Kontroversi Esensi Buku Pelajaran

Asri Kusuma DewantiOleh :
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar Lembaga Bahasa Universitas Muhammadiyah Malang

Dunia pendidikan kembali dihebohkan dengan terbitnya buku kontroversial. Buku pelajaran Sekolah Dasar beberapa kali menjadi bahan perbincangan dan dikecam publik karena isinya yang kontroversial. Di dalam Buku Kerja Siswa pernah menyelip kisah porno, foto bintang porno Maria Ozawa, gambar kartun Nabi Muhammad sampai cerita Bang Maman dengan istri simpanan.
Cerita “nyeleneh” dalam pelajaran siswa SD pun berlanjut. Kali ini beredar buku di Malang, berita Jatim menulis, Buku Kerja Siswa tematik 4 kelas 5 SD semester I memuat kata pelacur. Dalam buku yang didistribusikan oleh Dinas Pendidikan Kota Malang itu berkisah tentang seorang ibu tiga anak dan suaminya meninggal di halaman 34.
Melalui topik ayo menambah wawasan dibeberkan berbagai macam bentuk tanggungjawab, mulai dari tanggungjawab terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dan tanggung jawab terhadap tuhan. Dalam tanggung jawab terhadap keluarga dicontohkan tanggung jawab yang harus dipikul ibu rumah tangga dengan tiga anak yang harus menjadi orang tua tunggal setelah suaminya meninggal.
Kutipan kalimat itu antara lain “seorang ibu hidup dengan tiga anak, karena suaminya meninggal, dia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya, walaupun harus menjadi pelacur sekalipun. Karena demi memberikan kehidupan dan bertanggung jawab atas ke tiga anaknya”.
Minimnya Pengkajian Ulang
Lolosnya kata-kata atau bahasa pornografi di dalam buku pelajaran anak sekolah dasar, setidaknya telah menunjukkan bahwa pihak dinas pendidikan dan sekolah yang bersangkutan tidak pernah belajar bahasa anak. Realitas itu tidak harus terjadi jika sebelumnya ada proses melalui kaji ulang buku teks, sampai guru bisa meyakini tak ada materi yang meracuni dan merusak kejiwaan siswa.
Hal itu harus menjadi perhatian penting bagi pihak sekolah dan dinas pendidikan, mengingat buku teks dalam dunia pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Buku teks standar atau buku tiap cabang studi, terdiri atas buku pokok/utama dan suplemen/tambahan. Buku tersebut memang dirancang dipakai di kelas sehingga penyusunannya pun melibatkan pada ahli, di samping dilengkapi dengan sarana pengajaran yang sesuai.
Di samping itu, harus dapat memotivasi siswa. Hal lain yang tidak kalah penting, wajib memperhatikan aspek-aspek linguistik sehingga sesuai dengan kemampuan pemakainya. Sebagai modul dan sumber pembelajaran, substansi buku itu dapat mentransformasikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan berkait kompetensi dasar yang diajarkan. Karena itu, materi mengandung penyajian asas-asas tentang subjek tersebut.
Buku teks yang baik harus bisa menarik minat siswa sehingga ilustrasi yang digunakan pun harus terlihat menarik, sehingga dalam proses pembelajaran di sekolah, buku itu harus bisa meningkatkan perhatian dan motivasi belajar siswa. Selain itu, memberikan struktur yang lebih memudahkan belajar siswa, menyajikan inti informasi belajar, memberikan contoh lebih konkret, merangsang berpikir analitis, dan mengondisikan situasi belajar tanpa tekanan.
Begitupun bagi guru dan siswa, buku itu merupakan salah satu bahan ajar yang signifikan dalam mencapai kompetensi dasar tiap mata pelajaran. Untuk mengoptimalkan peran itu, Kemendibud menetapkan kelayakan buku tersebut. Kementerian membagi buku tersebut dalam 3 jenis, yaitu buku pengayaaan, referensi, dan buku panduan untuk pendidik.
Adapun menyangkut legalitas formal kelayakannya menjadi ranah Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud. Buku yang tidak memenuhi syarat dan secara otomatis tidak lolos seleksi, tidak bisa digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah.
Langkah protektif
Sebuah keironian yang mengundang keprihatinan kolektif bahwa meski sudah melewati sejumlah tahapan seleksi ketat oleh tim, realitasnya masyarakat masih menjumpai buku sekolah yang berbau pornografi, termasuk ada kalimat yang tidak pantas. Kejadian ini benar-benar menggambarkan bahwa masih sangat minimnya pengkajian ulang terhadap esensi buku sebagai langkah protektif terhadap esensi buku selama ini. Sejatinya, guru dapat melakukan langkah antisipatif atau protektif, supaya buku tidak layak baca tersebut lolos baca pada siswanya. Langkah-langkah yang bisa dilakukan di antaranya:
Pertama, kepala sekola dengan guru dari semua lini pelajaran yang duduk bersama mau melakukan pengkajian ulang sebelum buku sampai di tangan peserta didik. Hal ini menjadi penting adanya, karena ekspresi tulisan yang disampaikan dalam setiap buku ajar menjadi poin penting guna menghindari salah tafsir atau kekeliruan pemahaman.
Kedua, setelah guru berusaha mencermati atau meneliti ekspresi tulisan dalam buku, selajutnya guru juga harus memahami kriteria, yang mencakup kompetensi yang relevan dengan profil kemampuan tamatan. Tingkat keterbacaan, baik dari segi kesulitan bahasa maupun substansi, harus sesuai dengan tingkat kemampuan pembelajar.
Ketiga, menghadirkan tim editor yang ditunjuk dari penerbit buku guna bisa mempertanggungjawabkan kemungkinan kesimpangsiuran perbedaan pemaknaan atau artikulasi bahasa. Hal ini penting adanya, karena bagaimanapun juga harapannya penerbit itu tahu segmen pembacanya. Pembaca sasaran dapat dibedakan paling umum adalah dari tingkat usia, kemudian ada juga yang dibedakan dari tingkat pendidikan atau latar belakang pendidikan, latar belakang sosial-budaya, dan juga dari sisi gender. Adalah sebuah kelaziman jika naskah yang diajukan penulis ke penerbit sudah menetapkan pembaca sasaran yang dituju secara spesifik.
Keempat, pemerintah melalui dinas pendidikan harus mengawasi penerbit atau percetakan yang mencetak buku-buku pendidikan. Hal ini mengingat pendidikan adalah suatu yang vital untuk membentuk karakter dan kecerdasan generasi muda sehingga muatan-muatan dari isi buku harus benar-benar mengacu pada kaidah-kaidah pendidikan nasional.
Merujuk dari keempat langkah antisipatif atau protektif tersebut, dapat kita simpulkan bahwa keteledoran pembagian buku dan ketidaktepatan penggunaan bahasa dalam proses penerbitan buku melibatkan: guru yang sekaligus bisa sebagai penilai buku, penulis, dan penerbit. Agar hal ini tidak terjadi lagi dan tidak menjadi pembiaran terhadap industri buku, besar harapan agar guru bersama dinas pendidikan pemerintah harus mengawasi penerbit dan percetakan, terutama dari SDM, karena sudah  kesekian kalinya lembaga pendidikan kita kebobolan bahasan pornografi yang menumpang dalam buku pelajaran anak sekolah dasar. Realitas ini, seolah-olah menunjukkan bahwa pihak dinas pendidikan dan sekolah yang bersangkutan tidak pernah belajar dari kasus-kasus yang ada.
Demi profesionalitas dan kualitas pendidikan bangsa ini, mari melalui pilar-pilar pendidikan kita sinergikan peran pendidikan bersama pemerintah, peran orangtua, dan lingkungan benar-benar menjadi tanggung jawab bersama yang harus kita wujudkan demi terlahirnya anak bangsa yang bermoral dan berkarakter.

                                                                                                       ——————- *** ——————-

Rate this article!
Tags: