Kontribusi Pertanian di Masa New Normal

Oleh :
Sutawi
Dosen Magister Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang melanda Indonesia sejak 2 Maret 2020 tidak hanya berdampak negatif terhadap kesehatan, tetapi juga perekonomian dan ketahanan pangan. Sampai 1 Juli 2020 jumlah penderita terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 57.770 kasus dan meninggal 2.934 orang. Ini berarti setiap hari rata-rata sebanyak 474 orang terjangkit dan 24 orang meninggal akibat Covid-19. Kebijakan pemerintah kepada masyarakat untuk melakukan pekerjaan dari rumah (working from home), pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dan menjaga jarak secara fisik dan sosial (physical and social distancing), serta penutupan wilayah secara terbatas (partial lockdown), telah menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi dan menganggu ketahanan pangan (food security) pada masa new normal (tatanan baru beradaptasi dengan Covid-19).

Pada perekonomian, pandemic Covid-19 menyebabkan jumlah pengangguran melonjak. Pemerintah memperkirakan sebanyak 3,0-5,2 juta kehilangan pekerjaan dan 1,8-3,78 juta orang Indonesia akan jatuh miskin selama pandemi Covid-19. Studi yang dilakukan oleh ekonom Arthur Okun yang disebut Hukum Okun (Okun’s Law) mengindikasikan hubungan negatif antara pengangguran dengan pertumbuhan ekonomi.

Semakin tinggi tingkat pengangguran semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonomi, karena penduduk yang bekerja berkontribusi dalam menghasilkan barang dan jasa, sedangkan pengangguran tidak memberikan kontribusi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,02% pada 2019, diperkirakan menyusut menjadi 1,0% pada 2020 sebagai dampak pandemi Covid-19.

Studi Vos et al. (2020) menyimpulkan penurunan 1,0% pertumbuhan ekonomi menyebabkan peningkatkan kemiskinan dan rawan pangan sebesar 1,6% and 3,0%. Menurut Hermanto (2020) penyusutan perekonomian Indonesia selama pandemic Covid-19 menyebabkan jumlah penduduk miskin dan rawan pangan meningkat 6,9-9,9%.

Pada ketahanan pangan, pandemi Covid-19 berpotensi menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity) bahkan dapat memicu darurat pangan (food emergency) karena belum pasti kapan akan berakhir.

Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologi bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. Menurut FAO, sebuah negara dikatakan mengalami darurat pangan jika kekurangan pasokan pangan relatif terhadap kebutuhan konsumsinya akibat bencana alam, lingkungan, dan/atau kemanusiaan, dan karena itu membutuhkan bantuan pangan dari luar. Jika tidak ada bantuan pangan, maka cukup banyak penduduk yang akan menderita kekurangan gizi bahkan kelaparan. Selama pandemi Covid-19 beberapa provinsi diperkirakan mengalami defisit pangan karena berada jauh dari daerah produksi.

Saat memimpin rapat terbatas tentang antisipasi kebutuhan bahan pokok di Istana Kepresidenan Bogor (Selasa, 28/4/2020) Presiden Jokowi menyampaikan bahwa stok beras defisit di 7 provinsi, jagung defisit di 11 provinsi, cabai besar defisit di 23 provinsi, cabai rawit defisit di 19 provinsi, bawang merah defisit di 1 provinsi, telur ayam defisit di 22 provinsi, minyak goreng cukup untuk 34 provinsi, gula pasir defisit di 30 provinsi, dan bawang putih defisit di 31 provinsi.

Sektor pertanian berperan penting dalam mengurangi dampak negatif Covid-19. Pertama, penyedia lapangan kerja terbanyak. BPS (2019) menyebutkan struktur penduduk bekerja menurut lapangan pekerjaan didominasi oleh pertanian sebesar 27,33 persen, disusul perdagangan 18,81 persen; dan industri pengolahan sebesar 14,96 persen.

Jumlah angkatan kerja sektor pertanian pada 2019 sebanyak 133,56 juta orang, naik 2,55 juta orang dibanding 2018. Sayangnya, penghasilan pekerja pertanian tergolong rendah. BPS (2017) mencatat penghasilan petani padi hanya Rp 1,238 juta/bulan, jagung 1,047 juta/bulan, kacang tanah Rp 1,052 juta/bulan, ubi kayu Rp 869 ribu/bulan, kacang hijau Rp 469 ribu/bulan, dan kedelai Rp 307 ribu/bulan, jauh di bawah UMK Jawa Timur Rp 1,7-3,8 juta/bulan. Penghasilan yang rendah ini merupakan salah satu penyebab generasi muda kurang tertarik bekerja di sektor pertanian. Jumlah petani muda berusia di bawah 34 tahun hanya 8,66%, sedangkan petani tua berusia lebih dari 55 tahun 22,09%. Jumlah petani muda tersebut menyusut 3,4% per tahun, lebih cepat dibanding petani tua yang menyusut hanya 0,5% per tahun.

Kedua, sektor pertanian penghasil 11 bahan pangan strategis (beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, daging sapi dan kerbau, daging ayam ras, telur ayam ras, gula pasir, dan minyak goreng). Indonesia baru mampu berswasembada beras, jagung, bawang merah, cabai, daging ayam dan telur, dan minyak goreang, sedangkan gula, bawang putih, dan daging sapi masih harus dicukupi dari pasokan impor. Kemampuan suatu komoditas dalam memenuhi kebutuhah domestik diketahui melalui indikator SSR (Self Sufficiency Ratio). Nilai SSR beras, jagung, bawang merah, cabai, daging ayam, telur, dan minyak goreng masing-masing sebesar 95,86%, 98,48%, 99,98%, 96,75%, 99,90, 99,91%, dan 321,66%. Nilai SSR tersebut menunjukkan bahwa Indonesia telah berswasembada on-trend beras, jagung, bawang merah, cabai, daging ayam dan telur. Pengertian swasembada on-trend adalah minimal 90 persen kebutuhan pangan dipenuhi dari produksi domestik, sedangkan 10 persen sisanya dipenuhi dari impor ketika pasokan dalam negeri tak mencukupi. Daging sapi, gula, dan bawang putih masing-masing memiliki nilai SSR 83,23%, 32,02%, dan 4,5%. Nilai SSR tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih bergantung pada pasokan komoditas impor daging sapi 16,77%, gula 67,98%, dan bawang putih 95,5% dari kebutuhan dalam negeri. Selama lima tahun terakhir (2015-2019) defisit neraca perdagangan pangan sekitar US$ 6,84 milyar per tahun. Ini berarti sebanyak Rp 95,76 trilyun devisa negara terkuras untuk mengimpor pangan setiap tahun.

Strategi dasar untuk memperkuat kontribusi sektor pertanian pada era new normal dan selanjutnya adalah mengalokasikan anggaran pembangunan yang besar dan meningkat untuk sektor pertanian. Anggaran pertanian terus mengalami penurunan dari selama enam tahun terakhir. Pada 2015 adalah yang tettinggi yaitu Rp 32,72 triliun, turun menjadi Rp 27,72 triliun (2016), Rp 24,23 triliun (2017), Rp 23,90 triliun (2018) dan Rp 21,71 triliun (2019), dan terbaru Rp 21,05 triliun (2020). Anggaran pertanian tersebut hanya 0,77% dibanding total APBN 2020 sebesar Rp 2.613,81 triliun.

Anggaran tersebut sangat jauh dibawah era Orde Baru yang mengalokasi anggaran pertanian hingga 17% dari APBN. Dengan dukungan anggaran pembangunan pertanian yang besar, maka sektor pertanian dapat berperan secara signifikan dalam mengurangi dampat negatif pandemi Covid-19 terhadap perekonomian dan ketahanan pangan.

———– *** ———–

Tags: