Korupsi dan Pentingnya Pendidikan Kejujuran

Oleh :
Muhammad Rajab
Director of Ma’had and Islamic Studies, Tazkia International Islamic Boarding School
Korupsi merupakan kejahatan yang tidak bisa ditoleransi karena sifatnya yang merugikan banyak orang. Pemerintah telah melakukan berbagai macam cara untuk menumpas para koruptor di negeri ini. Namun hingga saat ini kasus korupsi masih saja terjadi. Jika melihat data korupsi, sepanjang 2014-2019, Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 105 kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi daerah di 22 provinsi. Dari 105 kasus itu, 90 diantaranya melibatkan bupati atau wali kota, dan 15 kasus lainnya melibatkan gubernur.
Permasalahan korupsi ini akan terus berputar jika tidak ditangani secara serius dari akarnya. Penangkapan dan penanganan terhadap semua kasus korupsi yang telah dilakukan oleh KPK perlu diapresiasi. Namun yang lebih penting dari itu adalah menemukan akar masalah dan menyelesaikannya untuk kepentingan jangka panjang.
Akar masalah
Akar masalah kasus korupsi adalah hilangnya nilai-nilai kejujuran. Kejujuran menempati urutan pertama yang harus diperhatikan untuk memberantas masalah korupsi dari akar-akarnya. Kejujuran adalah pondasi utama untuk membangun bangsa yang berintegritas. Di dalam kejujuran (ash-shidq) akan melahirkan integritas, keihlasan dan kesabaran. Banyaknya kasus korupsi yang muncul tersebut merupakan akibat dari hilangnya kejujuran dan integritas serta tidak sabar dalam menahan keserakahan nafsu dalam diri. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah kongkrit untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran tersebut dalam setiap bangsa Indonesia.
Untuk memperkuat keyakinan kita tentang kejujuran, pada tahun 1987, 1995, dan tahun 2002 sebuah lembaga leadership internasional yang bernama The Leadership Challenge telah melakukan survei karakteristik CEO di enam benua yaitu Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Eropa dan Australia. Masing-masing responden diminta untuk menilai dan memilih 7 karakteristik CEO ideal mereka. Dan mereka sepakat dari 20 karakter mereka menempatkan kejujuran (honest) pada nomor urut pertama sebagai karakter pemimpin yang ideal.
Tidak ada cara yang lebih powerful dalam menginternalisasikan nilai kejujuran dan integritas tersebut kecuali melalui pendidikan. Pendidikan menempati urutan awal dalam menyiapkan bangsa yang jujur dan berintegritas. Kesuksesan suatu bangsa ditentukan sejauhmana ia memegang nilai-nilai kejujuran tersebut. Sebab itu, pendidikan kejujuran perlu digalakkan dan dikuatkan kembali.
Pendidikan kejujuran dapat dilakukan dengan bentuk penanaman nilai melalui proses pengetahuan dan pemahaman, proses pembiasaan, serta proses kontrol dan pengawasan. Sementara ini, pendidikan kita masih cenderung lebih banyak pada aspek pengetahuan dan pemahaman (kognitif). Padahal, itu hanya menyentuh aspek pendidikan yang paling rendah. Jika melihat pada teori Bloom, idealnya pendidikan mencakup 3 hal, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Atau dalam bahasa lain kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
“Parsialisme” dalam pendidikan yang hanya menitikberatkan pada aspek intelektual semata hanya akan melahirkan orang yang berpengetahuan luas tapi lemah dalam karakter. Para pejabat yang melakukan korupsi bukan berarti mereka orang yang bodoh. Bahkan tidak sedikit dalam lisan mereka berteriak bahwa mereka orang yang bersih, bebas korupsi serta akan memerangi korupsi dalam bentuk apapun. Tapi nyatanya, merekalah yang melakukan korupsi itu sendiri.
Kebutuhan mendesak
Oleh karena itu, penanaman karakter dan nilai-nilai kejujuran menjadi kebutuhan mendesak untuk perbaikan bangsa Indonesia ke depan. Pendidikan dalam hal ini menjadi garda terdepan mengambil peran untuk misi perbaikan tersebut. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan karakter dan peningkatan keimanan. Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pendidikan dalam menanamkan kejujuran dapat dilakukan sejak dini melalui pendidikan agama, nilai dan moral di tengah-tengah masyarakat. Hal ini bisa diwujudkan dengan adanya integrasi yang baik antara keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah. Di dalam keluarga misalnya, sejak dini anak-anak sudah harus dikenalkan dengan nilai-nilai kejujuran, seperti mengajari anak untuk tidak mengambil barang orang lain tanpa izin. Dalam hal ini orang tua memegang peran yang sangat strategis. Kewajiban orang tua adalah memberikan teladan yang baik dan pengawasan terhadap pergaulan anak di rumah.
Adapun di sekolah, program-program internalisasi nilai-nilai kejujuran bisa dilakukan dengan menguatkan peran pendidikan agama dan karakter. Anak didik perlu diajari secara kontekstual (praktik) bagaimana berinteraksi dengan orang lain dengan memegang nilai kejujuran. Selain itu diperlukan penguatan terhadap program monitoring dan pengawasan secara intensif terhadap perilaku dan karakter selama di sekolah. Selain itu, proses pembentukan nilai kejujuran perlu dukungan dari masyarakat. Hal ini dapat diimplementasikan dengan bentuk partisipasi aktif mereka dalam memberikan informasi dan pengawasan terhadap perilaku anggota masyarakat itu sendiri.
Terlepas dari itu semua, pemerintah selaku pemangku kebijakan perlu melakukan kajian ulang terhadap konsep pendidikan karakter yang selama ini berjalan. Ke depan, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih terhadap penguatan kualitas pembelajaran dan penanaman karakter dan internalisasi nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan.
——- *** ——–

Tags: