Korupsi dan Jejaring Kekuasaan

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Korupsi FISIP Univ. Wijaya Kusuma Surabaya
Negeri ini sepertinya sudah tersandera oleh kasus-kasus korupsi. Berbagai kasus korupsi terjadi di negeri ini, baik pada level pusat, maupun daerah, baik melibatkan pejabat pusat, maupun pejabat daerah. Korupsi sudah menggurita mulai Sabang sampai Merauke. Mengguritanya korupsi, Buya Safi’i Ma’arif pernah mengatakan; “korupsi sudah sedemikian kuat membelenggu kita, mulai istana sampai ke kantor kelurahan, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet”.
Di awal taun 2020 ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Tak tanggung-tamggumng, sekali beroperasi, mendapat dua pejabat penting terjaring, yakni Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah dan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Dalam OTT bupati Sidoarjo, proses penyelidikan khususnya dalam penggeledahan tempat-tempat yang ditengarahi menjadi tempat barang bukti dapat dilakukan dengan mudah. Akan tetapi, untuk kasus OTT WS, terutama salah satu tempat yang terkait dengan kasus WS, yakni kantor PDI-P, KPK menemui hambatan.
Kasus OTT komisioner KPU WS ini terkait dengan proses PAW Caleg dari PDI-P, Harun Masiku. Setelah diperiksa selama 24 jam, akhirnya KPK menetapkan WS sebagai tersangka suap dan mengamankan barang bukti uang sebesar Rp 400 juta dari politisi PDI-P Harun Masiku. Uang operasional tersebut akan digunakan sebagai biaya operasional proses PAW yang diajukan PDI-P. Suap itu untuk memuluskan jalan politiksi PDI-P, Harun Masiku agar terpilih menjadi anggota DPR RI PAW 2019-2024 menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu dari Dapil Sumatra Selatan 1.
Saat ini KPK terus melakukan penyidikan terhadap para tersangka, yang dua di antaranya adalah politisi PDI-P, yakni Harun Masiku dan Don yang memberi suap ke WS. Selain itu KPK berusaha untuk menelusuri alirana dana yang diterima WS. Dalam kasus suap ini WS diduga telah menerima uang suap dengan total Rp 600 juta.
Kasus OTT Komisioner KPU ini tentu akan menjadi titik krusial, apakah dengan dengan dijadikannya WS, dan dua politisi PDI-P, yakni Harun Masiku dan Don sebagai tersangka akan menjadi pintu pembuka atau justru menjadi pintu penutup. Artinya KPK akan mengembangkan kasus ini untuk menjerat pelaku-pelaku lainnya yang terkait ataukah, akan menjadi pintu penutup, artinya kasus ini akan berhenti pada pelaku-pelaku yang tertangkap tangan saja. Kasus ini tentu saja akan menjadi ujian cukup berat bagi KPK, mengingat kasus ini terkait dengan kader partai penguasa, yakni PDI-P, yang merupakan staf Sekjen PDI-P, Hasto Kristyanto. Dalam banyak kasus, praktik korupsi yang melibatkan jejaring kekuasaan, apalagi jejaring kekuasaan the ruling party, biasanya akan menemi hambatan dan bahkan jalan buntu.
Hambatan Struktural-kekuasaan
Kasus Hambalang, skandal Century, E-KTP adalah beberapa kasus mega skandal yang melibatkan jejaring elit kekuasaan negeri ini. pelbagai kasus korupsi yang muncul memiliki pola dan karaktaristik yang hampir sama, yakni bersifat struktural, sistemik, dan massif. Kasus-kasus korupsi besar mesti melibatkan tiga aktor utama, yakni penguasa (birokrasi), politisi, dan pengusaha. Dan juga melibatkan aparat penegak hukum itu sendiri.
Korupsi struktural yang melibatkan ranah-ranah kekuasaan inilah yang menjadikan korupsi di Indonesia sulit diberantas dengan tuntas. Banyak kepentingan politik yang bermain. Antar simpul jaringan dan jejaring kekuasaan saling melindungi dan jaga kuda-kuda. Hanya oknum kelas teri yang dikorbankan. Namun sumber dan akar korupsi tak pernah tersentuh. Secara teoritis korupsi struktural memiliki hukum kekuasaan sendiri sehingga sulit untuk diurai menggunakan hukum positif konvensional. Menurur Star dan Collier (1985:3), dalam pandangan paradigma hukum kritikal, hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi merupakan “sesuatu” yang diciptakan oleh suatu badan hukum dengan tujuan memberi keuntungan kepada sekelompok orang di atas kerugian sekelompok orang yang lain. Hukum bagi pendekatan kritik sebagai cara untuk mendefinisikan dan menegakkan tertib yang menguntungkan kelompok tertentu di atas pengorbanan kelompok lain. Sementara dalam pandangan Wallace dan Wolf (1980:99), hukum tidak dipandang sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan dijalankan oleh kekuasaan, dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata kepentingan mereka yang berkuasa.
Sementara dalam perpektif teori Marx, bahwa negara pada hakekatnya merupakan negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik. Karena itu menurut Marx, negara bukanlah lembaga tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas berkuasa untuk mengamankan kekuasaan mereka. Wajah negara seperti itu sangat kapitalis, ia berusaha menjamin dan melindungi kepentingan dan kebutuhan politik dan ekonomi elit kekuasaan, pada saat yang sama negara menindas kepentingan masyarakat kecil atau lemah. Negara dalam pandangannya Marx selalu berpihak dan mengangkat pada kelas berkuasa, dan menekan kelas bawah atau masyarakat. Negara dianggap institusi yang memiliki keabsahan secara moral dan hukum untuk berbuat apa saja, demi untuk menjamin dan melindungi kebutuhan dan kepentingan kekuasaannya (Suseno, 2003:120).
Bagi negara kekuasaan, penyimpangan dan pelanggaran oleh kelas elit kekuasaan dianggap sesuatu yang biasa karena menilai dirinya yang memiliki otoritas kekuasaan. Hukum adakah kekuasaan, dan kekuasaan adalah hukum itu sendiri. Ini yang menurut Marx sebagai wajah original kekuasaan negara yang sangat kapitalistik. Hukum merupakan pencerminan kepentingan kelas yang berkuasa (Sunarto, 1993:82). Hukum dimanfaatkan sebagai instrument bagi kelas yang berkuasa (baca: the ruling party) untuk mempertahankan dan mengembangkan kekuasaannya (Wignjosoebroto, 2002: 23). Hukum adalah representasi dari kepentingan elit yang berkuasa. berdasarkan fakta-fakta di persidangan, ada indikasi mengarah pada keterlibatan orang-raong di lingkungan pusta keuasaan. Karena itu, dalam konteks kasus korupsi structural (korupsi politik), ini akan menjadi ujian dan pertaruhan bagi KPK, apakah berani dan professional dalam menegakkan hukum tanpa tebang pilih.
———– *** ————-

Rate this article!
Tags: