Kontribusi Pemuda 4.0 untuk Negeri

Oleh :
Atikah Nur Azzah Fauziyyah
Pegiat Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat UIN Walisongo Semarang.

Dewasa ini, generasi milenial dibenturkan oleh berbagai tantangan zaman. Teknologi berkembang begitu pesat, sangat canggih. Barang-barang elektronik semisal laptop, i-phone, dan hp pun dilengkapi dengan fitur-fitur yang komplit, yang bisa memudahkan urusan sosial sang pengguna. Gampangnya, tinggal klik, jari yang utak-atik, segala urusan beres.
Dalam konteks perguruan tinggi, hubungan antara benda-benda tersebut dengan civitas akademica sangatlah erat. Bahkan, mereka tidak bisa dipisahkan dari penggunaan alat tersebut. Penggunaan barang elektronik, terutama hp sudah mengakar kuat di lingkungan kaum intelektual. Namun, barang-barang tersebut seringkali disalahgunakan oleh kaum intelektual (mahasiswa).
Menurut Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan, Gogot Suharwoto memaparkan data pengguna internet di Indonesia semakin bertambah setiap tahunnya, kini sudah mencapai 143,26 juta jiwa. Pengguna yang paling dominan yaitu kalangan pemuda milenial.(detiknews, 30/4/19). Hal ini bisa berdampak positif bagi pengguna yang bijak, begitu juga sebaliknya. Penggunaan akses internet seringkali diselewengkan.
Sebagai contoh, ketika mereka berada di forum, mahasiswa malah asyik dengan gadget masing-masing, membuka sosmed, bahkan tidak jarang yang senyum-senyum sendiri. Padahal, teman atau dosen yang sedang berbicara tengah menyampaikan materi. Mereka mestinya ikut berpartisipasi aktif dalam diskusi, tidak malah sibuk dengan dunia sendiri. Setidaknya, mendengarkan dengan seksama adalah bagian dari bentuk sikap hormat terhadap forum akademis.
Mereka perlu mengubah cara berpikir mereka. Menurut, M. Abdul Aziz, seorang penulis dan kolumnis, sebetulnya mereka itu bisa memperoleh banyak ilmu dalam diskusi, tapi karena tidak mempersiapkan materi dengan baik, maka akan berimbas pada diskusi yang sedang berlangsung. Mereka jadi sibuk sendiri mempersiapkan materi dalam forum, khawatir tidak bisa menjawab dan menjelaskan dengan baik. Oleh karena itu, jadilah ilmuwan yang mumpuni, jangan malah jadi sampah negeri. Mahasiswa perlu menjelaskan disiplin ilmunya secara komprehensif.
Lebih dari itu, mereka pun tidak segan-segan untuk berganti-ganti gadget tanpa pikir panjang. Apalagi jikalau tujuan mengganti itu hanya untuk gaya-gayaan saja, tentu saja hal ini akan membentuk pribadi yang hedonisme dan itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang selama ini diajarkan sejak dini.
Sesungguhnya, ketika mereka menggunakan berbagai fitur secara optimal saja sudah ini bisa melejitkan daya intelektualitas. Mereka bisa berkreasi sesuka hati, mulai dari memperkaya literasi, mendesain, aktif di bidang editing dan multimedia, membuat software dan lain sebagainya. hanya saja, semua itu hanya formalitas semata. Yang penting punya fasilitas yang memadai.
Itulah budaya konsumerisme ala generasi milenial bangsa Indonesia. Berbeda sekali dengan generasi dari negara-negara maju. Coba, saja, kalau civitas akademika ini mulai berpikir mengenai produksi, tidak hanya mengonsumsi, apalagi dengan gaya konsumerisme yang tinggi. Mereka bisa meyumbangkan gagasan-gagasan, ide cemerlang untuk membuat penemuan baru, merancang alat elektronik yang lebih canggih dan memiliki kualitas yang bagus, sebagaimana Jepang, China, dan Amerika.
Apalagi kalau karya anak bangsa ini punya hak paten, pasti akan lebih memberikan keamananan hak cipta bagi sang inventor. Kreasi yang diciptakan juga bisa mengharumkan nama Indonesia. Selain diproduksi di dalam negeri, karya-karya tersebut bisa dipamerkan di luar negeri, sehingga produk tersebut akan semakin dikenal oleh negara lain di kancah Internasional. Kalau produk yang ditawarkan memiliki daya jual yang tinggi, maka akan memikat pembeli.
Generasi muda milenial bisa dilatih membuat tulisan, software, aplikasi, hingga produk-produk elektronik layaknya hp, i-phone, dan laptop. Tentu saja dengan mencetuskan
Mengingat zaman ini sudah berada pada revolusi industri 4.0, dan dibenturkan dengan bonus demografi 2030 mendatang, ini bisa menjadi tantangan tersendiri bagi generasi penerus bangsa, generasi milenial yang akan memasuki usia produktif 15-65 tahun.
Apabila kaum intelektualnya saja tidak berpikir cerdas, lalu kapan Indonesia akan maju? Inilah tantangan zaman yang harus direspon oleh generasi milenial yang intelek dengan penuh sinergitas disertai dengan militansi belajar yang tinggi dan semangat ilmuwan yang berapi-api.
Indonesia perlu membudayakan kebiasaan baik terlebih dahulu, mulai saja dari bidang pendidikan. Civitas akademica harus bisa memperbaiki sistem pembelajaran.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: