Konservasi Air di Era Pandemi

Refleksi Hari Air Se-Dunia, 22 Maret 2021

Oleh:
Rachmad K Dwi Susilo, Ph.D
(Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Alumni Hosei University, Tokyo dan Pendamping Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) Kota Batu, Jawa Timur)

Hari Air se-Dunia (World water Day) diperingati oleh komunitas dunia setiap tanggal 22 Maret. Tema hari air tahun 2021 yaitu valuing water yang berarti penilaian manusia atas air itu. Tema ini mempertegas arti dan nilai air baik untuk kehidupan keluarga, praktik kebudayaan dan kesejahteraan manusia. Dengan demikian, Peringatan Hari Air merupakan sarana dan refleksi yang tepat bagi penghuni bumi atas arti penting sumber daya air, baik air sungai, sumber air dan bahkan air laut.

Refleksi ini penting di tengah ancaman bencana hidrometerologi akibat perubahan iklim dan curah hujan. Jika musim kemarau, kuantitas air merosot. Pada wilayah-wilayah tertentu, warga masyarakat harus menempuh perjalanan berkilo-kilo untuk mengakses air bersih. Tetapi pasokan air berlimpah tidak selalu baik. Pada musim hujan, pasokan air berlimpah yang menyebabkan genangan dan banjir yang menenggelamkan pemukiman dan sawah/perkebunan.

Tidak sama dengan sumber daya alam yang lain, bicara sumber daya air memang unik, karena ia memiliki watak dinamis. Untuk itu, demi menjaga keseimbangan pasokan air, konservasi air diperlukan. Sumber air yang lestari, dipertahankan fungsi ekologis dan jika ditemukan kerusakan sumber daya air maka dikembalikan seperti semula.

Persoalannya, konservasi sumber daya air tidak mudah mengingat kita memasuki masyarakat digital dan pandemik. Dominasi teknologi informasi dan komunikasi terjadi pada masyarakat. Ia mengubah pola relasi dan cara pandang manusia atas teknologi dan kehidupan sosial. Demikian pula pandemi, relasi-relasi sosial yang berubah berpengaruh pada relasi manusia dengan alam. Disinilah dituntut penyesuaian-penyesuaian dan inovasi tentang model konservasi yang adaptif, tangguh dan berkelanjutan.

Arti Penting Konservasi Air

Kesadaran akan relasi harmonis manusia dan alam menjelaskan bahwa kita wajib menjaga kelangsungan hidup, seperti bagi manusia, air memiliki fungsi ekologi, fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Fungsi ekologi menjelaskan fungsi air dalam tatanan ekosistem dimana terkait dengan makhluk-makluk yang lain. Air untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, tanpa air makhluk yang lain akan mati. Tanaman tidak akan tumbuh dan hutan tidak akan lebat dan rimbun.

Sementara itu, fungsi sosial menjelaskan air untuk membangun relasi sosial antar manusia maupun antarkomunitas. Hampir semua agama dan kepercayaan menjadikan air sebagai sarana ritual. Terintegrasinya dua desa berbeda karakter oleh sumber air yang dimanfaatkan bersama-sama, otomatis air menjadi sarana membangun hubungan resiprositas. Jika tidak ada sumber air, maka dua desa tidak saling menyapa, tetapi setelah pemanfaatan bersama tersebut warga dua desa bekerja sama dalam pemanfaatan, pelestarian dan perlindungan mata air. Air bukan lagi sebagai “benda mati” tetapi nyawa untuk kehidupan baik individual maupun kolektif.

Sedangkan, fungsi ekonomi paling mudah dipahami karena menekankan air untuk diambil keuntungannya bagi manusia. Korporasi, organisasi pemerintah maupun non pemerintah memanfaatkan air untuk mencari laba. Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) yang mendistribusikan air, memanfaatkannya untuk mengais keuntungan sebanyak-banyaknya. Wahana wisata yang memanfaatkan air juga menjadikan bumdes kaya raya. Tanpa pasokan air, tidak mungkin desa sentra tanaman hias sejahtera. Pengurus maupun anggota Pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) juga mengais keuntungan dengan memanfaatkan sumber daya air.

Tidak heran jika regulasi mengatur keterjaminan manusia atas akses air, seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menyatakan bahwa air dikelola guna mencapai manfaat yang sebesar-besarnya dalam memenuhi hajat hidup dan peri kehidupan rakyat. Dalam wacana global tentang jaminan keamanan manusia (human security), sumber daya air termasuk menjadi sumber daya alam yang perlu dilindungi. Hal ini karena persoalan air baik seperti kekurangan, rendahnya kualitas dan ketidakmerataan air akan menjadi ancaman manusia selain, peperangan dan konflik sosial.

Konservasi di Tengah Pandemi

Tujuan konservasi yakni reformasi sumber daya air dengan mengubah pola pikir menuju penyelesaian secara integral dan sistematis dengan memasukan seluruh faktor yang berpengaruh baik secara biotik, abiotik dan sosio-kultur. Ia menekankan pada korelasi komponen budaya masyarakat, ekologi wilayah perairan dan hidrologi/hidrolik yang ada (Maryono, 2016). Fokus reformasi tersebut pada pemeliharaan sungai dan daerah resapan air. Kuantitas dan kualitas air sungai dipantau dengan memelihara ekosistem, daerah sempadan dan keanekaragaman flora dan fauna dikawasan sungai tersebut. tetap harus dipantau agar kualitas air tetap bisa diandalkan. Kondisi alamiah yang membuat sungai melindungi manusia harus diperhatikan. Kebudayaan air didorong dengan memanfaatkan kekuatan aliran sungai untuk pengembangan energi baru dan terbaharukan (EBT).

Fokus pada daerah resapan air dengan pertimbangan karena ia menyuplai kebutuhan untuk masyarakat baik demi kebutuhan domestik maupun bisnis. Konservasi daerah resapan air digarap dengan menghitung kuantitas dan kualitas air. Pendekatan kultural digunakan untuk mengobjektivasi keberadaan air dengan memanfaatkan institusi sosial. Sementara itu, pendekatan struktural memberikan jaminan bahwa tata ruang sudah sesuai dengan lahan perlindungan resapan air. Kekuatan ekonomi politik pada kota/kabupaten memberikan jaminan bahwa tidak ada kegiatan yang merusak sumber daya air tersebut.

Akhirnya, konservasi di era pandemik harus memperhatikan tiga hal yakni: pandemik itu sendiri, bencana hidrometereologi dan kemunculan masyarakat digital. Kondisi pandemik menyebabkan multibencana, baik penanganan bencana pandemik maupun hidrometereologii. Untuk itu yang diperlukan konservasi yang tidak hanya menganjurkan konservasi sumber daya air, tetapi juga mengedukasi menjadi masyarakat yang tangguh multibencana.

Demikian pula, memasuki masyarakat digital menuntut perubahan. Konservasi air konvensional dengan mengandalkan kerumunan dirubah dengan mengandalkan teknologi. Media sosial sebagai kekuatan deterministik menjadi alat kampanye lingkungan baru. Model kerumunan jelas sudah tidak efektif, maka penghuni “jagat maya” menjadi sasaran kampanye. Akhirnya, jika kita telah menyadari dan sudah melakukan konservasi “terbaru” ini, maka perubahan sosial di masyarakat bukanlah kendala, tetapi peluang untuk terciptanya tata kelola air yang tangguh dan berkelanjutan.

——– *** ——–

Rate this article!
Tags: