Konflik Kerjasama Tak Tuntas, Purabaya Bakal Mulus Diambil Pusat

Terminal Purabaya termasuk terminal tipe A yang akan diambil alih kewenangan pengelolaannya oleh pusat. Belum selesainya konflik kerjasama pengelolaan Terminal Purabaya antara Pemkot Surabaya dengan Pemkab Sidoarjo dinilai bakal memperlancar upaya penarikan kewenangan pengelolaan ini.

Terminal Purabaya termasuk terminal tipe A yang akan diambil alih kewenangan pengelolaannya oleh pusat. Belum selesainya konflik kerjasama pengelolaan Terminal Purabaya antara Pemkot Surabaya dengan Pemkab Sidoarjo dinilai bakal memperlancar upaya penarikan kewenangan pengelolaan ini.

DPRD Surabaya,Bhirawa
Belum selesainya konflik kerjasama pengelolaan Terminal Purabaya antara Pemkot Surabaya dengan Pemkab Sidoarjo dinilai bakal memperlancar upaya penarikan kewenangan pengelolaan terminal tipe A itu oleh pemerintah pusat. Artinya, selama ini Pemkot Surabaya dinilai gagal bahkan tidak mampu menyelesaikan konflik kerjasama dengan Pemkab Sidoarjo.
“Sebenarnya kita (Pemkot Surabaya, red) masih punya kesempatan untuk tetap mengelola sendiri Terminal Purabaya meski ada undang-undang yang meminta penyerahan pengelolaan pada pemerintah pusat. Namun karena saat ini konflik kerjasama Terminal Purabaya dengan Pemkab Sidoarjo belum terselesaikan, peluang itu menjadi berkurang,” ungkap Wakil ketua Komisi A DPRD Surabaya Adi Sutarwijono, Kamis (21/1).
Seperti diberitakan Bhirawa sebelumnya, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan tengah mengupayakan penarikan wewenang pengelolaan terminal tipe A yang sebelumnya berada di tangan pemerintah kabupaten/kota. Upaya Kemenhub ini sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Meski demikian, Jatim melalui Kepala Dinas Perhubungan dan Lalu Lintas Angkutan Jalan (Dishub dan LLAJ) Provinsi Jatim Dr Ir Wahid Wahyudi MT mengusulkan agar pengelolaan jembatan timbang (JT) dan terminal tipe A tetap diberikan daerah.
Jika pengelolaan jembatan timbang dan terminal tipe A tetap diberikan daerah, lanjut Wahid akan lebih efisien. Sebab orang-orang dari Jakarta tidak perlu terjun ke lapangan langsung mengoperasikannya, tapi cukup orang-orang daerah saja. Di Jatim ada 14 terminal tipe A yang akan diambil alih pusat, termasuk Terminal Purabaya.
Adi Sutarwijono yang biasa disapa Awi, menyebut legislatif sudah berulang kali meminta Pemkot Surabaya untuk tangkas menyelesaikan konflik kerjasama Purabaya dengan Pemkab Sidoarjo. Desakan ini, lanjut Adi, karena legislatif sudah melihat kemungkinan pengambilalihan terminal tipe A itu oleh pemerintah pusat sebagaimana termaktub dalam undang-undang.
“Kita sudah melihat kemungkinan penarikan kewenangan (terminal tipe A) ini ke pemerintah pusat. Dan kita juga sudah melihat celah untuk mempertahankan pengelolaannya, tapi memang masalah kerjasama dengan Sidoarjo harus selesai dulu,” tegas Awi.
Lebih lanjut Awi menyatakan pengelolaan terminal tipe A oleh pemerintah daerah lebih masuk akal bila dibandingkan dikelola pemerintah pusat. Pengelolaan terminal, lanjutnya , sangat terkait dengan trayek angkutan, jalur lalu lintas , kondisi sosial dan ekonomi wilayah yang kesemuanya di bawah wewenang pemerintah daerah.
“Saya rasa jika dikelola pemerintah pusat akan sangat kesulitan. Daerah yang lebih tahu kondisinya,” terangnya.
Awi menyebut, respon dan upaya Pemkot Surabaya menyelesaikan masalah kerjasama Purabaya dengan Sidoarjo sangat kurang. Sampai dengan sebelum 2014, Pemkot masih menunggu review kerjasama antar daerah yang dikeluarkan BPKP. Dan baru keluar pada Februari 2015.
Namun, lanjut alumnus Fisip Unair ini, setelah turunnya review BPKP Pemkot tidak kunjung menindaklanjuti secara signifikan kerjasama dengan Sidoarjo. Padahal, ungkapnya, Komisi A sudah beberapa kali mendorong agar kedua pihak melakukan perundingan tingkat kepala SKPD terlebih dahulu untuk mematangkan kerjasama sebelum perundingan tingkat kepala daerah.
Saat ditanya, tentang posisi perundingan Surabaya dan Sidoarjo sendiri, Awi menegaskan sampai saat ini belum ada perundingan resmi.”Yang ada ya bisik-bisik alias lobi entah pada tingkat apa,” ujarnya.
Isu krusial konflik kerjasama Terminal Purabaya sendiri, lanjut Awi terkait masalah sistem bagi hasil dengan nilai netto atau bruto dan masalah proporsi bagi hasil, apakah 90:10 seperti permintaan Surabaya atau 80:20 sebagaimana keinginan Sidoarjo.
“Padahal hal itu kan bisa diambil jalan tengah seperti misalnya pakai proporsi 85:15 dengan posisi hasil bruto sebagaimana review BPKP,” ujarnya. [gat]

Tags: