Komunikasi Politik Blusukan

Oleh :
Untung Dwiharjo
Peneliti pada LAZNAS YDSF, Alumnus Fisip Unair.

Politik Blusukan kembali mengemuka. Penyebabnya adalah aksi blusukan dari Menteri Sosial Baru Tri Rismaharini. Dimulai dengan Peristiwa blusukan ibu Mensos dengan warga pemulung di kolong tol Gedong Panjang, Pluit-Jakarta Utara. Kemudian dilanjutkan dengan blusukan ke jalan Sudirman -Tamrin dimana Tri Rismaharini menemukan gelandangan dan pengemis di kawasan yang selama ini dianggap steril dari apa yang disebut warga marginal atau masyarakat miskin Kota. Maka kehebohan aksi blusukan mantan walikota Surabaya itu pun menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.

Politik blusukan sebenarnya telah lama dilakukan oleh Presiden Jokowi semenjak di Solo dengan blusukan ke pasar- dan masyarakat bawah di Solo. Kemudian di Jakarta yang paling diingat publik adalah masuknya Jokowi yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta ke dalam gorong-Gorong di Jalan. Demikian juga ketika mencalonkan diri dalam Pilpres juga melakukan politik blusukan. Jejak atau rute presiden Jokowi kini nampaknya coba diikuti oleh Mensos Tri Rismaharini dengan politik blusukan melalui berdialog atau menemui warga miskin kota. Bahkan yang terbaru adalah memberikan pekerjaan kepada lima orang pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS). Mereka dipekerjakan di PT Pembangunan Perumahan (PP) Properti Tbk. Anak perusahaan BUMN PT PP (persero).

Nampaknya Tri Rismaharini berusaha untuk menancapkan pengaruhnya di Jakarta dengan politik bLusukannya. Paling tidak masyarakat ibu kota mulai terbiasa dengan pemberitaan tentang mensos yang identik dengan program taman kota di Surabaya itu. Sehingga lambat laun diperoleh citra yang positif di tengah masyarakat urban kota Jakarta.

Dengan blusukan diharapkan bisa menuai citra positif di tengah masyarakat yang mungkin merindukan kepemimpinan baru di DKI ataupun di Indonesia. Walaupun ini juga masih melihat konstalasi politik di tingkat elit partai pemguasa dan mitra koalisi. Bisa jadi juga tujuan dari blusukan mensos baru adalah untuk memperbaiki citra Kamentrian Sosial yang sempat tercoreng oleh prahara korupsi bansos di tengah pandemi Covid-19 yang begitu menyita perhatian publik tersebut.

Sehingga menurut penulis sah-sah saja Risma sebagai Mensos melakukan politik blusukan, apalagi sebagai pendatang baru memang itu harus dilakukan untuk mendongkrak tingkat popularitas di tengah masyarakat DKI Jakarta. Apalagi Jakarta diangggap sebagian besar kalangan sebagai miniatur Indonesia. Sehingga diharapkan bisa mendongkrak tingkat penerimaan publik terhadap diri dan partai dimana Tri Rismaharini bernaung. Untuk tujuan itu menjadi media darling nampaknya politilk blusukan ala Risma telah berhasil. Dimana media cetak dan televisi serta online memberitakan sepak terjang Mensos baru tersebut secara masif. bahkan media sosial pun menjadikan berita blusukan Tri Rismaharini pun menjadi trending topic percakapan para netizen di dunia maya.

Blusukan yang kebanyakan dilakukan selama ini terkesan tidak orisinil, penuh dengan settingan, dan hanya untuk membuat citra positif sang calon pemimpin atau tokoh. Realitas semu dibuat seolah nyata. Penulis jadi teringat apa yang pernah dikemukakan oleh Baudilard melalui Simulation (1983) yang mengenalkan karakter khas masyarakat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Masyarakat yang hidup dalam sengkarut tanda, citra, kode yang tidak lagi merujuk pada representasi. Dimana manusia dijebak dalam mekanisme simulasi dalam ruang realitas yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. ( M. Jacky, 2015). Barangkali fenomena blusukan yang dilakukan di Indonesia selama ini memperlihatkan wajah seperti apa yang digambarkan Baudilard tersebut.

Perlu Bukti Bukan Janji

Politik Blusukan kalau ingin sukses sebenarnya harus diikuti dengan bukti-bukti kongkrit dilapangan. Jadi bukan sekedar menyerap aspirasi dari kalangan bawah yang diikuti dengan lampu sorot kamera para awak media yang selanjutnya hanya menjadi berita hangat dan kemudian tengelam oleh isu lain yang kemudian muncul. Tapi diikuti dengan langkah-langkah kongkrit dari hasil blusukan. Justru yang banyak terjadi selama ini adalah bahwa blusukan dijadikan sarana pencitraan untuk menarik simpati masyarakat guna mendulang suara saat pemilu saja . Selanjutnya setelah menjabat hilanglah citra dari hasil blusukan selama ini. Misalnya citra dari hasil blusukan merakyat , jujur , apa adanya tapi yang terjadi setelah menjabat justru sebaliknya. Oleh karena itu citra pada saat blusukan akan diuji pada saat dilapangan apakah konsisten sebelum blusukan dan sesudah blusukan ketika sesorang itu sudah menjabat. Jadi apakah saat ini politik model blusukan nasih relevan? Jawabanya bisa Ya bisa tidak tergantung konsistensi perilaku dari sang aktor yang melakukan blusukan.

Contoh model blusukan yang ideal adalah blusukan ala Khalifah Umar bin Kharab. Dimana seorang seorang pemimpin yang berjalan malam-malam di kota untuk mengetahui keadaan masyarakat yang dipimpinya. Suatu ketika dalam perjalanan itu mendengar tangisan anak dari bilik rumah seorang perempuan. Dihampirinya rumah tersebut oleh sang khalifah lalu ditanyakan mengapa menangis anaknya tersebut. Setelah ditanya oleh sang khalifah ternyata sang ibu tadi hanya memasak batu karena tidak ada makanan yang tersedia. Maka terkejutlah sang khalifah melihatnya dan langsung bergegas ke gudang negara untuk mengambil bahan pokok untuk di serahkan kepada ibu pemilik rumah tadi.Dibawa dan diserahkan sendiri bahan pokok makanan itu padahal ada pengawal pribadi khalifah yang siap untuk membawanya. Sungguh cerita blusukan pemimpin yang orisinil tanpa rekayasa. Semuanya dilakukan sang khalifah Umar karena beliau tahu untuk apa ia hidup dan mau kemana setelah akhir kehidupan di dunia ini.

———— *** ————

Rate this article!
Tags: