KPK Tak Boleh Dilemahkan

Yunus SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Belum genap sebulan, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) jilid IV, sudah mulai meng-gebrak. OTT (Operasi Tangkap Tangan) sudah dilakukan terhadap anggota DPR Komisi V. Padahal semula, komisioner diduga akan lebih condong pada upaya pencegahan. Hal itu mengingat, empat komisioner tidak berlatar belakang penindakan. Tetapi masih terdapat Brigjen (Pol) Basaria Panjaitan yang berpengalaman menindak pelaku kriminal.
Perempuan dengan pangkat tertinggi di kepolisian itu pernah menjadi Direktur Reserse Kriminal Polda Kepulauan Riau (Kepri). Lalu menjadi penyidik utama Direktorat Tindak Pidana Tertentu di Mabes Polri. Sebelumnya, juga pernah menjadi Kasat Narkoba Polda NTT. Maka urusan ke-reserse-an (dan penyidikan) telah menjadi kelahapan sehari-hari. KPK akan semakin kokoh dalam bidang intelijen, dengan keahlian komisioner Saut Situmorang dan Basaria Panjaitan.
Keduanya dapat berbagi “medan” laga. Saut di hulu, Basaria di hilir. Maka wajar apabila OTT akan semakin sering dilakukan. Gebrakan pertama sudah dilakukan. “Sasaran” pertamanya, anggota DPR-RI dari fraksi PDIP. Namun sebgaimana biasa, korupsi merupakan kejahatan sindikasi, dilakukan lebih dari dua orang. Karena itu KPK jilid IV, juga menyasar anggota DPR komisi V lainnya, termasuk pimpinan komisi.
Institusi publik (jabatan politik), harus diakui, menjadi arena paling rawan korupsi. Sudah lebih dari 4 ribu pejabat politik (menteri, kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota), masuk penjara. Begitu pula DPR dan DPRD, menjadi terdakwa pada sidang tipikor (tindak pidana korupsi) karena terlibat KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Ratusan lain masih antre masuk penjara. Tak terkecuali aparat partai politik (parpol).
KKN, seolah-olah sangat sulit dihindari oleh pejabat publik. Hal itu disebabkan sistem rekrutmen politik. Bisik-bisik kalangan parpol me-maklum-kan persyaratan S-3. Yakni, sowan (datang ke pimpinan parpol), sungkem (memberi hormat dan kmomitmen kepatuhan), dan setor (memberi uang). Yang tidak S-3, tidak akan memiliki jabatan politik. Sehingga ongkos (harga) jabatan politik menjadi keniscayaan.
Ongkos politik, dalam dua dekade terakhir, mengalami kenaikan harga sangat meroket. Sebagai bandingan, dalam pemilihan gubernur tahun 1998, ongkos “tali-asih” per-anggota DPRD Propinsi hanya sekitar Rp 3 juta. Tetapi pada tahun 2003, harga tali-asih telah senilai Rp 600 juta. Jika dikalikan 60 orang saja (dari 100 orang), nilainya mencapai Rp 36 milyar. Ini tergolong masih murah, karena terdapat jaminan kepastian.
Tiada yang Gratis
Pada tahun 2008, ketika pilkada langsung, ongkos politik semakin mahal. Untuk ukuran propinsi tipe A (dengan anggota DPRD 100 orang), biayanya bisa mencapai Rp 1trilyun. Pengeluaran pembiayaan, dimulai dari perburuan rekom dari elit parpol oleh bakal paslon (pasangan calon) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Banyak jalan harus dilalui, bakal paslon harus bisa mengambil hati elit parpol, mulai tingkat ranting (kelurahan) sampai DPC dan DPD.
No lunch free (tiada makan siang gratis) menjadi pepatah yang wajib dipatuhi. Pada pilkada serentak (Desember 2015) lalu, money politics, semakin terang-terangan, dianggap lazim. Dimulai pada saat pendaftaran bakal calon (melalui penjaringan atau konvensi parpol), sudah harus mengeluarkan biaya sangat besar. Belum termasuk kampanye oleh tim sukses oleh parpol pengusung. Biasanya, parpol akan terang-terangan minta biaya besar.
Nilai (nominal) diukur dengan banyaknya kursi di DPRD setempat, atau persentase perolehan suara pileg. Harga satu kursi (setara 2%) DPRD kabupaten dan kota, konon dinilai Rp 1 milyar. Atau 1% perolehan suara pada saat pileg dipagu senilai Rp 500 juta. Persentase perolehan suara pada pileg, biasanya digunakan oleh parpol kecil yang gagal menempatkan kadernya di parlemen (DPRD). Bahkan partai gurem yang hanya memperoleh kurang dari 1% bisa dijadikan pelengkap persyaratan (sampai 20% dukungan). Yang gurem pun ada harganya.
Maka, semakin banyak perolehan kursi parpol di daerah, harga rekom akan semakin mahal. Lebih mahal lagi, manakala rekom harus dikukuhkan oleh pengurus tingkat DPP (Pusat). Ongkos politik yang semakin tinggi, menyebabkan setiap pejabat publik mencari jalan untuk balik modal. Niscaya, KKN sulit dihindari. Ada yang terang-terangan, dengan uang tunai. Atau lebih sering dibungkus dengan cara legal. Misalnya, terkait proyek yang melibatkan pengusaha sekaligus kader parpol.
Beberapa pejabat politik (menteri) tersandung masalah KKN, terkait urusan proyek dan pekerjaan di kementerian. Juga sangat banyak anggota parlemen (DPR-RI) terlibat KKN, dengan modus pemburuan rente (par-calo-an) pekerjaan di kementerian. Selain itu, perburuan rente oleh anggota DPR-RI berhubungan dengan Dapil (Daerah Pemilihan). KKN dengan modus per-buru-an rente, sering pula melibatkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk proyek pemerintah.
Jabatan politik, sangat rentan terhadap KKN. Hampir seluruh kader parpol, menyadari ke-rentan-an itu. Sebagian (yang ber-iman kukuh) coba menghindarinya. Namun sebagian malah menjadikannya sebagai kesempatan (dan ladang) mengeruk keuntungan pribadi. Walau risiko sangat riskan, tertangkap tangan oleh KPK. Agaknya, risiko dipahami sebagai apes. Sebab, toh hampir seluruh kader parpol melakukannya. Hanya yang apes, dan mungkin “pemain baru” bisa tertangkap tangan.
Revisi UU KPK
Agaknya, ke-rentan-an area politik terhadap KKN, menyebabkan kader politik bersemangat merevisi UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). DPR, memang memiliki hak konstitusi untuk membuat maupun merevisi Undnag-Undang. UUD pasal 20 ayat (1) nyata-nyata meng-amanatkan, bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.” Kewenangan bersifat ini melekat pada setiap personel anggota DPR. Sekalipun tidak berkompeten.
Walau dalam perjalanannya, setiap UU dapat dibatalkan sebagian (beberapa pasal) atau keseluruhan oleh MK (Mahkamah Konstitusi). Masyarakat dapat mengajukan judicial review kepada MK, manakala terdapat UU yang dirasa tidak sepaham dengan UUD. Termasuk UU tentang KPK, kelak (bila selesai direvisi), bisa dibatalkan keseluruhan atau sebagian. Dan MK, dapat memerintahkan untuk kembali pada UU tentang KPK (yang lama) Nomor 30 tahun 2002.
Berdasar UU Nomor 30 tahun 2002, KPK di-dapuk sebagai lembaga negara yang disebut sebagai “superbody.” Julukan itu (superbody), bukan gelar pujian  kosong, melainkan istilah resmi yang tercatat dalam Penjelasan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. UU tersebut oleh DPR-RI periode 1999 – 2004, hasil pemilu pertama era reformasi. Selain itu, UU tentang KPK merupakan respons terhadap TAP MPR (hampir setara dengan UUD).
Ketika itu dilaksanakan SI (Sidang Istimewa) MPR. Atas tuntutan gerakan reformasi, diterbitkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Lalu, MPR hasil pemilu 1999 juga menerbitkan Tap MPR Nomor VI tahun 2001. Di dalamnya berisi amanat untuk memberhentikan atau pengunduran diri pejabat tinggi yang disangka tidak bersih.
TAP MPR tersebut diabadikan untuk mewujudkan Indonesia bebas KKN. Pada Penjeleasan Umum, alenia ke-3, disebutkan: “…dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.” Dus superbody, merupakan tupoksi resmi KPK yang diberikan oleh UU.
Pergerakan reformasi, pantas menuntut bebas KKN. Seluruh dunia men-dendam sengit terhadap korupsi. Sampai PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menerbitkan amanah konvensi. Yakni, United Nations Convention Against Corruption, tahun 2003. Konvensi ini sudah diratifikasi oleh Indonesia. Sehingga Indonesia harus seiring-sejalan dengan masyarakat internasional, memberantas korupsi.
Maka rencana me-revisi UU tentang KPK, pantas memperoleh kecurigaan akan melemahkan KPK. Setidaknya, terlalu banyak batasan untuk pergerakan KPK. Misalnya, dalam hal operasi tangkap tangan, penyitaan kekayaan terdakwa koruptor, serta sehubungan dengan TPPU (Tindak Pidana Pencucian uang).
Namun, bukankah setiap anggota DPR, memiliki konstituen (rakyat pemilih)? Masyarakat pemilih dapat meng-ingat-kan anggota DPR, agar tidak melanjutkan revisi UU KPK. Atau mudahnya, tidak dipilih lagi pada pileg 2019.

                                                                                                                 ———– 000 ———–

Rate this article!
KPK Tak Boleh Dilemahkan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: