Korupsi dan Gagalnya Sistem Pendidikan

Oleh :
Moh Rofqil Bazikh
Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga. Menetap di Garawiksa Institue Yogyakarta.

Setelah sebelumnya Edy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan diciduk, tren buruk ini kembali berlanjut dengan ditangkapnya Juliar Batubara. Sebagaimana diketahui, ia menduduki posisi Menteri Sosial, meski Juliar Batubara bukan Menteri Sosial pertama yang berurusan dengan Komisi Pemberantas Korupsi(KPK).

Pendahulunya ada Idrus Marhan dan Bachtiar Chamsyah yang lebih awal merasakannya. Fenomena tersebut sekaligus menjelaskan bahwa, praktik korupsi masih menduduki problem yang belum sepenuhnya teratasi. Selama ini upaya-upaya yang sudah dilakukan tidak pernah ampuh menghentikan gerak gesit dari para koruptor.

Hal ini diperparah dengan jumlahnya yang tidak sedikit, setiap tahun tidak terlihat pengurangan yang signifikan. Praktik-praktik demikian begitu jelas di sekitar kita dari elemen pemerintah tertinggi sampai elit akar rumput. Tidak ada yang bisa menolak hal-hal yang demikian, saking nyatanya dan banyakanya.

Dalam sebuah cerpennya, Agus Noor dengan ungkapan yang satire dan jenaka mengungkapakan, bahwa koruptor adalah aset berharga negara sehingga ia tidak boleh dipenjara. Kalau koruptor dipenjara, bisa-bisa tidak ada lagi yang mau mengatur rakyat karena tidak ada orang yang duduk di tatanan kepemerintahan. Atau lebih tepatnya di tatanan Kabinet Indonesia Maju yang dinahkodai Joko Widodo dan kawan-kawan.

Sebagaimana diungkapkan Wana Alamsyah salah seorang peneliti Indonesia Corruption Watch(ICW), selama semester pertama tahun 2020-antara Januari sampai Juni-terdapat 169 kasus korupsi. Ini tidak boleh angka yang dianggap kecil, bagaimana pun tidak sedikit pula kerugian yang dialami. Penyelewengan demi penyeleweng ini pula yang harus mendapat perhatian yang lebih dan tentu beragam cara penanganannya.

Di sisi lain, dalam perspektif saya, ada kegagalan-kegagalan yang fundamental. Salah satu yang bisa disebut adalah kegagalan pendidikan di negara kita. Memang realita yang tampak di depan mata, bahwa pendidikan di negara ini tidak maksimal. Meski, itu bukan akar dari seluruh masalah korupsi, tetapi korupsi mencerminakan kegalalan pendidikan itu sendiri. Pendidikan seringkali hanya sebuah konsepsi tentang transfer ilmu pengetahuan. Esensi dari pendidikan itu sendiri tidak pernah terlambangkan dalam orang-orang yang-secara formal-berpendidikan tinggi. Sebagaimana jamak diketahui, esensi dari pendidikan itu sendiri adalah membentuk insan kamil dan implementasi dengan perantara akal sehat atau common sense(Abdurrhaman Mas’ud, 2020).

Di tengah wabah corona yang memang tidak teratasi dengan baik, masih ada orang-orang yang dengan tidak sadar diri justru memanfaatkannya. Betapa kepekaan terhadap sosial seketika juga hilang, meski mereka sendiri duduk di Menteri Sosial. Kepentingan individualistik malah menenggelamkan kepentingan banyak orang. Hasrat yang memuncak dan tidak bisa ditahan, malah mengorbankan hidup orang lain yang masih digantung sebab dampak pandemi ini.

Pendidikan hari ini yang tidak maksimal jelas terlihat dari praktik di lapangan. Semua sepakat bahwa pratik korupsi itu tidak baik atau bahkan merusak tatanan kehidupan. Tetapi prestasi korupsi sama sekali tidak berkurang, artinya pendidikan yang diterima hanyalah sebuah konsepsi dan wacana. Tidak ada nilai meteriel yang bisa dirasakan. Hanya sebatas konsep tidak lebih. Kalau demikian, tidak ada yang bisa diharapkan dari sistem dan realita pendidikan.

Kesadaran terhadap hal demikian harus terus kembali dikumadangkan sebagai sebuah usaha. Meski pada akhirnya saya tetap skeptis terhadap puncak dari pendidikan itu atau pada ranah implementasinya. Wacana-wacana dari seluruh pelajaran dan pendidikan yang sudah digembleng di sekolah hanya akan menemui esensinya di tahap praktik. Semisal, konsepi-konsepsi tidak bisa diimplementasikan, maka seketika itu pula pendidikan menjadi hal yang gagal dan nonsens.

Kesadaran koletif juga sangat diperlukan, tidak hanya satu orang saja yang sadar terhadap hal yang demikian. Minimal ada banyak orang sadar daripada orang yang tidak sadar. Jangan kemudian memperparah dengan ikut dan pura-pura tidak sadar terhadap fenomena sekitar. Ada banyak permasalahan pokok yang mendasari lahirnya sebuah fenomena yang dinggap buruk. Maka, sesuatu yang mendasari atau menjadi penyebab tersebutlah yang harus diatasi lebih dulu.

Akhirnya, semua kembali kepada yang berwajib atas itu semua. Tetapi kesadaran individual dan kolektif tetap harus dirawat. Kewarasan-kewarasan harus tetap melekat di dalam diri di tengah banyaknya orang yang tidak sadar diri dan esensi.

Tags: