Konflik Pengelolaan SMA/SMK Harus Segera Berakhir

Foto: ilustrasi

Pasca Ditolaknya Gugatan Pemkot Surabaya oleh MK
Surabaya, Bhirawa
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan pengelolaan SMA/SMK baik dari Surabaya maupun Kota Blitar seharusnya tidak dimaknai sebagai kemenangan dan kekalahan. Lebih penting dari itu, keputusan ini harus menjadi akhir dari berbagai konflik yang sempat menegang antara pemerintah daerah dan provinsi.
Seperti halnya pembongkaran SMKN 1 Sukapura oleh Pemkab Probolinggo lantaran aset tanah sekolah tersebut masih menjadi milik pemerintah setempat. Atau sengketa lahan yang mengakibatkan SMAN 1 Waru Pamekasan disegel pemilik lahan.  Keduanya merupakan persoalan yang hingga kini masih pelik untuk diselesaikan. Selain itu, penyesuaian anggaran yang juga perlu dilakukan disesuaikan baik di level provinsi maupun pemerintah daerah.
Sekretaris Dewan Pendidikan (DP) Jatim Nuryanto menuturkan masalah-masalah kelembagaan dalam pelimpahan wewenang mengelola SMA/SMK ini masih cukup tinggi. Tak terkecuali di dalamnya menyangkut permasalahan aset-aset sekolah yang harus segera dicarikan solusi. “Khususnya sekolah-sekolah negeri yang harus segera diselesaikan persoalan aset-asetnya,” tutur Nuryanto, Kamis (27/7).
Menurut dia, pelimpahan SMA/SMK dari kabupaten/kota ke provinsi haruslah disikapi dengan legowo. Sama halnya ketika pelimpahan wewenang dari provinsi ke kabupaten/kota yang juga dilaksanakan tanpa adanya gugatan. Bahkan dalam kelanjutannya, provinsi tetap mengalokasikan anggaran untuk mendukung pengelolaan pendidikan di kabupaten/kota.
“Keberadaan SMA/SMK yang utama tetaplah untuk kepentingan warga di daerah setempat. Karena itu, tidak ada salahnya juga jika pemerintah daerah ikut mengalokasikan anggaran untuk membantu warganya,” tutur Nuryanto.
Terkait anggaran, Nuryanto berharap Pemprov Jatim segera melakukan koordinasi dengan pusat terkait komitmennya terhadap pelimpahan wewenang ini. Hal ini terkait distribusi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang digunakan untuk SMA/SMK. “Hingga tahun ini, anggaran tersebut masih diberikan pemerintah pusat ke kabupaten/kota. Seharusnya pemerintah pusat juga harus konsisten dengan undang-undang ini,” ungkap mantan pejabat eselon III Dindik Jatim ini.
Seperti diberitakan sebelumnya harapan warga Kota Surabaya agar pemkot dapat kembali mengelola SMA/SMK pupus sudah. Ini seiring dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui surat putusan nomor 31/PUU-XIV/2016 yang isinya menolak seluruh permohonan para pemohon.
Kuasa hukum pemohon dari Surabaya Edward Dewaruci menuturkan keputusan MK merupakan keputusan yang harus diterima dan ditaati. Kendati pihaknya sebagai kuasa hukum penggugat tidak hadir dalam pembacaan putusan, keputusan hakim harus dianggap sebagai undang-undang yang harus dipatuhi.
Sementara itu, anggota Komisi D DPRD Surabaya Reni Astuti menjelaskan, putusan MK keluar pada momen yang tepat. Yakni pada saat Pemkot Surabaya tengah bersiap membahas PAPBD 2017 dan RAPBD 2018. “Perlu perencanaan anggaran yang memiliki semangat perlindungan warga Kota Surabaya dalam mendapatkan layanan pendidikan menengah,” tutur Reni.
Selama ini telah direncanakan dengan mengoptimalkan kejar Paket C bagi siswa putus sekolah. Hanya saja tidak semua warga tidak mampu akan memilih kejar paket sebagai pendidikan non formal. Perlu tetap memberi ruang anggaran untuk sekolah formal. “Memang sifatnya antisipasi, agar jika ada warga yang membutuhkan bantuan bisa diintervensi,” tandasnya.
Reni menyebutkan, saat ini Pemkot Surabaya telah mendata sekitar 11.500 siswa dari keluarga tidak mampu. Jika Pemkot Surabaya mau membantu pembiayaannya, dibutuhkan anggaran hanya sekitar Rp 42 miliar per tahun. Jauh dari angka Rp 180 miliar yang tahun ini sebenarnya sudah dialokasikan untuk SMA/SMK di Surabaya.
“Itu dihitung dengan angka Rp 300 ribu per bulan. Jadi sudah bisa digunakan untuk membiayai SPP plus biaya personal siswa,” tutur politisi asal PKS tersebut.
Reni yakin, tidak ada peraturan perundang-undangan yang menghalangi pemerintah untuk membantu warganya. Bahkan dalam aturan terkait percepatan penanggulangan kemiskinan, pemerintah daerah dalam upayanya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan mengurangi beban keluarga.
“Tetapi provinsi juga harus komitmen dengan mengalokasikan anggaran 20 persen untuk pendidikan. Selain itu, provinsi juga harus terbuka terkait bantuan yang diberikannya kepada siswa miskin. Selama ini kan kenyataannya siswa miskin masih menjadi tanggung jawab sekolah dan komite,” tutur dia. [tam]

Tags: