KPP Jatim Nilai Eksekutif-Legislatif Berdosa Berjamaah

KPP Jatim (1)Kota Batu, Bhirawa
Ancaman krisis obat di Kota Batu menjadi bukti kebijakan yang diambil eksekutif dan legislatif tak berpihak kepada pelayanan publik. Ancaman krisis itu bakal terjadi karena anggaran pembelian obat tak ada dalam APBD 2015 Kota Batu.
Komisioner Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jatim, Immanuel Yosua menilai, Timgar dan Banggar telah melakukan dosa berjamaah karena mengabaikan pelayanan kesehatan masyarakatnya. Padahal pelayanan kesehatan merupakan pelayanan dasar yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.
Potensi krisis obat ini sebenarnya sudah diketahuinya saat kunjungan kerja ke Dinas Kesehatan (Dinkes) 2014 lalu. Namun, sarannya tak dipedulikan pihak DPRD. Saat berkunjung, ia menemui Kepala Dinkes yang saat itu dijabat Endang Triningsih (sekarang staf ahli Walikota).
Kepada Yosua, Endang mengungkapkan anggaran pembelian obat dicoret oleh DPRD. Informasi tersebut kemudian ditelusuri Yosua dengan cara menemui Ketua DPRD Cahyo Edi Purnomo. “Pak Cahyo bilang ke saya, proses administrasi (anggaran pembelian obat) tidak jelas, akhirnya (dinkes) distrap (dihukum) dengan cara anggarannya dicoret,” beber Yosua.
Sikap egois DPRD, kata Yosua, harusnya tidak boleh terjadi. Menurutnya, sebelum DPRD mencoret, mereka harus mengaji dulu. Bisa dengan cara mendatangkan ahli untuk menganalisis dampak dari pencoretan anggaran itu.
Ditambahkan KPP Jatim sebenarnya telah memberikan saran agar menyetujui anggaran yang diajukan dengan diberi catatan karena dianggap anggaran beli obat tak jelas. Catatan tersebut nanti bisa diawasi oleh DPRD yang memiliki fungsi pengawasan. Sekarang, kata Yosua, DPRD seolah-olah cuci tangan. Ia juga menyayangkan sikap eksekutif yang diam saja ketika anggaran itu dicoret.
Yosua menilai, eksekutif dan legislatif tak beres dalam menyusun APBD 2015. Mereka hanya memperhatikan aspek administrasi saja, tapi tidak memperhatikan aspek pemenuhan pelayanan kebutuhan masyarakat.
“Mereka telah membuat dosa secara berjamaah. Kami berharap dua lembaga itu minta maaf secara terbuka kepada masyarakat Batu,” ungkapnya. “Ini kejadian pertama kalinya di Jatim, ada kabupaten/kota yang tidak mengganggarkan pembelian obat. Ego eksekutif dan legislatif menyebabkan masyarakat sebagai korban,” bebernya.
Dia menilai, kebijakan tidak menganggarkan pembelian obat itu bertentangan dan tidak mendukung regulasi pelayanan publik, asas pelayanan publik, serta asas keadilan yang ada di dalam UU nomor 25/2009 tentang pelayanan publik, Perda Jatim nomor 8/2011 tentang pelayanan publik, serta Perda Kota Batu nomor 9/2012 tentang pelayanan publik.
Sekarang, ia mendesak eksekutif dan legislatif duduk bersama membentuk tim penanggulangan krisis obat. Diharapkan, tim itu bisa mencari penyelesaian masalah agar pelayanan masyarakat bisa berlangsung secara baik.
Sementara itu, anggota DPRD Kota Batu, Heli Suyanto menuding, pencoretan anggaran pembelian obat disebabkan proses pengadaan obat yang dilakukan dinkes tidak jelas. Termasuk, data kebutuhan obat yang dinilai belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat Kota Batu. “Dinkes harus punya database dan analisa warga yang sakit. Datanya kan ada dipuskesmas maupun dipostu warga yang sakit,” ujarnya.
Heli mengaku , DPRD ingin tahu, berapa  persen masyarakat Batu yang sakit permanen dan harus menjadi tanggungan pemkot. Kebutuhan untuk obat musiman, misalkan diprediksi setiap bulan membutuhkan berapa,”  tandas Heli. [sup]

Tags: