Korupsi, Hedonisme, Kearifan Lokal

Judul : Pendidikan Antikorupsi
Penulis : Moh. Yamin
Penerbit : Rosdakarya, Bandung
Cetakan : November 2016
Tebal : 140 Halaman
ISBN : 978-979-692-721-0
Peresensi : Muhammad Itsbatun Najih
Pembaca buku, tinggal di Kudus

Korupsi, semakin hari kecaman tentangnya justru sebanding dengan terus-menerus untuk dipraktikkan. Seolah tanpa jera dan malu, korupsi berubah menjadi sekadar kejahatan biasa yang mengundang pemakluman. Aneka siasat mengerem praktik koruptif senantiasa dicoba; hingga berupa pakaian khusus: rompi oranye bertulis tebal Tahanan KPK. Ironisnya, si koruptor justru tersenyum lebar sambil melambaikan tangan, pertanda kebanggaan(?). Padahal, setidaknya di Jepang, kita tahu bersama, baru diisukan korupsi, sudah malu kepalang dan seketika undur jabatan.
Menyinggung Jepang, kita tahu bersama pula, tradisi Harakiri begitu masyhur sebagai pertanda konsekuensi tanggungajawab yang diemban. Mentalitas kesatria untuk berpunya rasa malu bila gagal tugas telah menjadi bagian identitas penduduk negara Sakura. Harakiri sudah terpatri sekian abad. Hebatnya, semakin gerak maju zaman, spirit Harakiri masih lestari dan bertumbuh kuat, meski tidak lagi menusukkan pedang ke perut bagian kiri. Harakiri, sebagai kearifan lokal Jepang, nyatanya mampu menyesap dalam masyarakat internasional sebagai inspirasi lakon luhur, termasuk memerangi korupsi.
Begitu pula Moh Yamin, lewat buku ini, membabar bahwa ada sekian banyak kearifan lokal/identitas/jati diri kita yang -harusnya- bisa menjadi referensi utama mengenyahkan korupsi. Kearifan-kearifan lokal yang terinci dalam buku tipis ini sontak dengan sendirinya juga menjadi gugatan reflektif: lantas sejak kapan masyarakat kita –pejabat kita-menjadikan jabatannya sebagai ladang berkorupsi ria. Apalagi, kondisi mutakhir tindak korupsi di negeri ini sudah pada taraf membahayakan -untuk enggan dikatakan membudaya.
Kearifan-kearifan lokal kita yang bisa ditemukan pada setiap identitas kesukuan, secara nalar historis telah menyunggi sanggahan bahwa sejatinya masyarakat kita sama sekali tidak ada gen/anasir DNA yang menunjukkan kita gemar korupsi. Pun termasuk kita telah mempunyai kepribadian unggul berupa rasa malu yang besar. Pantang mengambil jabatan bila sekiranya dirinya dipandang tidak mumpuni. Anggitan Jawa berujar: bisa rumangsa, ojo rumangsa bisa. Sementara peribahasa Madura berucap: Poteh mata poteh tolang angok potena tolang, memberi makna daripada hidup menanggung malu lebih baik mati.
Justru, dalam kekayaan kearifan lokal kita menuturkan untuk senantiasa hidup bersama alam. Hidup dalam kebersahajaan. Di Jawa, laku batin berupa puasa terkira membentuk badan dan terutama jiwa untuk enggan asyik-mansyuk dalam kepungan ingar-bingar duniawi. Membentuk jiwa peka terhadap alam dari upaya-upaya perusakan. Maka tersebut-lah aneka lelakon tradisi puasa Jawa: puasa mutih, puasa ngerowot, puasa pati geni –yang hanya mengonsumsi nasi-garam dan air putih (hlm: 126). Dan, kaidah umum mengatakan bukankah esensi puasa guna mengerem nafsu hewani kita alias dorongan serakah dan rakus yang selalu hinggap dalam jiwa manusia?
Sementara di Papua, terdapat kearifan lokal bernama te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama-yang mesti dijaga. Dengan kata lain, identitas masyarakat di ujung timur Indonesia itu menyiratkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus digunakan secara hati-hati demi keberlangsungan kehidupan ke depan (hlm: 125).
Pelestarian lingkunga berupa pemanfaatan alam secara wajar menjadi basis kearifan lokal di Dayak Kalimantan dan wilayah Sumatera-Bengkulu. Tradisi Tana’ Ulen dan Celak Kumali, misalnya, menghendaki agar hutan, lahan pertanian, dan sumber daya alam lain hendaknya dikelola dengan arif. Hal ini tentu sangat membedai aksi-aksi sebagian pejabat kita yang gemar berkongsi dengan perusahaan untuk mengeksploitasi hutan dan lahan pertanian produktif. Pintu korupsi pejabat kian terbuka lebar saat si pejabat mempersilakan korporasi sewenang-wenang memperkosa alam.
Bila kita tidak mempunyai gen/DNA korupsi, lalu apa sebab kita sangat kepayahan memberantas korupsi? Yamin lantas menelunjukkan bahwa asal mula laku nista korupsi ialah berupa gaya hidup hedonis(me). Gaya hidup yang serba berlebih dan memuja harta. Inilah sebenarnya akar korupsi akut itu (hlm: 111). Hedonisme memandang si aku harus lebih kaya ketimbang si liyan. Dan, hedonisme mengantar pada penghalalan segala cara untuk mendapatkan gemilang kebendaan.
Sekali lagi, gen/DNA kita justru menuturkan untuk selalu hidup sederhana. Pepatah Sunda berkata: saeutik mahi loba nyesa. Kearifan lokal ini menyiratkan pesan penting untuk mengurangi konsumsi pada hari ini dan menyisakannya untuk esok hari. Begitu pun peribahasa Jawa: sugih tanpa bandha, di mana kekayaan sesungguhnya tidak dinilai dari keberpunyaan materi –secara berlebih. Walhasil, buku ini memberikan ikhtiar jawaban pemberantasan korupsi dari akarnya dengan memakai kembali pakaian kearifan lokal leluhur kita tersebut lewat hidup dalam kebersahajaan.
————- *** —————

Rate this article!
Tags: