Konsekuensi Prokes Mengulang PSBB

Membangun Faskes Isolasi dan Gelontor Bansos

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

Kurva wabah pandemi virus corona masih menunjukkan tren naik. Terutama pada zona merah. Beberapa daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) memilih mengulang melaksanakan PSBB (Pembatasan Berskala Besar). Terutama dengan pengetatan penegakan hukum protokol kesehatan (Prokes). Tetapi sesungguhnya, konsekuensi PSBB bukan hanya Prokes dan melaksanakan tes swab, dan rapid test. Melainkan juga menggelontor bantuan sosial (Bansos), serta pemulihan ekonomi.
Beberapa pemerintah daerah (Pemda propinsi serta kabupaten dan kota) telah memperoleh izin melanjutkan PSBB dan Prokes berdasar Inpres Nomor 6 tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian CoViD-19. Instruksi diberikan, antara lain kepada Panglima TNI, Kapolri, serta seluruh Kepala Daerah. Inpres menjadi sandaran hukum penegakan Prokes di daerah, dengan denda dan sanksi hukum. Pelaksanaannya melibatkan TNI dan Polri di daerah (sampai tingkat kecamatan, Koramil, dan polsek).
PSBB diatur dalam Permenkes Nomor 9 tahun 2020. Gubernur mengajukan PSBB dalam lingkup propinsi. Serta Pemerintah Kabupaten dan Kota dalam lingkup daerahnya. Persyaratan paling penting tercantum dalam pasal 4 ayat (5). Yakni, informasi kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, dan sarana kesehatan. Juga wajib menyertakan program jaring pengaman sosial, serta aspek keamanan dan ketertiban.
Pada masa pengetatan social distancing pertama (mulai awal April 2020) banyak daerah mengajukan status PSBB. Tetapi belum memperoleh respons pemerintah pusat. Karena pengajuan status PSBB belum sesuai kriteria dalam Permenkes tentang Pedoman PSBB. Kriteria utama pengajuan status PSBB, tercantum dalam pasal 2 Permenkes. Yakni, jumlah kasus (dan kematian) meningkat secara signifikan dan cepat (menyebar). Disertai kurva epidemiologi menanjak.
Peta-jalan rencana aksi penanganan CoViD-19 (di pusat dan daerah), wajib menjadi pola yang terstruktur dan masif. Pertama, penyediaan fasilitas kesehatan, berupa uji swab, dan rapid test lebih masif. Kedua, pembangunan rumah sakit “dadakan” sebagai tempat isolasi. Serta ketiga, penyediaan vaksin, dan rencana vaksinasi. Tidak mudah, karena seluruhnya memerlukan pembiayaan. Diperlukan sinergitas pemerintah pusat dan daerah melalui re-alokasi dan refocusing APBN, dan APBD.

Menambah Faskes “Dadakan”
Mulai pertengahan September (2020) ini pemerintah mengambil-alih penanganan isolasi mandiri menjadi isolasi di rumah sakit “dadakan.” Orang Tanpa Gejala (OTG) yang terdeteksi positif CoViD-19 (dengan uji swab) wajib langsung masuk rumah sakit. Bahkan pemerintah telah memborong hotel di berbagai daerah sebagai rumah sakit “dadakan.” OTG tidak boleh di-isolasi di rumah, karena dikhawatirkan bisa menular ke anggota rumah tangga lain (suami, istri, anak, dan kerabat se-rumah).
Anggaran menjadi takaran kinerja status PSBB. Bukan hanya menunggu APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Melainkan juga penggunaan APBD propinsi serta APBD Kabupaten dan Kota. Selama ini serapan anggaran hasil realokasi dan refocusing sektor kesehatan masih sangat rendah. Misalnya, hampir tiada pemerintah daerah kabupaten dan kota yang bersedia membeli mobil ambulance dengan kelengkapan lab PCR (Polymerase Chain Reaction).
Realitanya, seluruh daerah zona merah, masih berebut ambulance dari pemerintah pusat. Uji swab juga masih menjadi beban masyarakat, karena menjadi persyaratan wajib perjalanan antar-propinsi. Harganya sangat mahal, bertarif paling murah Rp 1,2 juta, berlaku untuk sebulan. Perjalanan bisnis (usaha) menjadi sangat mahal. Seiring program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), pemerintah perlu menyediakan sarana uji swab yang lebih murah, dan lebih cepat.
Uji swab PCR, diberlakukan berdasar Surat Edaran (SE) Gugus Tugas Penanganan CoViD-19 (Nomor 7 tahun 2020). SE sebagai “kompromi” kepentingan ketahanan kesehatan terhadap kepentingan roda perekonomian. Judul SE nyata-nyata bertema “kriteria dan persyaratan perjalanan orang dalam masa adaptasi kebiasaan baru menuju masyarakat produktif dan aman covid-19.” Secara tekstual tertulis sebagai adaptasi menuju masyarakat produktif dan aman CoViD-19.
“Kompromi” ketahanan kesehatan dengan pemulihan ekonomi, bagai tamsil memainkan “rem dan gas” bergantian secara cerdas. Dalam mengendara mobil, mustahil selalu menginjak rem, sama mustahil dengan selalu menginjak gas. Tamsil “rem” berupa peningkatan anggaran sektor ketahanan kesehatan. Bahkan pemerintah memasukkan tambahan anggaran sektor kesehatan dalam program PEN. Alokasinya dipagu sebesar Rp 87,55 trilyun, sekitar 12,6% dari total anggaran PEN.

Percepatan Bansos dan Vaksin
Jaring pengaman sosial yang digulirkan berupa Bansos senilai Rp 203,9 trilyun, menjadi program utama PEN. Saat ini masih terserap 62,81%. Pemerintah perlu mempercepat realisasi Bansos selama tiga bulan terakhir tahun 2020 ini. Di seantero pulau Jawa, masyarakat telah menjalani pembatasan sosial (dan usaha), sejak pertengahan Maret 2020. Suasana tidak mudah, dan tidak enak, diam di rumah selama dua bulan.
Omzet perdagangan besar, menengah, dan kecil, merosot drastis. Seluruh rumahtangga terdampak ekses PSBB. Banyak rumahtangga yang tiga bulan lalu tidak tergolong miskin, kini menjadi benar-benar miskin. membutuhkan bantuan sosial (Bansos). Dampak wabah pandemi CoViD-19, jumlah penduduk miskin diperkirakan bertambah sampai sebanyak 8,5 juta orang.
Walau (bersyukur) bisa luput dari wabah, tetapi tidak bisa terhindar dari dampak resesi ekonomi. Dalam keadaan terhimpir, masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah takut ke rumah sakit. Khawatir “divonis” positif CoViD-19, semakin menyusahkan keluarga. Serapan anggaran sektor kesehatan masih sangat rendah (belum 40%). Padahal hanya tersisa 100 hari jelang akhir tahun anggaran 2020. Perlu persiapan penyediaan aksesoris, antara lain jarum suntik dan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang akan melakukan vaksinasi di seluruh wilayah Indonesia.
Diperkirakan pelaksanaan vaksinasi akan meliputi 180 juta suntikan setahun! Ini terbesar sepanjang sejarah. Pengalaman nasional selama ini sebanyak 30-40 juta. Jika diikuti jeda, dan hari libur, vaksinasi CoViD-19 bisa terjadi sehari disuntik 1 juta orang! Maka diperlukan tenaga suntik, dan relawan (mahasiswa) dari berbagai fakultas Kedokteran, serta Sekolah Tinggi Keperawatan dan Kebidanan. Vaksinasi akan dilakukan triwulan pertama tahun 2021, di tiap Puskesmas, RSUD, dan rumah sakit “dadakan.”
Pemerintah telah menjamin ketersediaan vaksin, dengan mengerahkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) berburu bahan dari China (perusahaan farmasi Sinovac Biotech). Di dalam negeri, BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) juga sedang mengembangkan bakal vaksin “merah-putih.” Istimewanya, vaksin berdasar penelitian yang diambil dari spesimen dalam negeri. BPPT bekerjasama dengan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), serta LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Sehingga diperkirakan vaksin CoViD-19 “merah-putih,” akan sesuai untuk pencegahan di dalam negeri. Kerjasama internasional, diamanatkan dua undang-undang (UU) sebagai pijakan bencana non-alam wabah pandemi CoViD-19. Yakni, UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan UU Kekarantinaan Kesehatan. Indonesia bekerjsama dengan berbagai negara. Termasuk dengan negara jazirah Arab (Uni Emirat Arab) dalam forum G-42, yang di dalamnya terdapat negara-negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam).
Indonesia berpotensi menjadi negara yang mengawali vaksinasi CoViD-19. Bahkan juga berpotensi meng-ekspor vaksin anti-corona. Vaksin yang dijamin halal yang bisa digunakan seluruh Negara anggota OKI.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: