KPK vs Pansus Hak Angket

karikatur ilustrasi

Sudah banyak ujaran anggota Pansus Hak Angket DPR “ditembakkan” kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Umumnya, ujaran bernada bully (perundungan) sampai tuduhan bebohong kepada publik. Salahsatu “senjata” DPR, berupa keberadaan rumah pengamanan (safe house). Ujaran dengan menggunakan kekuasaan (dan kewenangan) oleh sekawanan anggota DPR, ditanggapi tak kalah keras oleh korps KPK. DPR beradu pencitraan dengan KPK?
Padahal telah terdapat kesepakatan (sejak lama) antara KPK dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Rumah pengamanan, niscaya diperlukan oleh KPK sebagai sarana kinerja rutin. Terutama untuk melindungi saksi. Termasuk terhadap saksi kasus gratifikasi, yang melibatkan mantan Ketua MK (Mahkamah Konstitusi). Akil Mochtar, sebagai Ketua MK didakwa menerima suap dari seorang pengusaha untuk memenangkan pasangan calon dalam pilkada.
Vonis terhadap Akil Mochtar telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sedangkan saksi, berhubungan keluarga dengan penyuap Akil Mochtar. Saksi inilah yang menyebut rumah pengamanan (safe house) sebagai rumah sekap. Pengakuan di hadapan anggota Pansus Hak Angket DPR, di dalam rumah sekap juga dilakukan intimidasi oleh penyidik KPK.
Pansus Hak Angket terhadap KPK, sejak awal telah di-kritisi tidak legal. Sejak paripurna awal pembentuk Pansus. Pimpinan siding, menjatuhkan ketok palu terlalu cepat sebelum diadakan pemungutan suara. Banyak yang walk-out (keluar dari ruang siding) tanda tidak setuju. Kritisi lain berkaitan dengan hak angket dalam UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD). Hak angket DPR, tercantum pada pasal 79 ayat (3).
Seharusnya ditujukan pada pemerintah (eksekutif). Sedangkan KPK, bukan rumpun rezim penyelenggara pemerintahan. KPK dibentuk berdasar Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Lalu, MPR hasil pemilu 1999 juga menerbitkan Tap MPR Nomor VI tahun 2001. Dua Ketetapan MPR mendasari penerbitan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Kritisi masyarakat luas, bahwa hak angket DPR terhadap KPK, hanya akan mencar-cari kesalahan KPK. Berujung melemahkan kinerja KPK, dan menjatuhkan citra KPK. Dugaan masyarakat, selama ini sudah sangat banyak anggota DPR dijebloskan ke penjara, karena kasus commitment fee (suap). Kasus terbaru, berkait dengan pencetakan e-KTP. Di daerah (DPRD) semakin banyak lagi. Berdasar data Kementerian Dalam Negeri, lebih dari 3.200 anggota legislatif daerah sudah merasakan masuk penjara.
Sejak tahun 2014, Indonesia sudah tergolong Negara dengan status “darurat korupsi,” dan berbagai modus money politics. Korupsi dengan berbagai modus telah menjalar, terjadi di berbagai instasi dan lembaga pemerintahan. Bahkan penegak hukum sudah banyak menjadi terdakwa kasus korupsi, suap dan pungli. Sehingga wajar, KPK menjadi tumpuan harapan untuk menumpas sindikat korupsi. Terutama pada institusi politik dan pelayanan publik.
Sebagai pilar utama pemberantasan korupsi, KPK (wajar) menjadi institusi yang dijuluki super body. Julukan itu (superbody), menjadi istilah resmi yang tercatat dalam Penjelasan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.   Pada Penjeleasan Umum, alenia ke-3, disebutkan: “…dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.”
Ujaran perundungan sampai tuduhan kebohangan oleh DPR, dapat disetarakan dengan upaya kriminalisasi. Tetapi KPK telah “kenyang” dengan upaya kriminalisasi. Paling gencar dilakukan oleh mitra sesama penegak hukum. Ironisnya kali ini, kriminalisasi dilakukan oleh kelompok fraksi (parpol) di DPR pendukung pemerintah. Namun harus diakui pula, anggota fraksi pendukung pemerintah banyak yang terjerat kasus korupsi dan gratifikasi.

                                                                                                           ———   000   ———

Rate this article!
KPK vs Pansus Hak Angket,5 / 5 ( 1votes )
Tags: