Kontekstualisasi Tri Pusat Pendidikan di Masa Pandemi Covid-19

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengumumkan ada penyederhanaan kompetensi dasar siswa pada kurikulum selama pembelajaran di masa pandemi Covid-19. Kebijakan itu disampaikan Nadiem bersamaan dengan pengumuman diperbolehkannya pembelajaran tatap muka pada sekolah yang berlokasi di zona kuning.

Nadiem menyebut penyederhanaan kompetensi dasar di kurikulum ini sebagai bagian dari kurikulum darurat. Meski begitu, penyederhanaan mengacu pada kurikulum 2013. Penyederhanaan mengurangi secara dramatis kompetensi dasar siswa untuk setiap mata pelajaran, Kompas (8/8).

Penyesuaian kurikulum ini barangkali juga menjawab kegundahan berbagai pihak, baik penyelenggara pendidikan (sekolah), para orangtua dan pegiat pendidikan yang kebingungan dengan materi pembelajaran daring yang diberlakukan disekolah-sekolah yang nyaris tanpa panduan. Penyederhanaan kompetensi dasar siswa pada pembelajaran di masa pandemi virus corona ini barangkali juga jalan tengah atas situasi sulit saat ini. Memang, pengetahuan yang akan diterima para siswa akan berkurang dari seharusnya. Akan tetapi, itu lebih baik daripada anak-anak tidak mendapatkan apa-apa. Selain memberi keputusan terkait kurikulum, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga memberi isyarat membolehkan daerah yang berstatus zona kuning untuk menyelenggarakan pendidikan tatap muka. Isyarat ini tentu disambut antusias beberapa pihak yang merasa ‘kelelahan’ dengan model pendidikan daring (dalam jaringan) yang hari ini sedang berlangsung hampir di semua wilayah.

Respon positif yang ditunjukkan jelas berbarengan dengan rasa cemas dan khawatir dengan penyelenggaraan pendidikan tatap muka itu sendiri. Artinya, kalaupun ada pihak yang berharap agar sesegera mungkin dilansungkan pendidikan tatap muka, maka sesungguhnya lebih dilatari oleh himpitan beban yang bertumpuk-tumpuk ketika pendidikan dilangsungkan secara daring.

Wabah Covid-19 memang menyerang begitu cepat. Sementara masyarakat dengan berbagai institusi sosialnya tidak cukup sigap menghadapinya. Semua harus mengambil keputusan yang serba cepat, karena harus berpacu denga masifnya penyebaran virus ini. Dunia pendidikan mulai dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi juga harus meliburkan anak didik dan mahasiswanya. Demikian juga kalangan pondok pesantern juga harus memulangkan para santrinya. Bukan itu saja, pemerintah pun harus membebaskan puluhan ribu narapidana dari penjara, demi untuk mengurangi penyebaran Covid-19 ini. Sungguh kebijakan yang tiada pernah terbayangkan sebelumnya.

Semua lebih dilandasi keinginan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Kalau kemudian langkah yang diambil ada yang menimbulkan persoalan tentu itu adalah salah ongkos sosial yang harus kita nikmati. Dan semuanya tidak ada yang bisa memastikan kapan situasi akan kembali normal kembali.

Sekali lagi, semua berlangsung begitu cepat, nyaris tanpa ada persiapan dan antisipasinya. Lantaran itu, kita semua tidak boleh lantas saling menyalahkan atas situasi yang terjadi sekarang ini. Inilah momentum bagi segenap elemen bangsa untuk bersama-sama melawan penyebaran Covid-19.

Dunia pendidikan menjadi gelagapan karena harus mencari alternatif pembelajaran bagi para siswa-siswanya, ketika harus meliburkan sekolahan. Demikian juga para pengusaha juga harus memeras otak untuk mencari jalan agar usahanya tetap jalan. Dari penyelenggara pemerintah, dari pusat hingga ke level yang paling bawah yakni kelurahan/desa semua dihadapkan pada persoalan. Persoalan demikian menumpuk dimana-mana. Nyaris tidak ada satupun pihak yang terbebas dari masalah pandemi ini.

Yah, pandemik Covid-19 adalah persoalan bersama yang memang harus ditanggung bersama. Tidak munkin rasanya kalau hanya menyerahkan semuanya kepada pemerintah saja. Semua harus ikut terlibat sesuai dengan potensi dan kapasitas masing-masing.

Imbas bagi Kehidupan Pelajar

Anak dan remaja sebagai bagian dari masyarakat tentu juga menjadi kelompok yang ikut terdampak pandemic Covid-19 ini. Anak dan remaja yang sebagian besar masih berada pada usia sekolah tiba-tiba harus berada di rumah saja dan meninggalkan bangku belajarnya.

Memang beberapa sekolah masih bisa menyelenggarakan pendidikan secara daring (online), namun tidak banyak sekolah yang bisa menyelenggarakan pembelajaran daring secara memadai dan bisa memantai aktivitas peserta didiknya. Lebih banyak yang terjadi adalah penyelenggaraan pembelajaran daring yang sekadar memenuhi kewajiban saja. Bahkan yang lebih terlihat para guru lebih banyak memberikan tugas secara online secara berlebihan.

Akibatnya peserta didik berikut orangtuanya sibuk mengerjakan tugas sekolah. Seolah dengan memberikan tugas kepada siswa sudah dianggap menyelenggarakan pendidikan secara online. Kondisi ini memang tidak sepenuhnya kesalahan sekolah utamanya para guru yang memang belum disiapkan untuk menghadapi situasi ini. Tidak banyak sekolah yang memiliki sumber daya manusia (SDM) dan ketersediaan anggaran yang cukup untuk menyelenggarakan pembelajaran secara daring.

Belum lagi faktor keterbatasan peseta didik untuk bisa mengakses pembelajaran secara daring, baik karena faktor keterbatasan infrastruktur (tidak punya android atau sinyal yang belum menjangkau) maupun keterbatasan finansial untuk membeli kuota internet.

Selama ini proses belajar mengajar anak dan remaja memang lebih dipasrahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan (baca : sekolah). Keluarga dan masyarakat nyaris tidak ikut banyak terlibat dalam pendidikan anak-anaknya. Para orang tua merasa dengan memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya seolah seolah sudah selesai tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Momentum inilah yang diharapkan mampu membangun kesadaran para orangtua dan masyarakat untuk mengambil peran aktif dalam pembelajaran anak-anaknya.

Konsep Tri Pusat Pendidikan

Istilah Tripusat pendidikan ini adalah istilah pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara bapak pendidikan nasional kita. Tripusat pendidikan yang dimaksudkan yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan di lingkungan masyarakat. Ketiga lembaga pendidikan tersebut tidak dapat berjalan tanpa ada keterkaitan satu sama lain, sebab merupakan satu rangkaian dari tahap-tahap pendidikan yang harus berjalan seiring. Artinya, tiga pusat pendidikan secara bertahap dan terpadu mengemban suatu tanggungjawab pendidikan bagi generasi muda, dengan kata lain perbuatan mendidik yang dilakukan orang tua terhadap anak juga dilakukan oleh sekolah dengan memperkuatnya serta dikontrol oleh masyarakat sebagai lingkungan sosial anak.

Koentjaraningrat dalam Pengantar Antropologi (1999) memberikan definisi masyarakat dengan kelompok terbesar dari mahluk-mahluk manusia di mana pada manusia tersebut terjaring suatu kebudayaan yang oleh manusia dirasakan sebagai suatu kebudayaa. Koentjaraningrat menitikberatkan kebudayaan dalam wujud masyarakat. Kehidupan warga-warga masyarakat terjalin dalam kebudayaan yang dirasakan oleh mereka.

Lantaran itu, ketiga pusat pendidikan sama-sama memegang peran penting dalam keberhasilan pendidikan dan pada dasarnya semua saling berkaitan dan saling kerjasama satu sama lain. Di dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional pada pasal 13 ayat 1 disebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.

Akhirnya, ketika masa pandemi Covid-19 datang sesungguhnya juga telah mengirim pesan betapa sekolah tidak bisa sendirian memberikan pembelajaran. Para orang tua dan masyarakat punya peran besar berkontribusi dalam penyelenggaraan pendidikan. Inilah momentum yang menyentakkan kesadaran kita untuk kemudian mendorong keluarga dan masyarakat untuk mengambil peran dalam mendidik anak-anak.

———– *** ————-

Tags: