Kota dan Sajak-sajak Nostalgia

Judul buku : Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?
Penulis : Kiki Sulistyo
Penerbit : Penerbit BASABASI
Tahun terbit : Cetakan pertama, 2017
ISBN : 978-602-6651-01-3
Epilog : Afrizal Malna
Peresensi : Ozik Ole-olang
Mahasiswa rantau asal Madura, suka menulis puisi. Sekarang mukim di Malang dan sedang menyelesaikan sebuah buku.
“Memelihara kenangan dalam puisi”, barangkali begitulah ungkapan sederhana dan sedikit dramatis untuk sajak-sajak dalam buku Kiki Sulistyo. Tema kenangan dan masa lalu memang kerap membuat orang-orang termotivasi untuk menulis puisi. Tidak ingin ingatan hilang begitu saja, kemudian puisi menjadi tempat penyimpanan semacam menumen atau tugu. Sedikit berbeda dengan sejarah yang selalu monoton dalam penyebutan tempat dan tanggal-tanggal. Puisi tidak hanya memendam kejadian secara nampak dan kasat mata, namun puisi merangkum segenap emosi, perasaan, pikiran, dan persepsi-persepsi yang terjadi. Lebih absurd dan penuh makna, juga pastinya lebih multi tafsir.
Lebih lanjut lagi, ingatan musti memiliki tempat masing-masing. Oleh karena itu, Kiki memilih kota sebagai wadah ingatan-ingatannya, tempat tinggalnya (dahulu), tempat kengangan-kenangan berkelebat dan kembali pulang. Dalam penuturannya, Kiki mulai menulis puisi-puisi yang terkumpul dalam buku tersebut ketika sudah tidak tinggal di Ampenan (nama kota dalam judul buku kumpulan puisinya). Setelah lama tertimbun modernisasi dan perkembangan peradaban juga tatanan kota yang banyak berubah dan senantiasa dalam kedinamisan zaman, kenangan bahwa dirinya pernah tinggal di kota itu tetap terbayang, mendesak, dan meluap sehingga secara tidak langsung memaksa kiki untuk menulis puisi.
Dalam salah satu penggalan sajaknya, Kiki menulis:
sudah lama bapakku mati
dan bioskop tak ada lagi
tapi ruhnya berayun-ayun di jendela
setiap kali aku teringat padanya
Pesan yang tersirat sangat renyah dipahami, melalui diksi-diksi yang terkessan ‘berterusterang’, seperti mengajak pembaca mengimajinasikan rupa perbedaan tatanan kota antara sekarang dan di masa lalu, juga merangsang kita agar ikut merasakan sisa-sisa emosi dan perasaan yang terus kekal seiring perubahan waktu. Ungkapan “tapi ruhnya berayun-ayun di jendela” dan “setiap kali aku teringat padanya” mewakili kerinduan Kiki akan sosok ayah sebagai objek puisi dan kota sebagai plot di mana pesan puisi ditujukan.
Salah satu media yang digunakan Kiki untuk pengawal ungkapan dalam sejumlah puisi adalah kata tunjuk semisal di, pada, dan yang lainnya. Pada sajak ‘Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari’ berawalkan kata tunjuk ‘di’ yang menjadi semacam gerbang atau portal bagi sebuah ruangan luas tempat sejumlah kenangan dan ingatan bersemayam. Dengan segenap objektifmenya, pada sajak tersebut Kiki seperti menyatakan perubahan bentuk kota yang melamban tanpa adanya perkembangan suasana dan dia seperti berpegang teguh pada kesan-kesan yang dia rasakan di masa lalu ketika dia tinggal di Ampenan. di Ampenan hanya ada gedung-gedung tua/bertahan dalam kemurungan/hanya angin yang resah/modar-mandir dengan kaki patah (Hal. 59).
Keramaian kota seringkali melahirkan kesepian pada beberapa individu, semua mulai sibuk sendiri dan semua mulai merasa terasingkan entah disengaja ataupun tidak. Dinamika sosial tempat latar puisi-puisi dalam kumpulan buku ini akan lebih berpotensi menyentuh pembaca yang notabene hidup di zaman penuh kesibukan dan sarat kepentingan masing-masing ini. Di sajak lain yang berjudul ‘Kristik’ (Hal. 44) Kiki seperti memaparakan dengan pilihan majaz yang pas perihal keramaian kota dengan tanpa dirinya merasakan atau menikmati keramaian tersebut. Dia seakan memposisikan dirinya sebagai pengamat dan kemudian menyampaikannya dalam puisi perihal keramaian yang menimbulkan kesan kesepian pada dirinya. Semacam memaksa pembaca ikut merasa yang dia rasakan.
Pada beberpa puisi di akhir kumpulan buku ini, penyampaian puisi terasa lebih santun dan kalem. Pada sajak ‘Ajarkan Aku Bagaimana Memasuki Sebuah Kota’, Kiki seperti menemukan jalan atau lorong imajiner untuk memasuki dunia kota yang tak kasat mata. Sebagai seorang pendatang yang dulunya pernah tinggal di sana, dia seakan bisa kembali ke kota itu tanpa harus mendatanginya. Dengan berkendara puisi dan diksi, dia memasuki bagian kota yang hanya bisa dirasakan dengan cara direnungkan dan dibayangkan. ajarkan aku bagaimana memasuki sebuah kota/setelah jembatan, sungai bagai ular yang sabar/lalu pertokoan dan simpang ke arah pasar/aku gemetar, setiap kali lelampu berkedip/mengirim pesan ke petang menjelang/pesan untuk menggantikan. Perasaan yang timbul dalam puisi menjadikan kota sebagai suatu sosok yang hidup dan tahu setiap ada orang yang datang, sedangkan si penulis puisi berusaha memasuki dan mendatangi kota itu dengan tanpa sepengetahuan, mengendap-ngendap, kemudian mencari-cari ingatan dan kenangan yang tertimbun umur kota untuk dijadikan sebuah puisi. Lebih jelasnya jika dibayangkan, Kiki seperti sedang mengendap-ngendap untuk mencari puing-puing kota yang berserakan kemudian dia ambil dan ia susun kembali menjadi sebuah bangunan yang disebut puisi.
Kesemua hal tadi sangatlah beralasan, dalam catatannya Kiki menyatakan bahwa “panggilan membutuhkan jarak” (tulisan pada cover belakang buku). Dalam hal ini, konsekuensi logis atau bisa dikatakan mafhum muafaqah-nyaadalah “jarak adalah sebab berbagai panggilan-panggilan” dengan ungkapan lain “bahwa panggilan akan ada ketika terbentang jarak, pula ketika ada jarak maka panggilan-panggilan akan datang dengan sendirinya”. Sebuah dialektika traumatik masa lalu yang melahirkan sajak-sajak nostalgia sebagaimana yang dipaparkan Afrizal Malna dalam epilog buku tersebut. Dengan begitu, orientasi sajak yang memanggil-manggil kembali fosil-fosil kenangan denagn ranah sosial yang dinamis sangatlah terasa dan mengagumkan
Sayangnya, dalam sejumlah puisi terutama pada bagian awal-awal diksi dan rangkaian kata yang dihadirkan terkesan teralalu berterus terang dan apa adanya. Lebih seperti sebuah diary daripada sebuah puisi. Alangkah baiknya kemudian jika penulis lebih membubuhkan sedikit majaz dan metafora agar membuat pembaca lebih tenang dan terbawa, juga akan lebih bersemangat untuk membaca puisi-puisi berikutnya dalam buku tersebut. Terus terang saja saya baru menemukan kenikmatan dan pada akhirnya terbawa ketika membaca puisi-puisi dari bagian pertengahan buku sampai bagian akhir. Tetapi adalah suatu prestasi yang mantap ketika dalam sejumlah sajaknya Kiki secara lugas berpapar dengan model deskriptif dan dibumbui dialektika sebab-akibat yang semakin membawa pembaca dalam dunia imajiner dan objektifisme si penulis.
Terima kasih dan mohon maaf atas segala kurang dan lebihnya, salam.

———- *** ————-

Rate this article!
Tags: