Korupsi Berjamaah Proyek e-KTP

Oleh :
Salahudin, SIP, MPA
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang,Alumni College of Local Administration-COLA, Khon Kaen University, Thailand)

Babak baru kasus korupsi E-KTP kembali mengejutkan publik. Kasus korupsi E-KTP mulai terungkap pada tahun 2011 lalu, kemudian kasus tersebut sempat sunyi dalam pemberitaan media. Namun, baru-baru ini publik kembali dikejutkan dengan gerakan politisi dan sejumlah pihak lain mengemblikan uang hasil rampasan dari mega proyek E-KTP kepada negara. Mencuaknya gerakan tersebut menunjukkan bahwa korupsi berjamaah berlangsung masif di negeri ini dan integritas politisi masih jauh dari harapan publik. Istilah korupsi berjamaah adalah ditunjukkan pada tindakan penjarahan kekayaan negara yang dilakukan secara bersama oleh pihak-pihak yang memiliki peran, kewenangan, dan akses dalam menentukan keputusan, kebijakan, dan kontrak proyek-proyek negara. Korupsi berjamaah rentan terjadi dalam proses politik demokrasi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan proyek-proyek pemerintah.
Proyek E-KTP melibatkan banyak pihak mulai pada tahap perencanaan program, penentuan anggaran, dan penunjukkan tender proyek tersebut. Setiap tahap-tahap tersebut diwarnai proses transaksi politik korupsi antara pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak tersebut melakukan tawar menawar kepentingan yang kesemuanya mengarah pada pertimbangan rasional (rational choice) yakni pertimbangan yang saling menguntungkan pihak-pihak yang terlibat.
Berdasarkan undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, pihak yang berperan aktif pada tahap perencanaan adalah kementerian terkait. Dalam hal ini, kementerian terkait menyusun program E-KTP dan memasukannya kedalam Rancangan Kegiatan Anggaran Kementerian, Kebijakan Umum Anggaran (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS).
Pada tahap selanjutnya, kementerian terkait menyampaikan program E-KTP kepada DPR RI untuk dibahas, didiskusikan, dan ditetapkan sebagai bagian dari Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN). Dalam tahap ini, kementerian terkait dan DPR memungkinkan berlangsungnya tawar menawar kepentingan pragmatis yang mengarah pada tindakan korupsi.
Kementerian, demi memuluskan proyek tersebut, melobi anggota DPR yang terkait untuk mensukseskan dan mengawal proyek itu agar menjadi bagian dari APBN. Sebaliknya, anggota DPR yang terkait melakukan negosiasi kepada kementerian agar mereka mendapatkan bagian (keuntungan) dari proyek tersebut. Transaksi politik seperti ini hal yang sudah menjadi bagian dari kebiasaan politik pemerintah dan DPR dalam merumuskan dan menetapkan proyek-proyek negara.
Perilaku korupsi tidak berhenti pada tahap tersebut, justru berlanjut pada tahap selanjutnya yaitu tahap pengadaan proyek. Pada tahap ini, pemerintah melakukan pengadaan proyek secara terbuka kepada swasta (perusahaan). Kemudian, perusahan-perusahan melakukan penawaran proyek sesuai kriteria atau standard yang ditetapkan oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. Dalam tahap ini, sangat riskan terjadi transaksi koruptif antara swasta, pemerintah, dan politisi.
Perusahaan dalam proses penawaran proyek melakukan lobi-lobi politik kepada pemerintah-kementerian terkait dan politisi-politisi yang memiliki kewenangan langsung dengan proyek yang dituju. Pada umumnya, bentuk-bentuk lobby politik yang dilakukan para pengusaha adalah, pertama, perusahaan melobi pemerintah dengan menggunakan para mafia proyek di mana mereka pada umumnya berprofesi sebagai politisi dan “aktivis” pencari proyek.
Para pengusaha menjadikan meraka ini sebagai jembatan yang menghubungkan mereka dengan pemerintah dan politisi senayan (DPR). Melalui jasa mereka ini, pengusaha dapat bertemu pemerintah terkait untuk membicarakan dan menentukan kesepakatan korupsi dan nepotsime di antara mereka. Tentu saja, jasa-jasa mereka tadi dibayar mahal oleh
para pengusaha secara baik langsung (uang muka) dan tidak langsung (uang dari bagian dari anggaran proyek).
Kedua, perusahaan melobi pimpinan partai politik yang sedang mengusai instansi pemerintahan. Dalam lobi bentuk kedua ini, umumnya, para kontraktor (perusahaan) telah membangun komunikasi politik dengan pimpinan partai politik jauh sebelum proyek-proyek ditetapkan dan ditenderkan secara terbuka.
Dalam konteks ini, pengusaha pemilik perusahaan telah melakukan investasi politik kepada pimpinan partai politik dalam bentuk memberi dukungan finansial kepada partai politik sebagai amunisi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan politik pada saat pelaksanan pemilihan umum. Bentuk lobby seperti ini jauh lebih efektif dan tepat sasaran dibandingkan bentuk lobi pertama, namun biaya yang dikeluarkan pengusaha jauh lebih tinggi dibandingkan biaya bentuk lobi pertama.
Tujuan lobi-lobi politik yang dilakukan para swasta di atas adalah untuk mendapatkan mega proyek negara yang menguntungkan mereka secara ekonomi politik. Melalui lobi-lobi yang dilakukan, para pengusaha mendapatkan mega proyek yang menjadi sasaran mereka. Konsekuensinya, lobi-lobi politik tersebut berdampak pada kerugian negara secara
finansial.
Tentu saja, capaian para pengusaha tersebut membutuhkan modal yang sangat tinggi, di mana nantinya para pengusaha dapat mengembalikan modal tersebut dari pengelolaan anggaran proyek negara. Demi mengembalikan modal yang telah dikeluarkan, para pemenang tender mengelola proyek negara secara tidak wajar (tidak sesuai standard peraturan perundang-undangan). Karena itu, dalam pelaksanaan proyek muncul berbagai macam persoalan disebabkan dari minimnya profesionalitas para pemenang tender diakibtakan manajemen proyek berbasis lobi-lobi politik korupsi. Nampaknya proses terjadinya korupsi mega proyek tersebut adalah juga diakibatkan secara langsung oleh lobi-lobi politik korupsi seperti digambarkan di atas.  Berdasarkan data yang dirilis KPK, pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi E-KTP adalah pihak kementerian terkait, anggota DPR, pengusaha, dan aktor penjembata komunikasi politik korupsi antara pengusaha, pemerintah-kementerian terkait, dan sejumlah politisi DPR.
Dari profesi pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi E-KTP tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa korupsi tersebut telah berlangsung sejak proyek E-KTP direncanakan dan ditetapkan sebagai bagian dari kebijakan APBN 2011, kemudian proses korupsi tersebut berlangsung pada tahap pengadaan/penawaran proyek dan pergerakan korupsi E-KTP terungkap pada proses realisasi proyek, pada akhirnya akibat perilaku korupsi tersebut negara  mengalami kerugian sebesar Rp 2,3 trilliun atau sekitar 49% dari total anggaran proyek E-KTP senilai 5,9 trilliun.
Satu hal penting yang bisa disimpulkan dari kasus mega korupsi E-KTP adalah bahwa tindakan korupsi berjamaah berlangsung secara massif dan sistimatis dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan APBN sebagai sebuah kebijakan strategis bagi eksistensi negara Indonesia. Diyakini, berdasarkan fenomena korupsi yang berhasil diungkap KPK akhir-akhir ini, termasuk korupsi proyek E-KTP, korupsi berjamaah adalah sebuah fenomena buruk yang terus belangsung pada setiap penyusunan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan anggaran (APBN/APBD).
Tentu saja, fenomena buruk ini menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia menuju ke arah yang lebih baik sebagaimana yang dicita citakan dalam nawa cita pemerintah Indonesia. Karena itu, korupsi harus dilawan dan disingkirkan melalui gerakan politik moral dari semua pihak seperti penegak hukum, masyarakat sipil, dan media secara serius, sistimatis, dan berkelanjutan.

                                                                                                ———– *** ————–

Rate this article!
Tags: