Konsekuensi Impor Garam

Foto Ilustrasi

Presiden Jokowi mengizinkan impor garam (industri), namun wajib disertai penyerapan garam lokal. Impor dibatasi untuk kebutuhan industri, selama garam lokal belum dapat memenuhi standar salinitas (ke-asin-an). Kementerian Perindustrian juga diminta berupaya meningkatkan kadar garam lokal, sampai bisa diserap kalangan industri. Terutama industri makanan dan minuman, serta pabrik kaca. Konsekuensi impor garam dimulai tahun ini.
Jaminan melindungi garam lokal, antaralain dibuktikan dengan (komitmen) Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI). Yakni penandatanganan Nota Ke-sepaham-an, penyerapan garam rakyat. Realisasi penyerapan garam rakyat akan dilakukan pada bulan Juni hingga Juli, bertepatan dengan panen raya garam. Diharapkan sebanyak 1,4 juta ton garam lokal. Namun manakala terkendala cuaca (musim hujan lebih panjang), maka penyerapan garam bisa diulur sampai Agustus.
Petambak garam di sepanjang pantura (pantai utara) Jawa, mulai Cirebon sampai Kalianget (di Sumenep, Madura), menyambut komitmen AIPGI. Ini bagai nuansa baru perlindungan garam lokal. Terutama peningkatan salinitas, yang harus dilakukan kalangan industri. Toh, hanya perlu teknologi penguapan yang lebih memadai. Beberapa perguruan tinggi negeri di Surabaya, telah membuat produk suplemen pangan ber-mineral tinggi. Bahannya, diambil dari penyiraman garam lokal.
Periode sebelumnya,petambak garam rakyat, seolah-olah harus berjuang berebut pangsa pasar dengan garam impor. Bahkan pada saat paceklik, garam rakyat juga tidak mengalami kenaikan. Setelah paceklik selama tiga tahun berturut-turut (sampai Juli 2017), nilai garam mulai menunjukkan “martabat-nya.”Harga garam melonjak sampai 300% di pasar tradisional. Seluruh grosir garam kehabisan stok, tak terkecuali di sentra garam, di Kalianget, Madura.
Setelah paceklik selama tiga tahun berturut-turut (sampai Juli 2017), nilai garam mulai menunjukkan “martabat-nya.”Harga garam melonjak sampai 300% di pasar tradisional. Seluruh grosir garam mengaku kehabisan stok, tak terkecuali di sentra garam, di Kalianget, Sumenep (Madura).Harga garam di pasar tradisional mencapai Rp 2.500,- kemasan 250 gram. Bersaingan dengan harga gula.
Penyebab garam berkepanjangan, bukan hanya terhadap musim hujan yang lebih panjang. Tetapi juga “perhitungan stok” oleh stake holder per-garam-an belum pernah dilakukan. Maka perlu forum pertemuan antara asosiasi petambak garam, pedagang, dan pemerintah. Sehingga diperoleh (secara transparan) data stok lokal yang tersedia, dan pertambahan kebutuhan. Juga prakiraan kebutuhan khusus garam industri.
Forum stake holder garam (petambak dengan AIPGI)patut di-fasilitasi pemerintah melalui Kementerian terkait. Seperti diamanatkan UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Budidaya Ikan dan Petani Garam.Regulasilex specialist yang kokoh, merupakan mandatory yang wajib dilakukan. Termasuk added value melalui teknologi ekstraksi.
Garam lokal, memiliki kandungan NaCl (Natrium Chlorida) sekitar 94%. Sedangkan yang dibutuhan industri sekitar 97%. Diperlukan peningkatan salinitas, tetapi tidak mudah. Konon sudah menjadi ciri khas garam lokal. Diantaranya disebabkan banyak air sungai yang bermuara ke laut. Namun sesungguhnya garam lokal memiliki kandungan mineral lebih tinggi dibanding garam impor. Terutama garam Kalianget, Sumenep Madura.
Dengan hamparan pantai sangat luas, garam lokal memiliki potensi menjadi “jagoan” sedunia. Namun diperlukan manajemen on-farm (di lahan tambak), serta manajemen off-farm (tataniaga dan industri). Kandungan mineral yang tinggi, garam rakyat dapat “naik kelas” menjadi garam meja. Tersaji di restoran dan konsumsi hotel berbintang. Konon melalui bisik-bisik, pengusaha restoran dan perhotelan Jepang telah meminta impor garam dari Kalinaget.
Garam lokal seharusnya me-menang-kan perebutan pangsa pasar.Melalui Nota Kesepahaman yang difasilitasi Kementerian Perindustrian, dapat dijadikan peta jalan kemakmuran petambak garam rakyat.

——— 000 ———

Rate this article!
Konsekuensi Impor Garam,5 / 5 ( 1votes )
Tags: