Komodifikasi Agama Dalam Kapitalisme Global

Muhamad KhuluqOleh :
M. Khusnul Khuluq
Pengasuh PAYM Bojonegoro

Sejauh mata memandang, selalu melihat manusia-manusia berjalan kesana kemari. Hampir setiap hari mereka disibukkan dengan ini dan itu. Semunya tidak lepas dari kebutuhan mendasar mereka, yakni penghidupan. Bisa disaksikan para pedagang di pasar-pasar dan juga di sepanjang jalanan, mereka mengais rizki untuk meneruskan hidup mereka dan keluarga mereka. Juga di deretan toko-toko di sepanjang jalanan, semuanya beraktivitas untuk meneruskan hidup. Semuanya mengarah pada satu hal, yakni melakukan aktivitas ekonomi demi memelihara kelangsungan hidup.
Kita bisa lihat tukang bakso, yang berkeliling di sekitar komplek perumahan hampir setiap hari. Mereka menawarkan baksonya pada hampir setiap orang dengan memukul kentongan seraya berteriak mengucap “bakso-bakso” berakli-kali. Dan profesi ini dijalani selama bertahun-tahun. Bisa dilihat juga penjual tahu yang selalu berkeliling di lorong-lorong. Dengan sabarnya berteriak mengucap “tahu-tahu” berkali-kali pula. Ada kalanya kedinginan tatkala hujan datang, sementara mereka masih harus menjual habis tahu-tahu mereka, dan tentunya mereka kepanasan tatkala terik matahari menyambut mereka, sementara mereka masih harus menjual habis tahu-tahu mereka.
Begitu juga sekumpulan tukang becak, yang senantiasa berkomitmen untuk datang tepat waktu ke pangkalan becak, berharap ada satu atau dua orang yang bisa diantar, dan mendapat upah keringat yang tak seberapa.
Ketiga profesi diatas begitu mulianya dimata Agama. Ada kalanya mereka mengeluh, namun merek selalu ingat, bahwa setiap keringat yang mereka teteskan akan diganti dengan ampunan Tuhan. Atas dalih ini, mereka memaksakan untuk menguatkan diri dan terus menjalani pekerjaan mereka.
Sekilas memang tampak bahwa ketiga hal tersebut adalah aktivitas yang biasa saja. Namun, jika diperhatikan, ada yang tidak lazim dari aktivitas mereka ini. Yakni sebuah aktivitas ekonomi yang tidak sehat. Dan penyebabnya tidak lain adalah kapitalisme global.
Kapitalisme global yang sudah merasuk pada budaya pribumi berpengaruh sedemikian tragisnya. Seorang manusia dirampas haknya, sampai-sampai membuat mereka hampir putus asa.
Seorang manusia yang lahir dengan sifat bebas, dipaksa untuk menjual bakso. Seorang manusia yang lahir dengan sifat bebas, dipakasa untuk menjual tahu. Begitu juga seorang manusia yang lahir dengan sifat bebas, dipaksa untuk menjadi tukang becak.
Begitu tragisnya kapitalisme merasuk dalam budaya pribumi. Tak kenal ampun dan tak kenal sapa, membuat manusia pribumi terasingka di bumi mereka sendiri. Waktu hanya dinikmati para pemilik modal. Jalanan hanya dilalui para kapitalis. Sarana-sarana umum hanya dihuni oleh para penyandang harta yang tak kenal asih.
Kapitalisme Glabal dan Komodivikasi Agama
Dalam beberapa paragraf sebelumnya telah digambarkan ralitas yang kita hadapi saat ini. Yakni kapitalisme global yang sudah merasuk pada setiap detil kehidupan manusia pribumi. Kapitalisme yang tak kenal ampun. Kapitalisme yang tak kenal iba.
Masuknya kapitalisme membuat semua yang ada terkapitalisasi. Tak ada lagi yang tersisa. Semua hal dinilai dengan untung-rugi. Pemegang modal akan menentukan segalanya. Sementara itu, para buruh terpaksa mengikuti kebijakan pemegang modal, karena tidak adanya pilihan.
Semuanya tidak ada yang tersisia. Bahkan Agama juga dijual. Agama yang seharusnya menjadi tuntunan hidup manusia telah diubah menjadi barang komoditas yang dapat mendatangkan keuntungan pribadi. Pada masa modern ini, hampir semua sektor dikuasai pemilik modal. Kaum miskin hanya pasrah menerima nasib mereka, karena memang sudah tidak ada daya lagi bagi mereka untuk melawan.
Masyarakat kecil ditipu begitu saja oleh kaum kapitalis, mereka ingin meraup keuntungan sebanyak-bnayaknya. Semua dikemas rapi dan menarik sehingga membuat kaum miskin tergiur, dan pada akhirnya harus melepas uang mereka untuk membeli barang yang sebenarnya tidak diperlukan. Disinilah kapitalisme bekerja da menipu masyarakat. Begitu halusnya cara kerja mereka sampai-sampai tidak tampak.
Bahkan benda-benda biasa, dikemas dan dilebeli simbol-simbol Agama. Dan hal ini sekali lagi membuat masyarakat awam tergitur, dan pada akhirnya terpaksa masyarakat awam ini harus membelinya juga. Kita sebutkan saja disini seperti sajadah, tasbih, mukena, baju koko, songkok dan seterusnya. Para agamawan justru akan merasa kurang alim dan kurang beriman jika tidak memiliki benda-benda ini. Agamawan yang harus mengeluarka uang untuk diberikan pada pemilik modal. Disini pula kapitalisme bekerja.
Banyak juga tempat-tempat yang dilebeli dengan kata-kata tertentu, sehingga tampak agamis. Kita sebut misalnya, di tempat tertentu ada sebuah rumah makan, rumah makan tersebut diberi nama dengan “Rumah makan Assalamu`alaikum”,  begitu juga kita mendapati kata “Roti Madinah”, juga “Toko Assunnah” dan seterusnya. Dengan diembel-embeli kata-kata ini, seakan-akan semua tampak agamis.
Kembali lagi, agamawan dan masyarakat awamlah yang tertarik untuk menghbaiskan produk mereka. Sekali lagi, Agama dijual untuk kepentingan pribadi kaum pemilik modal.
Kaum miskin harus sadar dengan fenomena ini. Mereka harus sadar, dan selanjutnya melakukan perlawanan terhadap kapitalisme global ini. Karena tidak dipungkiri bahwa, kaitalisme global membuat manusia layaknya bukan manusia.

                                                                                                              ————- *** ————-

Tags: