Komunitas TIS Gelar Monolog Perobekan Bendera di Hotel Majapahit

Putut Adi Suryanto saat memberikan paparan monolog ke VI Pertempuran Bendera 19 September 1945 bersama Riri Suhardi dan Ananto Sidohutomo dr MARS, serta Aninda Cintia Budiyanti, Selasa (18/9).[trie diana/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Komunitas Tunjungan Ikon Surabaya (TIS) bersama-sama Kawan-kawan Arek Surabaya Lintas Komunitas kembali akan mementaskan monolog ke VI Pertempuran Perobekan Bendera Belanda 19 September 1945 di Situs Menara Bendera Sisi Utara Hotel Majapahit, Rabu (19/9) hari ini. Pementasan monolog ini untuk mengingatkan pada Arek-arek Surabaya atas peristiwa heroik di Jl Tunjungan itu.
Menurut Penggagas TIS yang juga budayawan Kota Surabaya Ananto Sidohutomo dr MARS, monolog peringatan 19 September 1945 ini untuk mengenang, menghormati dan meneladani semangat patriotisme Arek-arek Surabaya yang gugur, terluka, bersimbah darah dan keringat dalam pertempuran Perobekan Bendera oleh Arek-arek Surabaya di atas Menara Bendera Hotel yang dulunya bernama Hotel Yamato Surabaya itu.
Selain itu, untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai dan semangat patriotisme, kebangsaan, nasionalisme, budaya dalam mempertahankan NKRI dan meningkatkan semangat anak bangsa, maka digelar monolog oleh para wanita yang memiliki tantangan ekstrem di atas menara bendera yang menjadi panggung utamanya.
”Sebenarnya tahun ini kami (Komunitas TIS) mengucapkan terima kasih kepada Pemkot Surabaya karena telah memenuhi lima tuntutan kami yakni meluruskan sejarah pertempuran bendera 19 September 1945 di Jl Tunjungan, menjadikan Tunjungan Ikon Surabaya dan menutup Ikon Dolly. Selain itu mengembalikan kawasan cagar budaya Tunjungan seperti masa lalu. Membuat museum masa lalu, masa kini dan masa depan. Dan tuntutan terakhir untuk menumbuhkembangkan seni budaya sesuai ciri khas karakter Arek-arek Surabaya,” kata dr Ananto kepada wartawan di Hotel Majapahit sebelum monolog digelar, Selasa (18/9).
Sementara itu, Riri Suhardi selaku pembawa acara menambahkan monolog ini menampilkan para orator tokoh wanita di masyarakat, bisa ibu RT, kader Posyandu atau siapa saja boleh mendaftar menjadi orator. Dan akan berorasi selama 15 hingga 20 menit di Menara Bendera sebagai panggung utama yang terletak di ketinggian 20 meter DPL (Dari Permukaan Laut), memiliki ruang gerak (block) hanya 80 cm kali 2 M, serta angin bertiup kencang. Selain itu ketinggian serta sulitnya mempertahankan posisi berdiri menimbulkan tantangan dan perasaan gamang.
”Sesi I yakni pukul 18.00 orasi dari Emak-emak yang lagi ngetren sekarang atau The Power of Emak-emak.Mereka ini berpotensi tetapi sulit untuk disalurkan, maka di pertunjukan monolog ini emak-emak ini diberikan panggung agar mereka bisa menyalurkan aspirasinya. Sedangkan pada sesi II yakni pukul 19.30 dikibarkan Bendera Merah Putih yang dulunya Bendera Belanda namun telah dirobek kain warna birunya,” jelas Riri, sapaan akrab perempuan yang juga terapis bekam dan make up pengantin ini.
Sedangkan Putut Adi Suryanto, komunitas fotografer yang bertugas pada dokumentasi, memfasilitasi para wartawan foto dan kamerawan TV yang ingin mengambil gambar monolog menjelaskan para wartawan bisa mengabadikan dan mengambil gambar dari Gedung BPN atau dari Pasar Tunjungan. ”Para fotografer dan kameramen TV bisa mengambil foto dan merekam dari seberang Hotel Tunjungan yakni dari Gedung BPN atau dari Pasar Tunjungan, dan kami sudah meminta izin untuk pengambilan gambar,” kata Putut. [fen]

Tags: