Kontraktor Berperkara Tak Bisa Dijerat Pidana

Blacklist KontraktorSurabaya, Bhirawa
Kritik penerapan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) muncul dari mahasiswa program doktor Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Marthen Hengki Toelle. Dalam  disertasi bertemakan Tindak Pidana Korupsi dalam Kontrak Kerja Kontruksi antara Pemerintah sebagai Pengguna Jasa dengan Penyedia Jasa Pelaksana Kontruksi, bisa membuat para kontraktor berperkara sedikit bernafas lega.
Pada disertasi yang dipaparkan dalam ujian terbuka gelar doctor FH Unair itu, Marthen menegaskan bahwa saat ini kasus-kasus yang diangkat para penegak hukum soal pelaksanaan pengerjaan proyek seharusnya masuk dalam rana perdata.
Menurutnya sesuai Undang-undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi, tidak bisa dijerat pidana. Hal itu masuk kepada cidera janji atau wanprestasi, dan lebih tepatnya hanya bisa dijeratkan dengan pasal perdata.
“Kontraktor pemenang lelang apabila berhadapan dengan kasus pengerjaan kontruksi atau kasus hukum, hanya bisa dibenturkan dengan perhitungan kerugian yang selanjutnya harus dibayar. Bukannya dipidana,” jelas Marthen Hengki Toelle di Surabaya, (20/7).
Dijelaskan Marthen, apabila aparat penegak hukum selalu menggunakan UU nomor 31 tahun 1999 diubah UU nomor 20 tahun 2001 tentang tipikor, untuk menjerat para kontraktor dan Pegawai Negeri Sipil (PNS), ditakutkan bakal tidak ada PNS dan kontraktor yang mau mengurusi program Pemerintah soal pembangunan.
Bahkan, dalam kasus seperti itu pria kelahiran Ba’a-Rote, Nusa Tenggara Timur ini menambahkan, UU Tipikor seolah-olah mengenyahkan undang-undang yang lain. Padahal, menurut dia, dua undang-undang itu setara dalam hirarki hukum yang berlaku di negeri ini.
“Lalu buat apa ada Undang-undang Jasa Konstruksi, dihapus saja. Sedangkan Pemerintah dituntut untuk selalu melanjutkan progam dibidang pembangunan. Kalau kontraktor maupun PNS dipidana, lalu siapa yang bakal mengurusi hal ini. Sudah capek-capek menjalankan tugas dan program pemerintah, nantinya PNS tersebut dipenjara,” tegas Marthen.
Kendati begitu, Marthen menilai UU Tipikor tidak perlu ada yang direvisi. Hanya saja penerapan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor saja harus lebih bijak dalam penerapannya, terlebih dalam kasus pengerjaan kontruksi.
Dia hanya meminta agar penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak menindaklanjuti temuan dugaan penyimpangan proyek bangunan secara pidana. “Karena itu masuk ranah perdata,” pungkas Marthen.
Kepastian Hukum
Sementara itu Himpunan ahli kontrak konstruksi Indonesia (HAKKI) meminta pemerintah memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para kontraktor. Hal itu disampaikan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) HAKKI, Firman Wijaya pada deklarasi dan peresmian DPD HAKKI Provinsi Jawa Timur di Hotel Java Paragon, Surabaya, Rabu (20/7) kemarin.
Menurut Firman, banyak dari kontraktor terjerat kasus hukum karena beda penafsiran antara pelaku konstruksi dan Penegak hukum. Persoalan hukum bukan menjadi kendala pembangunan itu, tapi justru menjadi alat pengawal pembangunan.
“Kriminalisasi ini harus segera diakhiri untuk menyelesaikan permasalah kontrak,” ungkap Firman disela deklarasi dan peresmian, kemarin.
Contoh kontraktor rentan terjerat hukum kata Firman bisa persoalan angaran proyek. Halini  ironi sebab para kontraktor dalam mekanismenya berpatokan pada Undang-Undang jasa konstruksi. “Justru sentimen negatif ini jangan muncul didalam pembangunan nasional. Bukan pidana, bisa memberikan hukum administratif lain, sehinga pembangunan bisa berjalan,” urainya.
Dalam hal ini lanjut Firman, kontraktor sering dijadikan kambing hitam, padahal jika berbicara proyek, berbicara tender itu di tentukan di Undang-Undang jasa konstruksi.
Sementara, Sekjen HAKKI Panani Kesai menambahkan, pembangunan infrastruktur yang semakin meningkat diperlukan adanya sinergisitas lintas lini. Pentingnya Ahli kontrak kontruksi dibutuhkan agar permasalaha hukum dapat ditekan.
“Pembangunan ini makin lama makin banyak, sehinga persolannya juga banyak. Supaya pembangunan yang ada dapat berjalan dengan opitimal, permasalah kedua belah pihak (antara jasa konstruksi dan Penegak hukum) dapat dicegah ahli konstruksi dibutuhkan,” terangnya. (bed.geh)

Tags: