Konspirasi Pendangkalan Akidah atau Trend Kontemporer

rizka-alifahOleh :
Rizka Alifah
Young Researchers of Monash Institute Education and Journalism (MIEJ) UIN Walisongo Semarang

Perubahan adalah sesuatu yang abadi di dunia. Demikianlah, berlaku pula saat menilik metamorfosis Nusantara, seakan tidak pernah ada habisnya, tak terbatas ruang dan waktu, perbedaan selalu mewarnai kelamnya negeri. Mungkin sekali terjadi, manakala sekarang seperti ini, sementara besok telah berubah menjadi berbeda atau bahkan sebaliknya. Sekarang saya akan pro anda, kelak saya akan menjatuhkan anda, apabila anda berhenti memenuhi kepentingan saya. Karena seperti itulah mental negeri ini, jika bukan menjadi penjajah di negeri sendiri, maka jadilah ia sebagai yang terjajah.
Sebab, bukan hal mudah mengembalikan mental bangsa inferior yang telah berabad-abad dijajah. Selalu ada ketakutan dan prasangka buruk terhadap hal-hal baru. Sebagai contohnya, akhir-akhir ini, masyarakat dihebohkan dengan kasus penistaan agama oleh elite China-Indonesia (Basuki Tjahaya Purnama), atau kasus intervensi politik dan atmosfer ekonomi yang diwarnai para cukong China. Dan berita terbaru, muncul pula tudingan kasus pendangkalan akidah dengan merebaknya kalimat baru “om telolet om”.
Hampir semua kasus yang muncul di nusantara bersifat kontemporer. Hanya mampu berumur hitungan hari, kemudian akan teregenerasi oleh kasus baru. Seperti halnya sesuatu yang menjadi trend remaja kini, yaitu “om telolet om”, begitu cepat menggantikan tema obrolan masyarakat sebelumnya, diantaranya: Ahok, China, Aleppo dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan kesuksesan media massa dalam mempengaruhi masyarakat.
Paradoks kepemimpinan
Mengulas kembali kasus penistaan agama, ditengarai berawal dari pernyataan calon gubernur DKI Jakarta petahana (Ahok), dalam pidatonya di Kepulauan Seribu pada akhir September lalu. Dimana ia membuat sebuah pernyataan berkenaan dengan al-Qur’an surat al-maidah ayat 51, kemudian kembali diperkuat dengan fitnah peserta demo bayaran dalam aksi 4 November. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk Kejaksaan Agung (kejagung) tidak segera menjatuhkan putusan sesuai hukum pidana yang berlaku.
Sementara itu, reaksi penduduk Indonesia, dengan 85% masyarakat muslimnya, pantas menggeliat terkait kasus tersebut. Dengan mengembalikan semangat jihad sebagian masyarakat muslim nusantara, serta menyatukan mereka yang sebelumnya berbeda, menjadi satu barisan masif dengan gerakan yang kompak dalam satu komando. Setidaknya, tragedi tersebut mampu membuat umat Islam mengingat kembali untuk mempelajari dan lebih memahami kitab sucinya.
Namun di sisi lain, sebagian muslim sisanya, justru menjadi oposisi bagi para pejuang al-Qur’an. Dengan alih-alih Ahok telah membawa Jakarta menjadi lebih baik, atau dengan pribadinya yang keras dan tegas berpolitik. Hal ini pun tidak disalahkan, akan tetapi kejadian ini mengabarkan bahwa betapa telah tereosinya kualitas pemimpin muslim di Indonesia, sehingga tidak ada pilihan lagi selain pemimpin non-islam.
Sementara kabar baiknya, pemimpin muslim tersebut muncul sebagai garda depan dalam aksi 411 dan 212. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Islam masih memiliki taringnya. Hanya saja tersembunyi di balik bungkamnya, sebab kezuhudannya, mereka enggan menyaksikan kotornya politik Indonesia. Padahal, apabila semua umara (pemimpin) bersikap demikian, pembiaran yang berkelanjutan tidak akan pernah membawa perubahan. Sebagai akibatnya, Indonesia selamanya akan terkungkung dalam keterpurukan.
Telolet challenge
Apabila dipandang dari segi masyarakat inferior, cenderung mengada-adakan bahkan ada yang menjustifikasi golongan tertentu. Sempat tersiar opini bahwa kata “om telolet om” merupakan konspirasi pendangkalan akidah yang sengaja dicetuskan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab dengan kepentingan tertentu. Mereka mengaitkan kata “om telolet om” sebagai istilah yang berarti “saya Yahudi”. Ada pula yang mengatakan kata ‘om’ sebagai sesembahan umat Hindu, sementara ‘telolet’ adalah kata lain dari terompet yang merupakan alat ibadah kaum yahudi.
Sebaliknya, sebagian masyarakat memberikan respon positif, karena apabila dilihat dari segi asalnya, bunyi klakson tersebut terinspirasi oleh bunyi klakson di Arab Saudi. Kemudian dimodifikasi oleh pemilik perusahaan otobus (PO). Kata itu sendiri, dipopulerkan dengan kebiasaan para pemuda berteriak “om telolet om” atau “pak telolet pak” ketika bus lewat, berharap sopir bus berkenan membunyikan klakson bus “telolet,telolet”. Sehingga, sama sekali tidak terdapat konspirasi negatif atau lainnya, karena hal demikian muncul murni sebagai hobi.
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan pihak manakah yang sebenarnya memiliki akidah yang dangkal. Dengan mengaitkan dua hal yang sama sekali tidak berhubungan. Fenomena “om telolet om” muncul sebagai hal yang memperkaya kebudayaan bangsa. Bukan hanya dipandang dari kaca mata bangsa, akan tetapi hingga kaca mata dunia sebagai trend kontemporer dan wahana hiburan. Hal demikian tidak dibenarkan, seperti halnya memperbandingkan dua hal yang tidak bisa dibandingkan. Pemimpin kafir meski bijaksana sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan pemimpin muslim yang dzalim. Karena apabila dibandingkan, maka tidak ada yang berhak menjadi pemimpin.
Perlunya merekonstruksi cara pandang masyarakat dalam menyikapi hal-hal baru. Terkadang prinsip kehati-hatian dipandang perlu dalam menganalisis sebuah permasalahan yang muncul, akan tetapi hal itu berlaku selama masih dalam konteks yang sesuai. Meskipun begitu, tetap dibutuhkan korelasi antara referensi, nalar, serta kritis sosial politik yang akhirnya bermuara pada introspeksi. Bukan hanya dengan sekadar menempatkan diri sebagai oposisionalisme terhadap berbagai permasalahan yang muncul.
Wallahu a’lamu bi al-shawab.

                                                                                                                 ———- *** ———–

Tags: