Konvensi Semu, Pilih Oposisi

Untitled-1 copyOleh:
M. Amir HT
Peneliti Kebijakan Publik Balitbang Provinsi Jatim
Etika merupakan pelajaran sistematis mengenai persoalan-persoalan yang paling utama dan terutama dari tindakan manusia (human conduct). Di dalamnya terkandung hal yang bersifat universal, yang membedakannya dengan sopan santun yang kebanyakan bersifat lokal. Ada dua kata kunci yang perlu dan tidak dapat dilepaskan dalam upaya memahami etika., yakni karakter dan kebiasaan. Di dalam kedua kata itulah termasuk pengertian dan perumusan mengenai etika. Jika pengertiannya lebih menekankan pada tingkah laku manusia maka akan dikatakan etika itu adalah pengetahuan mengenai perilaku : ethics is the science of behaviour (Emil Bruner: The Divine of Imperative, 1947, P. 83). Jika kecenderungannya pada nilai-nilai yang membentuk kepribadian (karakter), maka etika akan disebut sebagai ajaran menyangkut karakter manusia (doctrine of human character).
Etika politik berupaya membahas prinsip-rinsip moral dasar kenegaraan modern. Bukan etika kelakuan politisi yang dibicarakan. Pandangan-pandangan dasar tentang bagaimana harkat kemanusiaan dan keberadaban kehidupan masyarakat dapat dijamin berhadapan dengan kekuasaan modern. Sebagai ilmu dan Cabang filsafat Etika politik lahir di Yunani di saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk. Melihat keambrukan itu muncul pertanyaan bagaimana seharusnya masyarakat ditata. Legitimasi kekuasaan raja dalam tatanan hirarkis kosmos tidak lagi diterima begitu saja. Legitimasi-legitimasi tradisional kehilangan daya pikaktnya. Legitimasi tatanan hukum, negara dan hak raja untuk memerintah masyarakatnya dipertanyakan. Etika politik pada prinsipnya mengarah pada prinsip-prinsip moral yang harus mendasari penataan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan.
Usai  perhelatan pemilu legislatif, fokus perhatian politik nasional menjadi banyak. Selain isu permainan surat suara, koalisi, dan siapa saja yang menjadi capres, cawapres, ada satu fokus perhatian politik yang begitu menggelitik. Yakni, bagaimana nasib konvensi calon presiden Partai Demokrat. Kendati petinggi Demokrat sudah menjelaskan tetap meneruskan konvensi, masih banyak pertanyaan yang menggantung. Dengan perolehan suara di bawah 10 persen, jelas Partai Demokrat harus berkoalisi dalam pilpres mendatang. Tapi, di sisi lain, bila konvensi tidak segera dipercepat, itu tentu menjadi bumerang buat Partai Demokrat sendiri. Sebelas peserta konvensi adalah orang-orang terpilih, yang kemampuannya di atas rata-rata kemampuan masyarakat Indonesia.
Ada Menteri BUMN Dahlan Iskan, yang dikenal dengan sentuhan Midas-nya; ada Dino Pati Djalal, yang kemampuan diplomatiknya tidak usah diragukan lagi; Anies Baswedan, yang muda dan cerdas; serta sederet nama dengan prestasi hebat masing-masing. Menggantung konvensi sedemikian lama sama dengan menjadikan sebelas orang hebat tersebut seperti Gareng-garengan (Gareng = nama punakawan) di panggung politik. Apalagi pemenang konvensi itu tidak di-endorse Partai Demokrat sedemikian rupa menjadi calon presiden, akan sungguh tidak etis.
Pendidikan politik suatu bangsa akan berjalan dengan baik di dalam dan melalui proses kesadaran kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat untuk terus menerus membiasakan diri melakukan kritik dan kontrol terhadap proses politik yang sedang berjalan. Suatu bangsa atau negara, yang berjalan dalam situasi demikian, akan membiasakan dirinya terbuka dan siap melakukan perbaikan. Di samping itu, politik tidak akan menjadi suatu potret seram yang menakutkan, tetapi sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Kritik tidak akan dianggap sebagai ancaman, dan para pengritik tidak diperlakukan sebagai musuh.
Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijkannya yang salah atas desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir kebiasaan-kebiasaan yang positip yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter politik yang terbuka dan mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Kebiasaan-kebiasaan baik yang berjalan dalam pemerintahan itu, akan menjadi etika politik suatu bangsa.
Setiap penguasa jelas akan berbicara tentang kepentingan rakyat, kepentingan bangsa dan negara sebagai suatu keharusan retorika dan kampanye politik, tetapi para warga sebaiknya awas bahwa kepentingan pertama penguasa adalah mempertahankan, memperbesar dan memperkuat kekuasaan yang sudah dipunyainya. Orang tidak perlu membaca Machiavelli untuk memahami hal ini, karena pengalaman langsung akan selalu membuktikannya. Karena itu sejauh mana kekuasaan itu dipergunakan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat jelas tidak dapat dipercayakan begitu saja kepada penguasa tetapi kepada pihak-pihak yang bertugas dan berwajib mengawasi kekuasaan. Ini realisme politik elementer, yang kalau diabaikan, akan membawa kita langsung kembali ke situasi politik ala Orde Baru.
NAMUN demikian, oposisi rupanya dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan. Oposisi diperlukan juga karena apa yang baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik yang terbuka dan publik. Adalah naif sekali sekarang ini untuk masih percaya bahwa pemerintah bersama semua pembantu dan penasihatnya dapat merumuskan sendiri apa yang perlu dan tepat untuk segera dilakukan dalam politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan kebudayaan pada saat ini.
Di sanalah oposisi dibutuhkan sebagai semacam advocatus diaboli atau devil’s advocate yang memainkan peranan setan yang menyelamatkan kita justru dengan mengganggu kita terus-menerus. Dalam peran tersebut oposisi berkewajiban mengemukakan titik-titik lemah dari suatu kebijaksanaan, sehingga apabila kebijaksanaan itu diterapkan, segala hal yang dapat merupakan efek sampingan yang merugikan sudah lebih dahulu ditekan sampai minimal. Tragedi-komedi dalam politik Orde Baru adalah bahwa oposisi hanya dipandang sebagai devil (setan) dan tidak pernah diakui sebagai advocate (pembela).
Manfaat lainnya adalah bahwa dengan kehadiran oposisi masalah accountability atau pertanggungjawaban akan lebih diperhatikan pemerintah. Tidak segala sesuatu akan diterima begitu saja, seakan-akan dengan sendirinya jelas, atau beres dalam pelaksanaannya. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijaksanaan diambil, apa dasarnya, apa pula tujuan dan urgensinya, dan dengan cara bagaimana kebijaksanaan itu akan diterapkan.
Oposisi tidak saja bertugas memperingatkan pemerintah terhadap kemungkinan salah-kebijaksanaan atau salah-tindakan (sin of commission), tetapi juga menunjukkan apa yang harus dilakukannya tetapi justru tidak dilakukannya (sin of omission). Adalah kewajiban oposisi untuk melakukan kualifikasi apakah sesuatu harus dilakukan, atau tidak harus dilakukan, atau malahan harus tidak dilakukan sama sekali.
Jika kita melihat fenomena dewasa ini, sistem pemerintahan Indonesia di warnai dengan sikap oposisi yang diambil partai demokrasi perjuangan PDIP  yang merupakan salah satu partai besar di Indonesia hal ini menyebabkan perubahan yang cukup derastis karena sebelumya oposisi merupakan sebuah kata tabu/dilarang disebut dalam sistem pemerintahan di Indonesia selain itu kostitusi kita belum mengatur oposisi dalam pemerintahan Indonesia .
Ini menjadi dilema ketika keberdaan oposisi dalam sistem pemerintahan Indonesia, belum diakui secara konstitusional disisi lain keberadaan oposisi sangat di butuhkan ketika koalisi yang digalang partai poros pemerintah menimbulkan ketidak seimbanagan kekuatan fraksi-fraksi dalam legislatif menimbulkan kehawatiran menimbulkan over power pemerintah karena legislative yang seharusnya menjadi pengawas kebijakan pemerintah justeru menjadi alat legalisasi presiden dalam bertindak, dilema ini didak semata-mata karena situasional tetapi saya melihat justeru sistemik meyebabkan hal ini dapat kita analisis dalam lagi dalam Calon Pilper 2014, yang menetap Jokowin dan JK yang diusung oleh partai koalisinya, sedan Probowo dan Hatta, juga diusung oleh partai koalisinya; Penentunya: Presiden di-tangan Rakyat, di-atas kedaulatan rakyat.

———— *** ————

Rate this article!
Tags: