Komunikasi Politik Dalam Pesta Demokrasi

1368867592987086964Oleh
Anjrah Lelono Broto
Litbang Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI)

Peredaran tabloid “Obor Rakyat” dan atau surat penonaktifan Prabowo oleh DKP yang sesungguhnya merupakan rahasia negara yang tidak bisa diakses sembarang orang menjadi petanda nyata bahwa sinyalemen adanya black campaign dalam Pilpres 2014 bukanlah isapan jempol belaka. Fenomena seperti ini bisa jadi adalah bukan pemandangan yang lazim dalam gelaran pesta demokrasi di tanah air. Sulit rasanya untuk dipercaya, bahwa Indonesia sebagai bangsa berbudaya adiluhung ternyata gelaran pesta demokrasinya dicederai dengan meruahnya aksi black campaign yang sarat dengan lakuan mendiskreditkan lawan politik tanpa kesantunan.
Pesta pemilihan presiden sejatinya adalah petanda konkret demokratisasi dan apabila kemenangan salah satu kandidat dilihat dari perspektif kuantitatif numerik, maka rakyat sebagai pemilih memiliki secuil andil bagi seseorang untuk menjadi pemimpinnya ke depan. Dalam partisipasinya, partai politik beserta organisasi massa yang  mendukung terhadap kandidat pilpres menebar berbagai strategi dalam perjuangannya meraih suara pemilih. Komunikasi menjadi pilihan primadona dalam perjuangan tersebut. Mulai dari kampanye di media massa dan jejaring sosial, intimidasi, hingga money politic.
Dalam gelaran pesta-pesta demokrasi sebelumnya di tanah air, komunikasi politik acap kali dimaknai sebagai upaya mendulang suara melalui pembangunan citra personal para kandidat. Para kandidat pilpres diproyeksikan sebagai figur yang serba baik dan mampu menciptakan ruang komunikasi yang berimbang dengan masyarakat sebagai pemilik suara.
Sayangnya, pemaknaan komunikasi seperti ini pada praktiknya sarat dengan aroma pencitraan semu semata. Seolah terjadi komunikasi dialogis, seakan ada empati yang mendalam antara calon pemimpin dan rakyatnya. Padahal, sejatinya, rakyat tetap diposisikan sebagai komunikan yang dungu tanpa jual-beli gagasan yang sejajar dan jujur. Hal ini menjelma menjadi pemandangan lazim jelang pesta demokrasi selama ini di tanah air.
Calon-calon pemimpin Indonesia sebelumnya menggambarkan secara konkret betapa pesan dalam komunikasi politik yang mereka bangun sarat dengan distorsi dan manipulasi. Ketidakjujuran bukan menjadi beban berat bagi calon pemimpin, tetapi sudah menjadi aksesori wajib dalam komunikasi politik yang mereka bangun jelang pesta demokrasi. Menjanjikan pendidikan gratis, kesehatan gratis, pengentasan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, perbaikan ekonomi, peningkatan upah buruh, dan kenaikan gaji pegawai, begitu lancar mengalir, namun untuk diwujudkan kala mereka betul-betul terpilih adalah persoalan yang lain lagi.
Realita ini pula yang menurut penulis menjadi catatan penting bagi para tim sukses dalam perjuangan mereka mendukung kandidatnya. Realita bahwa pencitraan semu yang telah dipahami oleh masyarakat menjadi catatan bahwa strategi pembangunan pencitraan tidaklah efektif lagi dalam mendulang suara dalam Pilpres 2014. Sialnya, masing-masing tim sukses justru beralih ke strategi black campaign di mana ada aksi pendiskreditan lawan politik secara membabi buta tanpa dukungan fakta-fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
Black campaign lazim dilakukan di negara-negara totaliter dan kelompok-kelompok politik radikal, seperti komunis maupun fasis. Rezim Hitler yang memimpin Partai Nazi di Jerman melalui Kementerian Propaganda yang dipimpin oleh Joseph Goebbels secara masif melancarkan black campaign anti semit untuk memanipulasi kesadaran rakyat Jerman guna mendukung Nazi dalam program pemusnahan bangsa Yahudi di Eropa.
Black campaign masih dianggap efektif oleh beberapa pihak, karena mampu mempengaruhi electoral value lawan politiknya. Namun, black campaign sejatinya merupakan bentuk rendahnya kepercayaan diri pelakunya, karena mereka tidak cukup pe-de akan keunggulan diri sendiri, sehingga alih-alih menunjukkan kelebihan dirinya untuk merebut simpati calon pemilihnya, yang mereka cari justru menyebarluaskan kelemahan lawan politiknya. Padahal, DR. W Riawan Tjandra, SH, MHum menyatakan bahwa praktek black campaign sebenarnya justru dapat menjadi senjata makan tuan. Masyarakat yang kini semakin cerdas dalam memilih sudah dapat menilai bahwa subyek dan obyek yang dijadikan bahan black campaign adalah by design atau sengaja dibuat, sehingga menimbulkan simpati kepada korban (Koran Sindo, 06/06/2014).
Komunikasi politik dalam pesta demokrasi memang bukan sebatas how to create atau how to say the messages. Masalah komunikasi juga bukan sekedar membangun empati kepada nasib rakyat. Masalah yang lebih serius adalah bagaimana mewujud-nyatakan pesan-pesan positif tersebut ketika memenangkan kursi pemimpin kelak. Mendiskreditkan lawan politik bukanlah jaminan bahwa kita lebih baik dari lainnya, justru dapat menjadi bumerang mengingat karakter masyarakat kita justru tidak simpati pada pribadi yang suka mengumbar aib pribadi yang lain.
Lepas dari itu semua, inikah gaya komunikasi politik generasi baru Indonesia?

————— *** —————

Tags: