KPK Kerjasama Intensif dengan KPU

yunus-supanto-1Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik.

Suatu hari (Senin 23 April 2012), terjadi pertemuan elit DPD/DPW partai politik (parpol) tingkat propinsi  Jawa Timur. Isinya antara lain adanya wacana sistem pemilu Kepala Daerah (pilkada). Yakni, Pilkada dengan sistem “tepo saliro.” Tujuannya, agar pilkada Bupati maupun Walikota berjalan damai tanpa gontok-gontok-an. Bila perlu di-inharent-kan dengan pemilihan Ketua DPRD kabupaten dan kota.
Artinya, parpol pemenang pemilu legislatif diberi peluang dan kelempangan jalan untuk meraih kursi Kepala daerah. Sedangkan parpol runner-up diberi jatah Wakil Kepala Daerah. Alternatif lain, parpol bisa bersepakat untuk menggilir jabatan Bupati dan Walikota, seperti arisan. Diharapkan dengan cara itu, pilkada Bupati maupun Walikota tidak perlu dilakukan bagai pertandingan sengit. Konon, juga bisa memperkecil biaya yang ditanggung oleh bakal calon, maupun biaya yang terbebankan kepada APBD kabupaten/kota.
Wacana pilkada in-harent hasil pemilu legislatif, digagas oleh Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur, H. Soekarwo (Gubernur Jawa Timur). Selain biaya (financial) sangat besar, pilkada Bupati/Walikota juga menuntut ongkos sosial cukup tinggi. Bentrok pendukung antar-calon sering tak terhindarkan. Untuk menghapus diametrical-social tersebut dibutuhkan waktu cukup lama. Sehingga asas pembangunan participatory  juga terhambat.
Kini, wacana pilkada yang tidak hiruk-pikuk, sedang intensif dibahas oleh DPR-RI pada ujung akhir jabatan. Tujuannya, agar tidak memper-hadap-kan kelompok rakyat secara diametral (vis a vis). Berdasarkan pengalaman pilkada bisa berlangsung sampai tiga kali putaran. Seperti Pilgub Jawa Timur tahun 2008 lalu, biayanya sampai Rp800 miliar (dari APBD Jawa Timur). Itu belum termasuk ongkos yang ditanggung oleh pasangan calon, sejak mendaftar di parpol, biaya kampanye, sampai biaya money politics yang hampir di-lazim-kan dalam pilkada.
Pilkada Gubernur, Bupati serta Walikota merupakan amanat UUD pasal 18 ayat (4). Bunyinya (secara tekstual): “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.” Hasil amandemen kedua ini di-breakdown oleh UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah pada pasal 56 ayat (1). Juga pasal 57 ayat (1) yang bisa ditafsirkan sebagai dipilih langsung oleh rakyat.
Kelaziman Politik Uang
Adapun kehadiran parpol (lalu menjadi hak mutlak) tercantum pada ayat (2). Bahwa pasangan calon Kepala Daerah diajukan oleh parpol atau gabungan parpol, sampai memenuhi syarat 15 persen suara hasil pemilu legislatif. Pencalonan Kepala Daerah, diulang lagi pada pasal 59 ayat (1). Namun secara khusus diamanatkan dalam ayat (3) agar parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat.
Ayat “karet” inilah yang digunakan oleh parpol untuk menjaring sebanyak-banyaknya bakal calon, dengan pengenaan tarif tertentu. Biasanya, semakin tebal kantong bakal akan makin terbuka kesempatan untuk diajukan sebagai calon definitif. Modus parpol bisa melalui konvensi, maupun raker khusus tentang penentuan bakal calon.
Pada tahap itu dilakukan tawar-menawar kesanggupan penyediaan dana yang harus disediakan oleh bakal calon. Untuk Bupati (ukuran di Jawa Timur) dihitung dari jumlah kursi di DPRD kabupaten. Rata-rata sekitar Rp200 juta per-kursi (setara dengan 2% suara pemilih). Untuk parpol non-parlemen, dikurs dengan patokan Rp100 juta untuk 1 persen perolehan suara. Jadi, untuk menjadi calon Bupati harus menyediakan (dimuka) dana minimal sebesar Rp1,5 miliar. Itu belum termasuk biaya kampanye dengan segala atribut. Totalnya bisa mencapai Rp 15-an  miliar.
Maka wacana yang digagas oleh Pakde Karwo, memang dapat meminimalisir biaya yang terbuang percuma oleh calon yang kalah. Dana besar itu bisa diinvestasikan di daerah untuk membangun popularitas dan elektabilitas, sambil menunggu giliran. Tapi wacana ini sulit direalisasi. Bahkan rencana mengembalikan pilkada dipilih oleh DPRD saja, sudah ditentang banyak. Terutama Kepala Daerah yang telah mengalami kerja keras dengan padat modal, tidak rela jabatannya digantikan secara mudah.
Pilkada langsung oleh rakyat diperoleh dari penafsiran UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pasal 57 ayat (1) secara tekstual dinyatakan, “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD.” Diselenggarakan oleh KPUD, biasanya berhubungan dengan coblosan langsung. Jadi, seperti pileg, KPUD juga menetapkan DPT (Daftar Pemilih Tetap) serta DPTb (Tambahan).
Harus diakui, gagasan memindahkan areal pilkada dari domain rakyat kepada pilihan di DPRD, tidaklah menyalahi konstitusi. Sebab pada UUD pasal 18 ayat (4) tidak terdapat amanat dipilih secara langsung. Amanat UUD untuk pilkada berbeda dengan amanat untuk pelaksanaan pemilihan presiden. Untuk pilpres memang diperintahkan pilihan langsung oleh rakyat. UUD pasal 6A ayat (1) menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”
Golput Menang Pilkada
Lebih lagi saat ini terdapat kecenderungan yang hampir seragam terjadi di semua daerah. Yakni, semakin menurunnya kesertaan masyarakat pada even pilkada. Ini cukup mengkhawatirkan, karena partisipasi publik merupakan cerminan legitimasi. Benarkah masyarakat tak peduli, karena tidak merasakan pentingnya calon pemimpin? Sudah banyak masyarakat yang cuek terhadap pilkada.
Pada pilgub Jawa Barat misalnya, jumlah golput tercatat sebesar 36,3%, atau hampir dua kali lipat dibanding perolehan suara Aher-Deddy Mizwar. Artinya, golput yang (lebih) layak disebut sebagai pemenang. Berdasarkan data KPU, Daftar pemilih tetap (DPT) pada Pilgub Jabar 2013 jumlahnya 32,5 juta jiwa. Jumlah pemilih yang menggunakan hak suara adalah 20.713.779 jiwa. Sehingga jumlah yang cuek terhadap pilkada gubernur mencapai 11,7 juta jiwa lebih, sedangkan jumlah pemilih Aher-Deddy yang hanya 6,5 juta lebih sedikit.
Berselang tiga bulan, fenomena golput makin menggejala pada pilgub Jawa Tengah. Jumlahnya mencapai 49 persen, atau meningkat 7,5 Persen dibanding pilgub (2008) lalu yang masih sebesar 41,55 Persen. Lagi-lagi, golput lebih layak disebut sebagai pemenang. Sebelumnya, pada pilkada gubernur Jakarta (September 2012) golput tidak cukup kuat untuk mengalahkan Jokowi. Pemilih yang tidak menggunakan pilih (plus suara tidak sah) sebanyak 2.424.653. Sedangkan perolehan suara Jokowi mencapai 2.472.130 (selisih 47.477 suara).
Namun undang-undang pemerintahan daerah yang mengamanatkan pilkada tidak mensyaratkan batas ambang sahnya pilkada. Asalkan masih ada yang mendatangi TPS (tempat pemungutan suara), pilkada tetap sah. Walau andai 100 pemilih saja yang mencoblos, dan dengan suara sah sebanyak 50 lembar pun tetap sah. Inilah celah undang-undang, yang tidak menjamin legitimasi penguasa.
Sedangkan pemenang pilkada diatur pada pasal 107 ayat (1): “pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 Persen (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.” Bahkan jika tidak diperoleh pasangan dengan perolehan 50 Persen, pilkada akan dilanjutkan pada putaran kedua. Pada pasal 107 ayat (8) yang mengatur pemenang pada putaran kedua hanya mensyaratkan unggul, walau hanya 1 suara.
Jadi, pilkada coblosan langsung oleh rakyat, ataupun dipilih DPRD, risiko kecurangan politiknya tetap sama. Yang lebih diperlukan adalah, pengawasan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) terhadap pilkada. Sebab politik uang nyaris menjadi kelaziman. Tidak sulit bagi KPK untuk menelisik harta kekayaan pejabat politik (DPRD). Walau belum banyak bukti, bahwa KPK serius benar melototi proses pilkada.
Jika KPK telah menyatakan “siap” mengawal pilkada oleh DPRD, maka DPR-RI tinggal merevisi bunyi pasal 57 UU 32 tahun 2004. Dan boleh jadi, usai pilkada akan banyak anggota DPRD pindah tempat tinggal, dari rumah dinas ke rumah tahanan.

                                                    —————————- *** —————————-

Rate this article!
Tags: