Konflik Agraria dan Represifnya Hukum Negara

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Unmuh Surabaya, Sedang Menulis Desertasi tentang KonfliK Agraria di Jatim

Setiap tanggal 24 September, kita peringati sebagai Hari Tani Nasional. Namun seiring dengan peringaan hari Tani Nasional ini, kondisi dan nasib para petani justru memprihatinkan. Mereka saat ini sedang terperangkap dalam konflik agraria yang sudah berlangsung puluhan tahun dan belum terselesaaikan. Atas nama pembangunanisme dan kepentingan kaum pemodal, hak-hak (tanah) rakyat terampas dan kondisi kehidupan mereka bagiakan pengungsi di negeri sendiri.
Tak hanya itu, dan yang lebih parah lagi, kaum petani kerapkali menjadi korban konflik agraria, antara kepentingan investor atau kaum pemodal yang berkolusi dengan negara dalam melakukan perampasan hak-hak tanah rakyat di pedesan yang sampai saat ini berjalan secara struktural, masif dan sistematis. Dalam beberapa studi yang dilakukan, konflik agraria selalu melibatkan antara; negara, kaum pemodal dan masyarat. Dan masyarakat selalu pada pihak yang terkalahkan.
Masifnya Konflik Agraria
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2015  mencatat, sepanjang tahun 2015 terjadi 252 konflik agraria dengan luas 400.430 hektar dan konflik ini juga menyeret sedikitnya 108.714 keluarga. Jika di tahun 2014 sektor pembangunan infrastruktur menjadi penyumbang tertinggi konflik agraria, maka tahun 2015 ini bergeser ke sektor perkebunan, yaitu 127 kasus (50 persen). Kemudian disusul oleh pembangunan infrastruktur 70 kasus (28%), lalu di sektor kehutanan 24 kasus (9,60%), sektor pertambangan 14 kasus (5,2%), kemudian lain-lain 9 kasus (4%), serta pertanian dan pesisir 4 kasus.
Konflik agraria di tahun 2015 ini juga memakan korban. Korban tewas sebanyak 5 orang, tertembak 39 orang, dianiaya sebanyak 124 orang, dan ditahan 278 orang. Jika diakumulasi, dalam kurun waktu 11 tahun terakhir terjadi 1.772 konflik agraria pada luasan wilayah 6.942.381 hektar yang melibatkan 1.085.817 keluarga. Artinya, dalam dua hari sekali terjadi konflik agraria di Indonesia. Selanjutnya, jika dilihat sebaran teritorinya, ada 7 provinsi yang menyumbang konflik agraria paling banyak, yakni Riau (36 konflik), Jawa Timur (34 konflik), Sumatra Selatan (23 konflik), Sulawesi Tenggara (16 konflik), Jawa Barat dan Sumatra Utara menyumbang masing-masing 15 konflik. Konfik agraria tersebut laiknya fenomena gunung es.
Pada tingkat mikro, konfllik berwujud pada klaim yang bertumpu atas lokasi yang sama, dari alas yang berbeda, dan dari insttusi yang berbeda. Di satu pihak, masyarakat memiliki klaim berdasarkan aturan dan atau hukum adat setempat yang mereka sepakati bersaama. Di sisi lain lain, pihak pemegang konsesi (baca: pemilik modal/koorporaasi) memiliki klaim hak atas tanah atau hutan yang sama berdasarkan penetapan hak yang diberikan pemerintah beralasankan sejumlah peraturan dan perundangan dari hukum formal negara yang berlaku. Dan dalam prakteknya, hukum negara kerapkali mendominasi dan bahkan mensubordinasi aturan hukum lokal. Dominasi hukum negara juga kerapkali juga diperkuat dengan unsur-unsur kekerasan secara struktural karena sumbernya dari aparatus negara. Hukum negara dijadikan alat represi untuk merampas secara “legal” hak-hak tanah rakyat (Rachman, 2016:53-54).
Konflik Agraria dalam Pemikiran Marxist
Tradisi pemikiran politik Barat seperti yang dikemukakan Hedley Bull, sebagaimana dikutip Makmur Keliat (1997:22)) umumnya memandang bahwa kehadiran negara merupakan hambatan terhadap upaya pencapaian keadilan sosial dan ekonomi. Kerap menyatakan bahwa kehadirna negara di masyarakat sedang berkembang justru telah memungkinkan terwujudnya pemerintahan yang korup, yang mengabaikan kebutuhan-kebutuhan pokok warganya, dan melakukan pelanggaran terhadap hak-hak azazi manusia. Lebih jauh Bull menyatakan, elit politik di masyarakat dunia ketiga umunya memandang bahwa kehadiran negar ayang kuat merupakan suatu keharusan.
Negara dalam pandangan Marx adalah bahwa negara dalam masyarakat borjuis merupakan senjata represif dari kaum borjuis. Hakekat negara adalah sebagai kekuatan represif untuk menjaga pertentangan kelas dalam masyarakat kapitalis (Patria dan Patria, 2015:10). Tentang masyarakat, Marx berpandangan, pengaruh kuasa ekonomi akan sangat kuat terhadap kehidupan manusia. Siapapun yang mengusai ekonomi, maka dia akan menguasai manusia. Dalam masyarakat, ekonomi merupakan struktur bawah yang memberi bentuk dan corak pada semua yang ada pada struktur atas. Oleh karena itu, hukum, ajaran agama, sistem politik, corak budaya, bahkan struktur masyarakat, sebenarnya tidak lain adalah cerminan dari sistem ekonomi yang ada dibaliknya. Hukum pun tak lepas dari ekonomi. Bagi Marx, hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu (baca: kelas borjuasi). Dalam masyarakat, hukum dibuat utuk melayani kepentingan kelas pemilik modal. Is utama dalam hukum bukankah keadialan. Hukum tak lebih dari sarana penguasaan dan piranti pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai dengan kepentingan mereka (Tanya, 2013:88).
Dalam kajian hukum dan masyarakat, Marx melahirkan teori instrumentalis tentang hukum. Di mana hukum dilihat sebagai alat dominasi, alat penindasan, dan penyebab konflik dan penderitaan. Menurut Bernarld L. Tanya(2013:89), dalam masyarakat kapitalis, hukum hanya berwujud mekanisme dari penindasan dan dominasi idiologi, alat bagi kelas “orang berpunya”, dan sebagai kontrol kepentingan politik serta ekonomi. Di tangan penguasa yang selinguh dengan pengusaha (pemilik modal), hukum akan tampil sebagai the iron boxing and the velvet glove (tinju besi berselubung kian beludru). Iron boxing merupakan realitas hukum, sementara kiasan velvet glove adalah selubung penututp kebohongan hukum.
Berdasarkan berbagai studi tentang konflik agraria yang dilakukan para peneliti konflik agraria dan termasuk Afraizal (2006:76), menyimpulkan bahwa sepanjang sejarah konflik pertanahan di Indonesia menyebutkan bahwa sumber utama konflik agraria adalah negara, karena negara telah gagal menjadi mediator dan fasilitator pada saat terjadinya pelepasan tanah. Bahkan negara secara sistematis dan terencana berada di belakang pemilik modal atau kooporasi pada saat pelepasan tanah dengan menggunakan aparat bersenjata juga merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Negara merupakan faktor penting penyebab konflik agraria, sementara solusi konflik itu sangat tergantung pula kepadanya. Negara gagal dalam memberi perlindungan hukum bagi masyarakat lokal dalam kasus konflik agraria ini. Salah satu komponen negara yang berkontribusi pada konflik agraria ini adalah sistem hukum negara yang berkarakter liberal, yang lebih mengakomodasi kepentingan kooporasi atau pemilik modal. Dan pada saat yang sama menyingkirkan kepentingan masyarakat lokal.

                                                                                                 ———– *** ————

Tags: