenai rumah tangga petani menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki lahan sangat sempit, bahkan banyak di antaranya yang tidak punya lahan dan cuma menjadi buruh tani. Di Jawa, petani gurem bahkan mencapai 75 persen rumah tangga petani. Ini yang diharapkan bisa diatasi dengan kebijakan reformasi tanah.
Reformasi tanah memiliki nilai strategis dalam tiga hal. Pertama, reformasi lahan bisa meningkatkan produksi pertanian, yang dalam jangka panjang bisa berkontribusi terhadap swasembada pangan. Kedua, dengan reformasi lahan petani akan lebih efisien berproduksi sehingga akhirnya bisa mendongkrak produktivitas. Ketiga, reformasi lahan juga instrumen distribusi kesejahteraan ekonomi karena memaklumatkan pembagian aset produksi (tanah) kepada petani (Schultz, dalam Yustika, 2009).
Reformasi tanah bagi petani merupakan bagian esensial di sektor hulu, tetapi hanya akan bermakna apabila kebijakan di sektor hilir juga direformasi. Reformasi di sektor hilir itu tak lain adalah reformasi pertanian. Selama ini petani selalu dikalahkan oleh proses struktural yang sangat sistematis sehingga tidak mungkin ada perubahan tanpa intervensi.
Petani tidak berdaya berhadapan dengan pelaku ekonomi di sektor hilir yang berkuasa menekan harga ataupun waktu pembelian/penjualan komoditas pertanian. Di sinilah negara seharusnya hadir mereformasi lembaga pertanian. Realitas kelembagaan yang selama ini terjadi adalah jaringan distribusi pemasaran produk pertanian dikuasai pelaku sektor hilir sehingga setiap peningkatan harga tidak dinikmati petani.
Secara kelembagaan, ada dua agenda kelembagaan yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, menerbitkan statuta hubungan antarpelaku ekonomi yang lebih menjanjikan kesetaraan (misalnya petani dengan tengkulak atau petani dengan koperasi). Kedua, memperluas basis kegiatan produksi dan distribusi melalui penguatan organisasi ekonomi petani untuk mengurangi kuasa pelaku sektor hilir.
Peran pemerintah
Hampir di seluruh negara, yang namanya kaum tani selalu dilindungi oleh pemerintahannya. Walau bentuk perlindungan dan pembelaannya berbeda-beda, namun tujuan yang ingin diraihnya tetap berujung pada terjelmanya kondisi kehidupan yang lebih baik dari waktu-waktu sebelumnya.
Bekerja, bermartabat dan sejahtera adalah slogan yang kerap kali mengumandang dan dijadikan semangat yang harus sesegera mungkin dapat diwujudkan. Itulah sebabnya, niat para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lewat usul inisiatifnya untuk melahirkan Undang Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, rasa-rasanya pantas diberi acungan jempol.
Indonesia dikenal sebagai negeri agraris, selain juga sebagai negara maritim. Selama 70 tahun Indonesia merdeka, baru dalam beberapa tahun belakangan ini ada kehendak untuk menerbitkan regulasi sekelas undang-undang yang “berani” berbicara soal petani dan nelayan. Sebelum-sebelumnya, dalam mempersepsikan pembangunan pertanian, pemerintah terekam lebih terpukau oleh hal-hal yang bersifat fisik dan kapital. Sektor pertanian pun lebih dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan produksi dengan hasil sekian ton per hektar. Peningkatan produksi pun dijadikan salah satu ideologi pembangunan pertanian yang harus diwujudkan.
Pemerintah lebih suka menghitung berapa sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), misalnya, ketimbang berpikir cerdas untuk meningkatkan pendapatan para petani. Pemerintah lupa bahwa di balik terjadinya peningkatan produksi dan produktivitas tersebut, ada yang namanya petani.
Mereka inilah sesungguhnya yang menjadi subjek dari pembangunan pertanian yang selama ini telah mampu menorehkan berbagai kisah sukses, baik di dalam negeri maupun di panggung dunia. Di benak petani, prestasi Pemerintah Orde Baru (Orba) dalam meraih swasembada beras, tidak berarti apa-apa sekiranya kondisi kehidupannya tidak mengalami banyak perubahan.
Namun sangat disayangkan, paradigma pembangunan pertanian yang kita lakoni, belum memberi penghormatan yang memadai bagi para petani. Pemerintah lebih fokus pada upaya peningkatan produksi guna menggapai swasembada. Langkah ini cukup berhasil, di mana pada tahun 1984 kita sudah mampu menjadi bangsa yang mampu berswasembada beras. Anehnya, keberhasilan merebut swasembada beras tersebut tidaklah diikuti dengan semakin membaiknya kesejahteraan petani.
Akibatnya, wajar, jika di tengah-tengah hasrat pemerintah untuk mewujudkan swasembada beras, kedele, jagung, daging dan gula yang harus dicapai pada tahun 2017 mendatang, maka sedini mungkin perlu dipahami juga soal kesejahteraan para petaninya. Artinya, buat apa kita dapat menggapai swasembada, kalau para petaninya tetap berada dalam suasana hidup yang memprihatinkan. Malah, akan lebih memilukan jika di belakang kesuksesan swasembada lima komoditas strategis beras, kedele, jagung, daging dan gula di atas, para petaninya malah tetap saja terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang tidak berujung pangkal.
Melindungi dan membela petani selaku warga bangsa, jelas membutuhkan komitmen yang jelas dan tegas. Tanpa adanya komitmen, sebagus apa pun paradigma yang kita bangun, ujung-ujungnya cenderung akan dikalahkan oleh beragam kepentingan. Apalagi, dalam era reformasi, di mana banyak ditemukan ‘keanehan-keanehan’ dalam kehidupan berdemokrasi.
Kiprah para “raja kecil” di daerah terkadang menjadikan pembangunan pertanian dan petaninya kian terpinggirkan dari pentas pembangunan. Mereka kerap kali memandang sektor pertanian dengan sebelah mata. Mereka rupanya lebih terpesona dengan kegiatan-kegiatan yang quick yealding dan jelas takaran hasilnya. Mengingat pertanian dianggap kegiatan yang membutuhkan waktu cukup lama, maka sektor ini tidak pernah dijadikan prioritas. Malah kalau perlu lahan-lahan pertanian dialih-fungsikan saja untuk diganti dengan mal atau perumahan.
Berangkat dari persoalan ini, banyak solusi dengan mentransformasi sektor pertanian secara utuh. Misalnya pemerintah menyediakan dan memperbaiki infrastruktur dasar bagi pembangunan sektor pertanian. Cara lain adalah memperkuat pasar sebagai media yang mempertemukan transaksi sektor hulu dan hilir pertanian.
Selanjutnya pemerintah bisa menggandeng pelaku ekonomi swasta untuk kegiatan setelah panen di sektor pertanian, khususnya pengolahan dan pemasaran produk pertanian. Pemerintah perlu memahami dan mendalami struktur persoalan sektor pertanian sampai tingkat mikro sehingga desain kebijakannya akurat. Pada titik ini, kebijakan reformasi tanah merupakan syarat, tetapi belum memadai jika tidak didukung kebijakan pada level mikro.
Pada level mikro konsentrasinya adalah mendesain kesetaraan struktur kekuasaan antarpelaku ekonomi sektor pertanian. Tanpa perubahan konfigurasi kekuasaan, kebijakan reformasi tanah justru menyuburkan praktik eksploitasi di sektor pertanian. Dampaknya adalah ketimpangan pendapatan melebar. Akhirnya, komitmen politik dalam kebijakan sektor pertanian harus betul-betul diteguhkan negara agar ke depan wajah sektor pertanian di Indonesia menjadi lebih bermartabat, khususnya kebijakan reformasi tanah dan perbaikan kesepakatan kelembagaan antarpelaku ekonomi.

                                                                                          ———————– *** ————————

Rate this article!
Tags: