KPK Serahkan LHKPN Paslon Pilkada Se-Jatim

paslon-Rasiyo-Lucy-tunjukkan-harta-kekayaan-pada-KPK.-[Gegeh-Bagus/Bhirawa]

paslon-Rasiyo-Lucy-tunjukkan-harta-kekayaan-pada-KPK.-[Gegeh-Bagus/Bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) para calon kepala daerah di seluruh Jatim, Kamis(12/11) kemarin diserahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Para calon kepala daerah ini kemudian akan menyerahkan LHKPN pada KPUD setempat sebagai salah satu syarat pencalonan.
Penyerahan LHKPN kemarin juga dirangkai dengan acara pembekalan dan deklarasi calon kepala daerah dan penyelenggara Pilkada Jatim. Diselenggarakan KPU Jatim bekerja sama dengan KPK di Auditorium Rektorat Unesa kampus Ketintang.
Uniknya, setelah diserahkan, masing-masing calon kepala daerah diminta membacakan langsung jumlah kekayaan negara. Untuk calon Wali Kota dan wakil Wali Kota Surabaya, kekayaan Whisnu Sakti Buana yang paling besar. Totalnya mencapai Rp 20,527 Miliar. Sementara harta Tri Rismaharini sekitar Rp 1,832 miliar.
LHKPN milik calon nomor urut satu Rasiyo-Lucy Kurniasari masih kalah dibandingkan Whisnu Sakti Buana. Rinciannya, harta Rasiyo berjumlah Rp 7,7 miliar. Sedangkan Lucy sekitar Rp 12,913 miliar.
“Sebenarnya aset saya tetap, hanya nilainya saja yang bertambah. Tanah misalnya. Dulu NJOP-nya Rp 2 juta sekarang naik,” kata Dr Rasiyo Calon Wali Kota Surabaya nomor urut satu.
Selain tanah, lanjut Paklik Rasiyo yang diusung Partai Demokrat-PAN, harta tidak bergerak lainnya yang tetap ialah rumah. Bahkan dia mengaku beberapa kendaraan roda empat sudah dijual beberapa tahun lalu. “Jumlah kekayaan saya masih dalam batas wajarlah,” ungkap mantan Sekdaprov Jatim ini.
Ning Lucy sapaan Lucy Kurniasari menambahkan, harta miliknya senilai Rp 12,913 miliar itu kebanyakan berasal dari aset tak bergerak. Di antaranya rumah dan tanah. Menurut dia, LHKPN sudah rutin dilakukan sejak menjadi anggota DPR RI 2009-2014. “Jadi tidak ada masalah sama sekali dengan LHKPN,” jelasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Whisnu mengakui kekayaannya berasal dari warisan orang tua. Kebanyakan berupa tanah. Saat orang tuanya membeli sebidang tanah selalu diatasnamakan anak-anaknya. “Bapak dulu beli tanah atas nama anaknya, tapi nanti akan dibagikan. Sementara ini, tanah yang menggunakan nama saya harus dilaporkan dulu,” kata Whisnu yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Surabaya ini.
Tanah warisan yang masih atas nama dirinya, kata Whisnu, seperti yang berada di daerah Pakal. Luasnya sekitar tujuh hektar. Warisan tersebut diberikan sejak tahun 2000-an. Sampai saat ini luasnya tetap. Tapi karena NJOP-nya naik tiap tahun, maka nilainya jadi bertambah.
Dibandingkan calon lainnya, LHKPN Risma justru paling rendah. Meski demikian dirinya tidak malu. “Karena memang punya segitu, terus mau apa,” ujar Risma.
Dia melanjutkan, karena tidak memiliki uang dengan jumlah besar, salah satu cara untuk menarik simpati masyarakat tidak menggunakan politik uang. Melainkan terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat.
“Kami memang tidak ada mahar dengan partai pengusung karena tidak punya uang. Jadi tak mungkin membeli suara. Langsung pendekatan dengan warga. Apalagi, kita sudah ada pembekalan dari partai untuk dilarang melakukan hal-hal yang dapat merugikan negara,” tandasnya.
Sementara itu, proses pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 bukannya tidak mungkin terjadi tindak korupsi. Justru pada Pilkada Serentak ini terdapat celah yang nyata praktik tindak korupsi yang tidak tersentuh hukum.
Anggota Ditektorat Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Edy Suryanto mengatakan, ada beberapa peluang nyata pasangan calon melakukan tindak korupsi. Misalnya tindakan penyuapan oleh pasangan calon pada saat proses Pilkada Serentak. Mulai dari mendaftar, verifikasi berkas, dan proses lainnya.
“Ini hanya kemungkinan. Bukan kejadian. Harus dibedakan. Bisa saja pasangan calon menyuap petugas atau pegawai di KPU,” katanya usai menjadi pembicara dalam Forum Group Discussion Pilkada Berintegritas di Unesa kemarin.
Edy juga menyebutkan, ada peluang pasangan calon menyuap petugas atau pegawai Panitia Pengawas Pilkada. “Supaya timses-nya berjalan lancar, mereka mungkin saja menyuap petugas atau pegawai panwas untuk mengamankan,” terangnya.
Mengenai kemungkinan terjadinya politik uang (money politics), Edy mengatakan agak susah diawasi atau ditindaklanjuti. Sebab, undang-undang tentang Pilkada, katanya, tidak mengatur atau melarang hal itu. “Seperti yang saya bilang tadi, undang-undang pemilu sendiri sudah mengatur apa saja? Kalau memang itu tidak diatur ya sudah, tidak bisa diapa-apain. Kami pun tidak bisa ngapa-ngapain, ujarnya.
Adapun tindak politik uang yang sangat mungkin terjadi adalah tindakan pragmatis seperti pemberian uang kepada calon pemilih saat mendekati pemilihan. “Membagikan uang 200 ribu atau berapa kepada calon pemilih, pagi-pagi. Siangnya pencoblosan. Ya, serangan fajar, itu saja yang nyata mungkin terjadi,” pungkasnya.
KPK kesulitan melakukan pengawasan untuk hal-hal seperti disebutkan di atas kalau Undang-Undang dan peraturan KPU sendiri tidak secara spesifik mengatur hal tersebut. “Intervensi bisa kami lakukan ke KPU Pusat. Karena mereka yang punya kewenanyan menginisiasi dan merevisi undang-undang. Atau ke DPR RI,” katanya.
Namun Edy mengaku tidak bisa menyampaikan apa saja rekomendasi yang telah dilayangkan oleh KPK ke KPU atau DPR RI berkaitan Pilkada Serentak, karena bukan kewenangannya. “Apa yang bisa kami lakukan paling hanya menyadarkan, atau mengingatkan berkaitan integritas,” ujar Edy. (geh)

Tags: