Kondisi Miris Perajin Kulit Tanggulangin Terdampak Pandemi

Pembeli yang mencari produk kerajinan kulit di toko yang ada di Desa Kludan, Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. [alikus]

Pemasukan Hancur-hancuran, Tak Mencari Untung, sekadar Bertahan Hidup
Kab Sidoarjo, Bhirawa
Pandemi Covid-19 telah menghancurkan sektor ekonomi. Tak terkecuali perajin kulit di Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Usaha mereka hancur-hancuran karena dampak pandemi. Kini setelah situasi mulai terkendali, secercah harapan itu pun kembali.
Seperti yang diketahui, untuk mencegah penyebaran Covid-19, pemerintah menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Mobilitas warga dibatasi, beberapa jenis usaha yang bukan sektor esensial dan kritikal dilarang beroperasi.
Kebijakan tersebut terbukti efektif menekan laju penyebaran Covid-19. Hal itu dibuktikan dengan turunnya jumlah yang terkonfirmasi positif Covid-19. Bahkan saat ini di Jawa Timur termasuk Sidoarjo, sudah memasuki risiko rendah atau zona kuning.
Namun kebijakan PPKM itu berdampak buruk bagi perajin kulit di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, tepatnya di Desa Kludan. Salah satunya sepeti yang dirasakan Sugeng Hariyadi yang mengaku usahanya hancur lebur akibat pandemi.
Menurut pengakuannya, sebelum pandemi covid-19 hingga diterapkannya PPKM, toko usahanya yang menjual berbagai jenis kerajinan kulit, seperti tas, sepatu, dompet, jaket, dan pernik-pernik kerajinan kulit lainnya, dalam sebulan masih bisa meraih pemasukan sampai Rp40 juta. Namun semenjak ada pandemi, pemasukan tokonya terjun bebas sampai Rp5 juta sebulannya.
“Selama pandemi Covid-19 kami hanya bisa pasrah. Mau protes kepada siapa? Karena memang ini musibah. Pokoknya hancur lebur gara-gara ada Covid-19,” ujar pemilik toko kerajinan kulit SUGA di Jalan Raya Desa Kludan itu.
Selama pemasukan sepi akibat jarang masyarakat datang berbelanja kerajinan kulit, dirinya mencoba cara lain dengan menjual produk secara online. Misalnya lewat facebook maupun market palace. Namun responnya masih kurang.
Calon pembeli hanya bertanya-tanya saja. Padahal harga produk sudah dijual dengan murah. Misalnya, sepatu kulit pria, dijual hanya dengan harga Rp150 ribu. Sepatu kulit wanita hanya Rp100 ribu. Namun masih tetap minim respon. “Saat itu saya tidak mencari untung. Pokoknya hanya berusaha untuk bisa bertahan saja,” ungkapnya.
Berdasarkan pengakuan warga yang tinggal di Perumahan Permata Tanggulangin itu, sejak mencuatnya kasus lumpur Lapindo 2006 lalu, kunjungan pembeli ke Tanggulangin sedikit berkurang. Sebab ada isu, wilayah Tanggulangin juga ikut terendam luapan lumpur Lapindo. “Tetapi lebih parah dampak Covid-19 ini,” katanya.
Dikarenakan, pandemi Covid-19 menyerang berbagai sektor. Termasuk pasar penjualan produk kerajinan kulit di Tanggulangin ini. Sehingga pasar penjualan menjadi sepi. Dampak yang terjadi, banyak toko perajin kulit yang ditutup pemiliknya. Berganti usaha lain. “Saat ini PPKM sudah level 1. Mobilitas tidak diketati lagi. Semoga usaha pengrajin kulit bisa bangkit lagi,” katanya.
Dalam suatu kesempatan ditemui di kawasan toko kerajinan kulit di Desa Kludan, Tanggulangin, Andre, seorang pria muda asal Kota Surabaya menuturkan kalau dirinya itu sangat fanatik dengan kerajinan kulit dari Tanggulangin.
“Saya dari Tandes, Surabaya. Setiap mencari kerajinan kulit ya ke Tanggulangin. Harganya lebih murah tapi kualitas tidak kalah dengan yang dijual di mal-mal,” katanya, yang mengaku sedang mencari dompet kulit untuk anak muda yang lagi ngetrend saat ini. [alikus]

Tags: