KPPU Dorong Perubahan UU Cipta Kerja sebagai Kemudahan Berusaha

Kantor KPPU RI siap memberikan pelayanan prima

Surabaya, Bhirawa.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai perubahan beberapa pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999) oleh UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 November 2020 lalu,

Anggota KPPU dan Juru Bicara Komisi; Guntur Syahputra Saragih, menyampaikan harapan KPPU agar dapat memberikan kemudahan berusaha bagi pelaku usaha dalam melakukan investasi sekaligus meningkatkan kualitas penegakan hukum persaingan di Indonesia.

Perubahan beberapa pasal dalam UU 5/1999 tersebut diatur dalam Bab VI tentang Kemudahan Berusaha, tepatnya Bagian Kesebelas tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada pasal 118. Kemudahan berusaha yang diharapkan tersebut, tentu saja akan bergantung juga terhadap materi pengaturan dalam peraturan pemerintah sebagai tindaklanjut UU 11/2020.

Dikatakan, bahwa perubahan tersebut secara garis besar meliputi perbaikan upaya keberatan dan penegasan aspek sanksi dalam hukum persaingan usaha. Terdapat 4 (empat) hal yang diubah dalam UU 5/1999 melalui UU 11/2020 tersebut, yakni (i) perubahan upaya keberatan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga; (ii) penghapusan jangka waktu penanganan upaya keberatan oleh Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung; (iii) penghapusan batasan denda maksimal; dan (iv) penghapusan ancaman pidana bagi pelanggaran perjanjian atau perbuatan atau penyalahgunaan posisi dominan.

Hal pertama terkait perubahan upaya keberatan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga. KPPU menilai ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembuktian di pengadilan, karena hakim di Pengadilan Niaga umumnya telah terbiasa berurusan dengan aspek bisnis atau komersil. Proses persidangan di pengadilan diharapkan akan lebih komprehensif.

Kualitas pembuktian juga diharapkan akan meningkat, apalagi jika Mahkamah Agung memperkenankan pembentukan sejenis tribunal (hakim khusus persaingan usaha) atau penugasan hakim ad-hoc bagi kasus persaingan usaha tertentu, misalnya terkait kasus kompleks di sektor ekonomi digital.

Hal ini tentunya memberikan keuntungan bagi pelaku usaha dalam memberikan argumen yang lebih kuat dalam pengadilan. Pemindahan ini memang dapat menimbulkan biaya tambahan bagi pelaku usaha yang ingin melakukan upaya keberatan, karena keterbatasan jumlah Pengadilan Niaga di Indonesia.

Namun hal tersebut dapat diatasi dengan penambahan jumlah Pengadilan Niaga maupun pemberlakukan persidangan secara online, sekalipun terkait persidangan online sendiri tentu perlu penyempurnaan pada beberapa aspek agar tidak mengurangi prinsip due process of law, karena persidangan online masih ada beberapa keterbatasan.

Hal kedua, penghapusan jangka waktu pembacaan putusan keberatan dan kasasi. Dikhawatirkan berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha atas penyelesaian upaya keberatan yang dilakukannya. Namun kami yakin hal tersebut akan diatur oleh Mahkamah Agung. Saat ini upaya keberatan masih menggunakan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan KPPU.

Hal ketiga, penghapusan batasan denda maksimal. KPPU tentu masih menunggu bagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah nantinya, sebagai tindak lanjut perubahan dalam UU 11/2020. Karena terkait dengan kriteria, jenis dan besaran denda akan di atur dalam peraturan tersebut.

Hal terakhir, terkait penghapusan ancaman pidana atas bentuk pelanggaran praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. KPPU memahami penghapusan tersebut ditujukan untuk memperjelas aspek-aspek pidana dalam penegakan hukum yang dapat diimplementasikan. Pidana tetap dapat dikenakan atas pelaku usaha yang menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan atau pemeriksaan, serta bagi pelaku yang menolak melaksanakan Putusan KPPU.[ma]

Tags: