Koruptor Ikut Pilkada

Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2020, sudah dimulai, dengan rekrutmen personel penyelenggara. Di awali pembentukan Panwascam, dan PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan). Parpol juga sibuk menyiapkan bakal calon, dengan berbagai cara penjaringan, termasuk konvensi. Akan semakin riuh dengan hadirnya mantan narapidana korupsi yang boleh mengikuti Pilkada, berdasar penetapan Mahkamah Konstitusi (MK).
MK telah mengabulkan sebagian permohonan pada judicial reviu UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Semula, pasal 7 ayat (2) huruf g, dinyatakan, “tidak pernah sebagai terpidana berdasar kan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Terasa ambivalen, karena pada frasa pertama dinyatakan tidak pernah berstatus terpidana. Tetapi terdapat kata sambung atau, dilanjutkan “kebolehan” mantan terpidana, asalkan menyatakan secara terbuka kepada publik tentang status yang bersangkutan mantan terpidana. Meng-akhiri ambivalensi, MK memberi “jeda” mantan terpidana, dengan waktu selama lima tahun setelah menyelesaikan hukuman penjara pokok.
Sehingga mantan terpidana tidak serta-merta bisa menjadi calon Kepala Daerah. Harus menunggu lima tahun. Diperkirakan selama “jeda” mantan terpidana telah kehilangan teman KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Tetapi, mantan Kepala Daerah, sekaligus mantan terpidana, yang memilih mencalonkan kembali telah pernah terjadi. Yakni, dalam Pilkada kabupaten Kudus, tahun 2018. Anehnya, ternyata, memenangi Pilkada.
Bupati Kudus periode tahun 2003-2008, dihukum penjara selama 1 tahun 10 bulan (pada tahun 2005). Pada sidang terbukti bersalah korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan. Lebih 10 tahun lepas penjara, mantan bupati Kudus mencalonkan kembali pada Pilkada 2018. Menang tipis diantara 4 calon lain, dengan perolehan suara sebanyak 214.213 suara (42,50%). Dilantik oleh Gubernur Jawa Tengah pada 24 September 2018.
Tetapi tak lama, sekitar 10 bulan, pada bulan Juli 2019, terciduk dalam OTT (Operasi Tangkap Tangan). KPK menangkap ajudan Bupati Kudus bersama calon Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Kekayaan dan Aset Daerah (DPPKAD). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga Bupati Kudus terlibat jual beli jabatan eselon II (Kepala Dinas). Untuk dugaan korupsi yang kedua, jika terbukti, Bupati Kudus non-aktif bisa dijatuhi hukuman sangat berat. Bisa diancam hukuman mati.
Konon, pilkada serentak tahun 2020, akan menjadi pertarungan evaluasi, setelah pemilihan presiden (Pilpres). Terutama berkait efektifitas koalisi parpol. Juga akan lebih riuh dibanding Pilkada serentak terdahulu (tahun 2017). Karena Pilkada tahun 2020, akan digelar di 270 daerah. Termasuk pemilihan Walikota Semarang, dan Walikota Solo. Juga pemilihan gubernur di 9 propinsi, yakni 4 gubernur di kawasan Sumatera, 3 di Kalimantan, dan 2 di Sulawesi.
Di kawasan Jawa, walau tidak diikuti pemilihan gubernur, tetapi akan digelar pemilihan Bupati dan Walikota di 55 kabupaten dan kota. Yakni, Jatim 19 Pilkada, Jateng (21), Jabar (8), Banten (4), dan DIY 3 pemilihan Bupati. Kerawanan politik uang, masih tetap wajib diwaspadai. Money politics, berhulu pada persyaratan menjadi pasangan calon. Mendaftar melalui parpol maupun pengumpulan KTP pada calon independen, harus mengeluarkan biaya besar, sebagai “mahar.”
Ongkos besar Pilkada bisa menjadi penyebab suburnya KKN pasca Pilkada. Namun, walau telah menjadi “realita senyap,” KPK belum pernah melakukan OTT berkait Pilkada. Bisa jadi parpol sudah bersih menseleksi bakal calon tanpa mahar. Namun seperti kata-kata joke, “no lunch free,” tidak ada makan siang gratis (dalam rekrutmen politik)?
——— 000 ———

Rate this article!
Koruptor Ikut Pilkada,5 / 5 ( 1votes )
Tags: