Korupsi dan Ruang Kebebasan Berekspresi

Oleh :
Aan Afriangga
Mahasiswa di Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurnalistik, Universitas Mpu Tantular, Jakarta; Ketua Umum Ikatan Keluarga Mahasiswa Islam Universitas Mpu Tantular 2019-2021.

Pada 2020, World Justice Project (WJP) merilis Rule of Law Index (ROLI) yang dilakukan pada 128 negara dan yurisdiksi. Dalam laporan tersebut, mereka menunjukan gambaran umum terkait supremasi hukum di suatu negara dengan memberikan skor dan peringkat yang merujuk pada delapan faktor: 1) Kendala tentang kekuasaan pemerintah; 2) Tidak adanya perilaku korupsi; 3) Pemerintahan yang terbuka; 4) Terpenuhinya hak fundamental; 5) Ketertiban dan keamanan; 6) Peraturan penegakan hukum; 7) Peradilan perdata; dan 8) Peradilan pidana. WJP pun memberi catatan, bahwa semakin rendah nilai yang diperoleh tiap negara, maka indeks negara hukumnya semakin buruk-begitu pula sebaliknya.

Dituliskan, bahwa secara umum Indonesia menempati peringkat 59 dari 128 negara dengan skor 0,53 poin, dengan skala 0-1. Sementara tahun 2019, Indonesia menempati peringkat 62 dari 126 negara dengan skor 0,52 poin. Hematnya, di tahun 2020 Indonesia mengalami peningkatan poin dibanding tahun 2019, namun hanya 0,01 poin.

Pada indikator ketiadaan korupsi, Indonesia menempati peringkat 92 dari 128 negara dengan skor 0,39. Tetapi, pada 2019, Indonesia menempati peringkat 97 dari 126 negara dengan skor 0,38. Ringkasnya, baik secara peringkat maupun poin, Indonesia tidak mengalami peningkatan signifikan.

Melihat kedua informasi di atas, dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki keinginan politik positif (positive political wiil) untuk menumpas kasus korupsi. Bahkan, di titik ekstream, pemerintah serasa gagal dalam mengungkap kasus korupsi yang telah terjadi. Padahal, kegagalan ini berkontradiksi dengan alokasi anggaran yang telah digelontorkan untuk memberantas korupsi.

Menurut kajian Indonesian Curruption Watch (ICW) dalam Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester I 2020. Berdasarkan Daftar Isian Pelaksana Tahun Anggaran 2020 yang dikelola institusi penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), anggaran untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi dinilai variatif.

Pada koridor Kepolisian, memiliki tiga klasifikasi: pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Di pusat, anggaran yang digelontorkan senilai Rp297, 8 juta untuk per satu kasus dengan target 25 kasus. Sedangkan di provinsi, Rp182 juta-Rp1,3 miliar untuk per satu kasus dengan target 2-47 kasus. Di kabupaten/kota, Rp543, 2 juta-Rp6,4 miliar untuk per satu kasus dengan target 1-75 kasus. Koridor Kejaksaan, tak jauh berbeda dengan Kepolisian, yang memiliki tiga klasifikasi. Di pusat, Rp158, 7 juta untuk per satu kasus dengan target 50 kasus. Di provinsi dan kabupaten/kota, Rp129, 8 juta untuk per satu kasus dengan target 1 kasus. Terakhir, di koridor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), senilai Rp244, 5 juta untuk per satu kasus dengan target 120 kasus.

Dengan anggaran yang digelontorkan, kinerja penegak hukum kita seharusnya berjalan optimal. Sehingga, ada peningkatan signifikan dalam indeks tersebut. Namun nahasnya, melihat realitas yang terjadi-penegak hukum kita serasa berjalan di tempat dalam melaksanakan tugasnya. Jauh panggang dari api.

Selain jalan terjal menumpas kasus korupsi. Pada saat yang sama, pandemi yang terjadi juga menyebabkan kualitas demokrasi kita mengalami degradasi. Merujuk pada The Economist Intelligence Unit, dalam Democracy Index 2020: In Sickness and In Health? mereka memberi gambaran (singkat) tentang keadaan demokrasi di seluruh dunia. Yang spesifiknya, di seluruh 165 negara bagian dan dua teritori.

Laporan tersebut, disandarkan pada lima kategori: 1) Proses pemilu dan pluralisme; 2) Fungsi pemerintahan; 3) Partisipasi politik; 4) Budaya politik; dan 5) Kebebasan sipil. Ada pun hal lainnya, seperti skor yang didapatkan tiap negara, akan mencerminkan klasifikasi jenis rezimnya: 1) Demokrasi penuh (full democracy); 2) Demokrasi yang cacat (flawed democracy); 3) Rezim Hibrida (hybrid regime); dan 4) Rezim Otoriter (authoritarian).

Tercatat, bahwa secara umum Indonesia mendapatkan skor 6,30 poin, menempati peringkat 64 dari 165 negara dan terklasifikasi ke dalam “demokrasi yang cacat”. Padahal, pada 2019, Indonesia mendapatkan skor 6,48 poin dalam indeks tersebut. Berarti dapat disimpulkan, bahwa pandemi hari ini dimanfaatkan pemerintah untuk merampas dan menangguhkan kebebasan sipil warganya, terutama hak fundamental seperti protes publik atau menyuarakan pendapat. Sehingga, tak heran jika indeks demokrasi kita pada 2020 mengalami degradasi.

Perundang-undangan, memang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan limitasi terhadap warganya. Namun, hal tersebut berlaku pada kondisi tertentu, spesifik, telah berstandar hukum juga HAM. Akan tetapi, janganlah hal ini dimanfaatkan pemerintah untuk melegitimasi dominasinya guna mengimbangi diskursus negara. Niscaya, jika pandemi ini dikendalikan secara serampangan, ia bak ironi bagi kemajuan demokrasi.

Apabila merujuk pada Pelapor Khusus PBB, Maina Kiai, sebagaimana dikutip dalam laporan KontraS (2019) Menemukan Pola Pembatasan terhadap Kebebasan Berkumpul di Indonesia. Ia pernah mengatakan, bahwa negara dapat menjadi kuat ketika mampu hidup bersama dengan masyarakat sipil. Hubungan keduanya mampu menumbuhkan negara dan masyarakat sipil yang kuat secara langsung. Dan yang utama adalah tidak ada relasi yang jual beli di antara kedua entitas ini.

Oleh sebab itu, laporan di atas seyogianya dijadikan bahan kontemplasi bagi penegak hukum dan pejabat publik kita, untuk meningkatkan perfomanya di lain kesempatan. Juga, amplifikasi ini bertujuan untuk mendorong mereka supaya melakukan tindakan konkret. Sehingga, nantinya akan menelurkan hasil yang progresif sekaligus optimal terhadap pemerintahannya di masa yang akan datang.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: