Korupsi dan Hukum Kekuasaan Elite

Refleksi Hari Anti Korupsi Sedunia, 9 Desember 2021

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Korupsi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Penulis buku : Korupsi, Demokrasi, dan Keadilan (2021)

Hari ini warga dunia memperingati hari Anti Korupsi Sedunia, dengan mengusung tema “Hak Anda, Peran Anda: Katakan Tidak pada Korupsi”. Tema ini lahir seiring dengan masih maraknya kasus-kasus korupsi yang melanda negara yang sedang membangun. Korupsi adalah benalu bagi pembangunan dan demokrasi suatu negara. Karena itu, dalam peringatan ini, tema ini semakin menegaskan bahwa semua stakholders, baik kalangan pemerintah, sektor swasta, media, masyarkat sipil, akademisi, dan seluruh anak bangsa memiliki peran dan tanggung jawab dalam menangggulangi dan memberantas korupsi. Dukunagn dan partisipasi aktif dari semua pihak, termasuk masyarakat luas sangat diharapkan dalam agenda perang melawan korupsi di Indonesia.

Saat ini, negeri yang sudah merdeka 76 tahun ini, belum juga terbebas dari kasus-kasus korupsi. Negeri dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah ini, saat ini masih didera dan oleh kasus-kasus korupsi. Berbagai kasus korupsi terjadi di negeri ini, baik pada level pusat, maupun daerah, baik melibatkan pejabat pusat, maupun pejabat daerah. Korupsi sudah menggurita mulai Sabang sampai Merokai. Mengguritanya korupsi, Buya Safi’i Ma’arif pernah mengatakan; “korupsi sudah sedemikian kuat membelenggu kita, mulai istana sampai ke kantor kelurahan, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet”.

Saat ini negeri ini didera dan disandera oleh kasus-kasus korupsi besar yang muaranya tarkait dengan poros kekuasaan. Korupsi yang melibatkan orang-orang besar dengan power dan pengaruh besar, dan dengan nilai kerugian yang sangat sangat besar. Terkait dengan kerugian, potensi kerugian Negara dari praktik korupsi lebih besar dari hitungan KPK. Berdasarkan hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2009 hingga 2010 misalnya, sekitar Rp132 triliun uang negara terindikasi dikorupsi. Selain itu, sangat banyak laporan berbagai lembaga yang dinilai tidak wajar. Ada sekitar 48 laporan lembaga yang dinyatakan tidak wajar dan 106 dinyatakan disclaimer 106. Beberapa kasus mega korupsi yang belum tuntas di antaranya skandal Bank Century dengan dugaan kerugian negara sebesar Rp 7,4 triliun, skandal BLBI Rp 2.000 trilyun, skadal E-KTP Rp 2,3 triliun, penerbitan SIUP Kota Waringin Rp 5,8 triliun dan 711 ribu US$, korupsi kondensat Rp 35 triliun, skandal PT. Asabri 16 triliun, skandal Jiwasraya Rp 16,81 triliun, dan proyek Hambalang Rp 706 miliar.

Big corruption yang sangat memprihatinkan dan ironis adalah kasus korupsi Bantuan sosial (Bansos) dengan tersangka mantan Mensos, Juliari Batubara. Kasus ini kerugian negara ditaksir mencapai Rp 2 trilyun, dan yang paling ironis, dilakukan dalam kondisi Pandemi Covid-19. Sebuah kejahatan extra ordinary crimne yang layak dihukum maksimal, yakni hukuman mati.

Hambatan Struktural-kekuasaan

Kasus-kasus korupsi besar dengan nilai kerugian yang sangat besar tersebut, belum terselesiakan dengan tuntas. Selama ini, kasus-kaasus tersebut baru menjerat beberapa orang saja menjadi tersangka. Sementara “jejaring korupsi” yang terkait belum tersentuh. Tak tersentuhnya jejaring korupsi tak lepas dari jejaring kekausaan yang ada. Dalam beberapa kasus korupsi besar, ada dugaan keterlibatan orang-orang besar dan menduduki jabatan penting negeri ini. Kondisi ini yang selama ini menjadi hambatan psikologis dan politis bagi KPK untuk membongkar secara tuntas skandal big corruption ini. Berbagai kasus korupsi besar yang muncul memiliki pola dan karaktaristik yang hampir sama, yakni bersifat struktural, sistemik, dan massif. Kasus-kasus korupsi besar mesti melibatkan tiga aktor utama, yakni penguasa (birokrasi), politisi, dan pengusaha..

Korupsi struktural bagaikan korupsi “Laba-Laba”, melibatkan jejaringan yang cukup rumit. Tipe korupsi yang melibatkan ranah-ranah kekuasaan inilah yang menjadikan korupsi di Indonesia sulit diberantas. Banyak kepentingan politik yang bermain. Antar simpul jaringan dan jejaring kekuasaan saling melindungi dan jaga kuda-kuda. Hanya oknum kelas teri yang dikorbankan. Namun sumber dan akar korupsi tak pernah tersentuh. Secara teoritis korupsi struktural memiliki hukum kekuasaan sendiri sehingga sulit untuk diurai menggunakan hukum positif konvensional. Menurur Star dan Collier (1985:3), dalam pandangan paradigma hukum kritikal, hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi merupakan “sesuatu” yang diciptakan oleh suatu badan hukum dengan tujuan memberi keuntungan kepada sekelompok orang di atas kerugian sekelompok orang yang lain. Hukum bagi pendekatan kritik sebagai cara untuk mendefinisikan dan menegakkan tertib yang menguntungkan kelompok tertentu di atas pengorbanan kelompok lain. Sementara dalam pandangan Wallace dan Wolf (1980:99), hukum tidak dipandang sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan dijalankan oleh kekuasaan, dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata kepentingan mereka yang berkuasa.

Sementara dalam perspektif teori Marx, bahwa negara pada hakekatnya merupakan negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi dan politik. Karena itu menurut Marx, negara bukanlah lembaga tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas berkuasa untuk mengamankan kekuasaan mereka. Wajah negara seperti itu sangat kapitalis, ia berusaha menjamin dan melindungi kepentingan dan kebutuhan politik dan ekonomi elit kekuasaan, pada saat yang sama negara menindas kepentingan masyarakat kecil atau lemah. Negara dalam pandangannya Marx selalu berpihak dan mengangkat pada kelas berkuasa, dan menekan kelas bawah atau masyarakat. Negara dianggap institusi yang memiliki keabsahan secara moral dan hukum untuk berbuat apa saja, demi untuk menjamin dan melindungi kebutuhan dan kepentingan kekuasaannya (Suseno, 2003:120).

Ujian KPK

Bagi negara kekuasaan, penyimpangan dan pelanggaran oleh kelas elit kekuasaan dianggap sesuatu yang biasa karena menilai dirinya yang memiliki otoritas kekuasaan. Hukum adakah kekuasaan dan kekuasaan adalah hukum itu sendiri. Ini yang menurut Marx sebagai wajah original kekuasaan negara yang sangat kapitalistik. Hukum merupakan pencerminan kepentingan kelas yang berkuasa (Sunarto, 1993:82). Hukum dimanfaatkan sebagai instrument bagi kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dan mengembangkan kekuasaannya (Wignjosoebroto, 2002: 23). Hukum adalah representasi dari kepentingan elit yang berkuasa. berdasarkan fakta-fakta di persidangan, ada indikasi mengarah pada keterlibatan orang-raong di lingkungan istana kekuasaan.

Karena itu, dalam konteks kasus korupsi struktural, ini akan menjadi ujian dan pertaruhan bagi KPK, apakah berani dan profesional dalam menegakkan hukum tanpa tebang pilih atau terjebak dan menjebakkan diri dalam pertarungan kepentingan politis.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: