Konflik Hukum dalam Konflik Agraria

(Refleksi Hari Tani Nasional, 24 September 2018)

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum FH Unmuh Surabaya Sedang Menulis Disertasi tentang Konflik Agraria  di Jawa Timur 

Setiap tanggal 24 September, kita peringati sebagai Hari Tani Nasional. Namun seiring dengan peringaan hari Tani Nasional ini, kondisi dan nasib para petani justru masih memprihatinkan. Mereka saat ini sedang terperangkap dalam konflik agraria yang berkepanjangan dan belum terselesaaikan. Atas nama pembangunanisme dan kepentingan kaum pemodal, hak-hak (tanah) rakyat terampas dan kondisi kehidupan mereka bagiakan pengungsi di negeri sendiri.
Para petani adalah kelompok sosial yang paling utama terkena dampak dari konflik agraria. Mereka menjadi korban perselingkuhan politik dan hukum antara negara (baca: pemerintah) dengan korporasi. Dalam konflik agraria, negara yang seharusnya berdiri dibelakang masyarakat atau petani, tapi justru lebih berpihak pada kepentigan korporasi. Hal ini ditunjukkan dengan keluarnya konsesi-konsesi, baik berupa HGB maupun HGU yang diberikan kepada korporasi dengan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal. Karena itu, masyarakat atau petani tidak saja menjadi korban pembangunan yang kapitalistik-liberalsitik tapi juga sekaligus korban konflik hukum dalam konflik agraria ini.
Dalam evaluasi akhir tahun, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang tahun 2017 terjadi kenaikan konflik seebsar 50 persen dibandingkan tahun 2016, dari 450 kasus menjadi 659 kasus konflik agraria dengan cakupan 520.491 hektare. Konflik agraria ini diprediksi akan semakin meningkat seriing dengan meningkatnya kebutuhan tanah untuk pembangunan, salah satunya pembangunan infrastruktur dan industrialisasi yang begitu masif..
Dualisme Hukum
Salah satu dalam dalam konflik agraria di Indonesia adalah dimensi hukum. Ada dua hukum dengan sumber dan karakter yang berbeda yang melingkupi konflik pertanahan dan masing-masing memiliki eksistensi, yakni hukum negara dan hukum masyarakat atau yang sering kita kenal dengan dualisme hukum. Pada umumnya, konflik agraria bersumber dari saling klaim atas penguasaan tanah. Masing-masing pihak, negara dan masyarakat, memiliki dasar dan basis keabsahan yang berbeda. Negara dalam hak ini, pemerintah mengklaim bahwa tanah yang disengketakan adakah dalam penguasaan dan hak miliknya berdasarkan pada legalitas hukum yang dimilikinya (de jure). Sementara, masyarakat lokal mendasarkan penguasaan hak atas tanahnya pada hukum adat setempat yang sudah ada, berlaku dan sudah disepakati bersama (de facto)selama bertahun-tahun.
Hasil kajianNoer Fauzi Rachman (2016:53), menyebutkan bahwa sumber konflikpada dasarnya bersumber dari bertumbukannya klaim hak atas tanah dan/atau kekayaan alam lain yang berasal dari alas yang berbeda, yang diyakini oleh masing-masing pihak, yakni antara pihak negara dan masyarakat lokal. Masing-masing pihak (negara dan masyarakat) memiliki klaim keabsahan hukum untuk menguasai dan mempertahankan fungsi kawasan berikut sumber dayanya. Perbedaan tersebut tentu saja mengandung dimensi kepentingan yang berbeda satu sama lain. Dalam pandangan Mustain (2007), hukum negara, baik sifat dan latar pembentukannya, umumnya tidak mencerminkan hukum rakyat yang hidup dan dianut oleh masyarakat lokal. Hukum rakyat ini yang dalam pandangan sosiolog Austria, Eugen Ehrlich (1862-1922)disebut the living law, yakni hukum yang lahir dari “rahim” masyarakat, berkembang dan hidup untuk masyarakat. Hukum yang baik dalam suatu negara atau masyarakat adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang dan hidup dalam masyarakat
Penyelesaian Sosiologis
Ikhtiar pemerintah pusat dan daerah untuk menyesaikan konflik agraria kerapkali muncul dari atas (top down), yakni menggunakan instrumen hukum negara dan pada saat yang sama kerapkali mendapat resistensi dari masyarakat lokal. Pendekatan dan penggunaan hukum negara yang legalistik-positivistik terhadap konflik agraria, pada kenyataannya tidak mampu memberikan hasil yang saling memuaskan bagi kedua belah pihak, baik pemerintah daerah maupun masyarakat lokal. Bahkan studi yang dilakukan Bernard L. Tanya (2011) tentang Beban Budaya Lokal dalam Menghadapi Regulasi Negara di masyarakat Sabu NTT, menemukan, kehadiran dan penggunaan hukum positif negara, utamanya dalam lingkungan masyarakat lokal, tak jarang menjadi beban bagi penerimanya. Hukum dan budaya lokal, tidak selalu compatible. Hukum sebagai sistem formal-modern yang dirancang-bangun secara sentralistik, hadir dalam kehidupan sosial dan budaya lokal yang informal-khas lokal. Keduanya, tidak hanya merupakan produk konstruksi sosial dari dunia yang berbeda, tatapi juga memiliki logika dan “keprihatinan dasar” berbeda. Bahkan hukum negara kerapkali dijadikan sebagai intsrumen kekerasan terhadap masyarakat lokal.
Penyelesaian dengan format hukum negara yang legalistik-positivistik dinilai gagal dalam menyelesaikan konflik agraria. Secara sosiologis, realitas masyarakat Indonesia adalah realitas masyarakat yang beragam dalam berbagai hal, termasuk hukumnya. Mereka punya kelaziman-kelaziman dan tradisi turun-temurun, mempunyai norma sosial, aturan main dan tata cara yang bersifat lokal, yang digunakan untuk mengatur hubungan masyarakat dengan sumber-sumber agraria, pengaturan hubungan sosial antar warga masyarakat dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah, termasuk pembagian tanah dan konflik, bahkan punya lembaga-lembaga yang bertugas menyelesaikan berbagai persoalan atau lebih dikenal dengan hukum masyarakat.
Karena itu, tidak keliru jika Indonesianis dari Amerika Serikat, Daniel S. Lev di dalam bukunya Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia (1972), mengatakan ketika terjadi sengketa dan konflik sosial di tengah masyarakat, bangsa Indonesia lebih mendahulukan harmoni dan menjaga hubungan baik dengan orang lain daripada “segera berurusan dan menggunakan dengan hukum”. Sehingga penyelesaian konflik agraria tidak cukup menggunakan apalagi memaksakan instrumen hukum negara yang nir-keadilan, tapi juga perlu memperhatikan hukum masyarakat yang memiliki kearifan dan lebih berorientasi pada aspek keadilan masyarakat.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: