Kontradiksi

Oleh :
Rofiatul Adawiyah.

“Aku merasa… ” ucapku terhenti menimbang kembali apakah penolakan di masa lalu penting untuk dibahas dalam perbincangan ini.

Hari itu, aku berada di sebuah mall, menikmati akhir pekan bersama teman dekatku. Akan tetapi, kami telah sepakat untuk tidak membeli barang satupun di luar kebutuhan yang sebenar-benarnya. Kami hanya menempatkan diri pada kursi kecil yang tersedia di sana dengan membincangkan banyak hal sembari menelan baik-baik makanan dan minuman yang kami beli dari luar mall. Di samping itu, ternyata banyak orang yang menaruh perhatian pada fasilitas umum tersebut untuk beristirahat dari akivitas pencarian barang-barang kebutuhan atau keinginan mereka. Hal itu tampak jelas, berkali-kali pandangan mereka berusaha menjelaskan daya tariknya, semata-mata karena keberadaan kursi yang kami duduki.

“Dulu, aku terlalu kecil untuk memahami sebuah penolakan.” sambungku segera, merangkai kembali puing-puing peristiwa di masa lalu, tanpa merespons pandangan orang-orang yang tidak kami kenal itu.

“Bahkan, aku tidak mengerti bahwa ada benturan dua kepentingan antara aku dan kakak perempuanku, yaitu aku ingin bermain dengannya, sedangkan ia ingin bermain dengan orang lain, alias teman-teman sebayanya.” ucapku. Seketika teman dekatku itu menarik tubuhnya ke belakang, lalu kembali ke sikap semula, seakan-akan ia hendak menarik diri sekaligus mempersiapkan diri dengan mengambil sikap yang tepat untuk menanggapi pembicaraanku.

“Kalau boleh tahu, berapakah jarak usia kalian?” tanya teman dekatku. Sesekali ia mengambil makanan sembari mendengarkanku. Sementara aku sibuk memandangi sekeliling mall dengan berbagai peristiwa masa lalu di kepala hingga lupa untuk mencicipi makanan yang sengaja kami bawa dari luar mall karena harganya lebih murah.

“Kami itu.. berselisih usia sekitar 8 tahunan.” jawabku dengan menaruh perhatian padanya.

“Mungkin itu sebabnya…” ucap teman dekatku.

“Beliau ingin kamu bermain dengan teman seusiamu karena siapa saja, bahkan diri kita sendiri pun membutuhkan lingkungan yang seimbang, baik mulai dari sikap, pemikiran, maupun tindakan yang dapat memengaruhi keberhasilan permainan.” jelasnya.

“Tapi, dulu aku lebih senang bermain dengan orang yang lebih dewasa, atau mereka yang usianya di atas kita.” ucapku.

“Hmm, sebetulnya itu tidak masalah sih.” ucapnya.

“Tapi, …” ucapnya lagi, terhenti.

“Tapi apa?” tanyaku penasaran.

“Hahaha, wajahmu biasa saja dong.” ucapnya meledek.

“Menurutku, setiap lingkungan pertemanan itu selalu mempunyai dua sisi, sehingga berteman dengan orang yang lebih dewasa sekalipun terdapat kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya adalah kamu atau kita dapat belajar banyak hal dari lingkungan tersebut, yang di mana; barangkali untuk seusia kita belum mengetahui banyak hal.”

“Nah, itu kamu tahu. Dulu, aku senang bermain dengan mereka, yaitu orang-orang yang lebih dewasa karena aku ingin belajar banyak hal. Meski, aku pernah mendapat penolakan dari mereka.” ucapku.

“Lalu, kelemahannya?” tanyaku.

“Kelemahannya ya ….., bukankah selama ini kamu cenderung menjadi pengikut mereka?” tanyanya.

“Iya sih.” celetukku.

“Wajar sih, dulu kita belum bisa menimbang bahwa bermain bersama orang-orang dengan segala usia itu juga penting untuk pertumbuhan kita kedepannya.” ucap teman dekatku itu.

“Kalau boleh tahu, bagaimana kamu merespons adanya penolakan itu?” sambungnya.

“Dulu aku hanya bisa diam dan menangis karena takut untuk sekadar mengutarakan keinginan bermain dengan kakakku. Sebab sudah berulang kali, kakakku memberikan peringatan kepadaku agar aku tidak selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi bermain, sedangkan aku terus saja memaksakan diri untuk bergabung dan bermain dengannya.” jelasku.

Kalau menurutku sih, kakakmu memang tidak sepenuhnya salah karena kamu pun menyadari bahwa dirimu sendiri yang terlalu memaksakan diri sehingga beliau mengusirmu.” ucapnya.

“Tapi entah mengapa di dalam diriku, rasa sakit atas penolakan itu masih membekas sampai sekarang.” ucapku.

“Oh ya …. Menurutmu, apakah penolakan itu ada karena ketidaksempurnaan diri kita bagi orang lain?” tanyaku.

“Ya, tentu tidaklah.” jawabnya.

“Kamu pikir orang lain itu sempurna? Misalkan aku?….. Tidak!” sambungnya dengan tegas, sementara aku hanya terdiam menyimak perkataan teman dekatku itu.

“Berdasarkan yang aku baca, sebuah penolakan itu bagian dari kehidupan kita, yang tidak terhindarkan. Penolakan juga dapat memberi rasa sakit secara emosional, baik penolakan yang terjadi dalam pekerjaan, percintaan, pertemanan dan sebagainya. Misalkan dalam pekerjaan, orang yang terlihat berhasil pun pasti mereka pernah mengalami penolakan sebelumnya.” sambungnya.

“Please… Jangan merasa tidak berguna atau tidak berharga dalam hidup ini karena kita memang tidak akan pernah bisa menghindari penolakan itu, tetapi kita perlu mengelolanya secara bijaksana agar tidak merangsang berbagai emosi yang merusak. Kita harus berdiri dengan diri kita yang asli, yaitu diri kita dengan penuh kesadaran yang berada di belakang semua emosi dan pikiran tersebut karena ia bersifat tetap, jernih dan damai.” jelasnya.

“Apakah maksudmu aku perlu berbenah diri atau aku perlu melihat kemungkinan lain yang tersedia?” tanyaku.

“Semua perlu kita pahami betul. Aku hanya ingin mengatakan bahwa apapun itu, segala keputusan haruslah dibuat dengan berpijak dari diri kita yang asli.” jawabnya.

“Sepertinya aku perlu ke kamar mandi dulu. Maaf, aku tinggal dulu ya.” pamitnya terburu-buru sehingga aku hanya mengiyakan dengan anggukan kepala sebagai tanda memberikan izin kepadanya.

Dari sisi yang lain, datanglah dua orang perempuan dan satu orang laki-laki dewasa dengan memakai seragam batik beserta buku di tangannya. Mereka tidak menjelaskan apapun atau sesuatu yang menjadi pekerjaannya, melainkan mereka hanya meminta bantuan agar aku bersedia terlibat dalam dokumentasi pekerjaannya. Dengan sikap yang terbuka, aku pun mengizinkan diri untuk terlibat dalam rencana mereka yang belum diketahui baik dan buruknya.

“Aku tidak tahu harus mengatakan apalagi padamu.” celetuk teman dekatku dari arah kamar mandi yang berlawanan dengan langkah dua orang perempuan dan satu orang laki-laki dewasa dengan memakai seragam batik itu.

“Maksudmu?” tanyaku terkejut dengan ucapannya.

“Aku tidak setuju dengan tindakanmu membantu mereka yang sedang bermalas-malasan.” jawabnya dalam sikap berdiri.

“Kamu sudah lama mengenalku, kamu bisa langsung saja ke poin pentingnya.” ucapku karena merasa serba salah.

“Seperti yang telah kita bahas, belajarlah berdiri dengan diri kita yang asli.” ucapnya.

“Aku paham betul bahwa sesungguhnya kamu juga memahami rencana mereka yang bekerja dengan tidak jujur, tetapi mengapa kamu memilih untuk mendukungnya?” tanyanya.

“Kamu tahu, aku tidak bisa menolaknya.” sambungku.

“Ah sudahlah! Aku sudah paham betul dengan masalah utamamu itu. Akan tetapi kali ini, aku tidak akan menerima alasan itu lagi. Sudah seharusnya, adanya penolakan itu membuatmu belajar untuk berani mengatakan’tidak’ pada siapapun dan apapun yang dilakukan dengan cara tidak benar.” Demikianlah kontradiksi teman dekatku itu.

———- *** ———-

Tentang Penulis :

Rofiatul Adawiyah.
Seorang anak perempuan yang terlahir dari kecil di Situbondo, 18 Agustus 1998. Pemilik blog Jalanpikiran (@rrofiatul.blogspot.com/).

Rate this article!
Kontradiksi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: