Kopertis Dihapus, Pembinaan PTN-PTS Disatukan

Koordinator Perguruan Tinggi SwastaSurabaya, Bhirawa
Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) bakal dihapus oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Sebagai gantinya dibentuklah Badan Layanan Perguruan Tinggi. Badan ini bersifat lebih umum karena akan menaungi swasta dan negeri.
Terkait penghapusan Kopertis, Menristekdikti Muhammad Nasir menyatakan, pihaknya tidak ingin membeda-bedakan antara PTS dengan PTN. Selain itu, dia juga menyebut bahwa ini dilakukan untuk optimalisasi lembaga pemerintahan yang ada di wilayah.
“Kita akan ubah Kopertis jadi lembaga layanan PTN dan PTS yang buka setiap hari kerja Senin sampai Jumat. Bukan hanya hari-hari tertentu saja,” ujarnya saat menghadiri wisuda Universitas Sunan Giri (Unsuri) Surabaya di Islamic Centre, Sabtu (22/11) lalu.
Dengan langkah ini, menurut dia koordinasi perguruan tinggi akan lebih mudah.
Tidak hanya itu, ke depan, Nasir juga ingin agar setiap perguruan tinggi besar baik negeri maupun swasta memiliki perguruan tinggi kecil binaan.
Strategi ini ditujukan agar tidak ada kesenjangan antara perguruan tinggi yang kecil dan besar. Serta perguruan tinggi kecil yang baru beridiri bisa melangkah lebih cepat untuk berkembang. “Dengan sistem binaan ini, untuk operasionalnya PTN dan PTS akan dibiayai negara,” imbunya
Lebih lanjut, dengan menyatunya Dikti dengan Kemenristek, Nasir menjanjikan bahwa produk inovasi hasil karya perguruan tinggi akan dioptimalkan keberlanjutannya. Salah satu langkah yang kini disiapkan Nasir adalah dirinya sedang mengupayakan untuk menghubungkan perguruan tinggi dengan dunia usaha.
“Para rektor PTN dan PTS di seluruh Indonesia sudah saya panggil di Jakarta untuk berkoordinasi masalah ini. Terutama mewadahi karya inovasi perguruan tinggi yang layak diproduksi secara massal,” tutur Nasir.
Sementara  Wakil Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Budi Djatmiko mengatakan, sebenarnya penghapusan Kopertis menjadi badan layanan sudah tertuang dalam UU No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
Namun, jika saat ini akan mendirikan badan baru, maka kebutuhan anggarannya bakal tinggi. “Makanya, lebih baik digabung jadi satu antara negeri dan swasta dalam sebuah badan yang sudah ada,” kata dia saat dihubungi, Minggu (23/11).
Sebelum badan itu dibentuk, pihaknya mengusulkan agar Kemenristekdikti lebih dulu mengubah nomenklatur menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi. Menurut Budi, perubahan ini cukup vital karena terkait kucuran anggaran yang diberikan pemerintah kepada kementerian.
Dia menjelaskan, saat Dikti masih berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) diberi anggaran sebesar Rp 62 triliun. Padahal, karyawan di Dikti kurang lebih 300 orang. Di sisi lain, Kemenristek hanya dialokasikan anggaran Rp 8 triliun dengan jumlah karyawan sebanyak 1.500.
Budi mengaku khawatir bila di dalam nomenklatur kata Ristek diletakan di depan, maka anggaran Kemenristekdikti menjadi rendah. Berbeda saat Dikti diletakkan sebelum Ristek.
“Kalau anggaran rendah, maka perguruan tinggi swasta (PTS) bakal semakin diabaikan. Maka dari itu, antara bulan November sampai Desember ini kami usulkan supaya Kemenristekdikti ganti nomenklatur terlebih dahulu,” ujar dia.
Waktu Dikti berada di Kemendikbud saja, lanjut dia, hampir 90 persen anggaran beasiswa Bidikmisi diberikan kepada perguruan tinggi negeri (PTN). Sisanya yang 10 persen baru untuk swasta. Ketimpangan ini tidak boleh terjadi kembali saat Dikti digabung dengan Kemenristek.
“Apalagi nanti ada badan layanan yang menangani PTN dan PTS, jangan sampai tetap terjadi ketimpangan. Padahal, PTS itu penyumbang 2/3  Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia,” tegasnya. [tam]

Tags: