Kondusifitas Anti Hoax Pilgub Jatim Bisa Jadi Referensi Pilpres 2019

Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Valentina Sri Wijiyati saat diwawancarai sejumlah wartawan di Jombang, Senin siang (02/07).

Jombang, Bhirawa
Dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilukada Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun 2017 yang lalu, tingkat penyebaran kabar fitnah (hoax) jauh lebih rendah pada pelaksanaan Pilgub Jawa Timur yang baru saja berlangsung pada tanggal 27 Juni 2018 yang lalu.
Kondisi ini dinilai bisa menjadi referensi untuk pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019 nanti.
Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LInK), A’an Anshori mengatakan hal tersebut saat diwawancarai sejumlah wartawan di sela silaturrahmi dan deklarasi masyarakat Jombang anti hoax di Pendopo Kabupaten Jombang, Senin siang (02/07).
“Saya kira bisa, karena ini sifatnya di Jatim lebih lokal, maka tentu lebih sederhana. Tapi menurutku, (Pemilikada) di Jawa Timur bisa menjadi acuan bagi wilayah-wilayah yang lain, bahwa relatif tidak cukup banyak hoax yang diproduksi dalam Pemilukada Gubernur Jawa Timur kemarin,” ujar A’an Anshori.
Hal yang membedakan tingginya intensitas hoax pada Pemilukada DKI Jakarta dengan Pilgub Jatim menurutnya, pada kontestan Pemilukada itu sendiri.
“Saya kira (Pemilukada) Jakarta lebih mengerihkan. Karena memang di sana, mengkontestasi perbedaan tidak hanya soal ethnis, tapi juga soal agama. Nah, Jawa Timur memang tidak cukup banyak ‘hoax’, karena memang secara syarat belum terpenuhi,” papar A’an Anshori.
Lebih detail dijelaskannya, syarat yang belum terpenuhi itu adalah semisal ketika suatu saat Pilgub diikuti orang dari kelompok minoritas, misalkan dari ethnis tionghoa ataupun dari kristen, maka menurutnya hal tersebut bisa dilihat apakah masyarakat Jatim secara umum tidak akan mengcopy apa yang terjadi di Pemilukada DKI Jakarta.
“Sebab Pilkada di Sumatera Utara, itu juga hoax diimport ke sana dan cukup berhasil. Saya kuatir Jatim suatu saat juga dilakukan seperti itu,” lanjut A’an Anshori.
Sementara itu, Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Valentina Sri Wijiyati menjelaskan, Indonesia hari ini bisa dikatakan dalam katagori darurat hoax.
“Daya rusaknya, sudah sampai melenyapkan kehidupan. Ada orang yang sampai harus kehilangan nyawa, karena menjadi korban hoax,” kata Valentina.
Ditanya lebih lanjut posisi negara (pemerintah) pada konteks ini, Valentina mengatakan, kewajiban negara pasti menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kalau kita bicara tentang hoax, kita bisa tentang hak dan kebebasan atas informasi. Negara seharusnya memfasilitasi para fihak untuk membangun dunia digital yang sehat, yang bisa memenuhi hak kita atas informasi yang sehat tadi mas,” pungkasnya.(rif)

Tags: